Solo yang berarti adalah seorang diri. Kalau duet baru berdua. Terus kalau bertiga adalah... yak, betul Trio Kwek-Kwek (tadinya malah mau ngetik threesome, tapi demi sebuah janji untuk mengurangi kemesuman di 2017, maka rule of three ini gagal). Halah! Namun, bukan itu intinya. Karena yang gue maksud di judul adalah jalan-jalan ke Surakarta (lebih dikenal dengan nama Solo) itu nggak harus sendirian. Sebab, gue pergi ke sana bersama beberapa teman grup Werewolf Telegram. Yoih!
Pertama, ada Nur Jannah—lebih dikenal dengan nama Jaimbum—yang berangkat dari Malang. Lalu, ada kami berlima; Haris, Bena, Mia, Tiwi, dan gue sendiri yang janjian kumpul di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Di Sabtu sore yang cerah itu, tepatnya tanggal 19 November 2016, kereta yang akan kami naiki ini ternyata datangnya agak telat. Seharusnya keberangkatan pukul 16.00, tapi 12 menit sebelum pukul 17.00 kami berlima baru bisa duduk di gerbong. Ini PT. KAI nggak tahu apa kalau gue udah nunggu dari pukul 14.00? Mereka juga nggak tau apa kalau seorang Haris Firmansyah, seorang penulis kondang yang menerbitkan novel “3 Koplak Mengejar Cinta”, rela berangkat lebih awal dan jauh-jauh dari Cilegon? Lalu, begitu sampai di stasiun malah dibuat menunggu kereta yang terlambat? Parah! Keterlaluan banget.
Namun, kami cuma bisa bersabar. Tiket yang kami beli ini hanyalah kelas ekonomi. Lagian, ini Indonesia, Brother! Kalau nggak telat mah nggak asyik. Ngaret itu udah menjadi budaya.
***
Sayangnya, tempat duduk kami berlima itu terpisah. Bena, Tiwi, Haris, dan gue satu tempat duduk. Sedangkan si Mia sendiri bersama orang lain. Merasa iri atau bete sendirian karena nggak nyaman duduk sama orang lain, si Mia tiba-tiba bergabung dan nyempil di antara kami. Saat itu, gue memang sedang kurang enak badan dan sedikit-sedikit batuk, gue pun merasa gak enak sama mereka. Akhirnya, gue mengalah dan duduk di kursi Mia. Gue nggak begitu mendengarkan apa saja obrolan mereka. Gue lebih memilih menyumpat telinga dengan earphone dan mendengarkan musik.
Beberapa jam kemudian, ada mas-mas berkumis mengenakan kemeja batik membawa aneka makanan. Sebelumnya, mas-mas ini nggak lagi habis kondangan terus bawa makanannya pulang. Nggak. Dia petugas kereta yang memang sedang berjualan. Mia kemudian membeli nasi goreng—yang katanya—bermerek Soklariah seharga Rp30.000,00. Mas-mas itu kemudian menawarkan kami, “Temen-temennya nggak sekalian?”
Kami pun menjawab tidak. Yang kemudian dibalas dengan senyuman masnya. Sebuah senyuman sok dimanis-manisin yang terlihat menjijikkan. Mungkin itu senyuman terburuk yang pernah gue lihat.
Setelah Mia makan, Bena kemudian mengeluarkan bekalnya. Kini, tinggal gue, Haris, dan Tiwi yang masih sanggup menahan lapar hanya dengan mengunyah wafer Tango vanila yang gue bawa. Namun, biar bagaimanapun perut orang Indonesia itu harus kena nasi baru bisa kenyang. Akhirnya, kami bertiga menunggu mas-mas membawakan pop mi. Lebih dari satu jam nggak ada mas-mas yang lewat, kami bertiga mulai resah dan memilih untuk berjalan ke gerbong restorasi.
Sesampainya di sana, gue langsung bilang ke mas-mas berkumis yang memiliki senyum menjijikkan itu, “Mas, pesen pop mi tiga.”
“Wah, belum ada, Mas. Baru adanya nanti pas di Solo,” ujar mas-mas berkumis.
Sialan. Kami kan turun di Solo. Sama aja nggak ada ini mah. Cacing-cacing di perut gue bisa makin rusuh ini jogetnya.
“Terus adanya apaan?” tanya gue.
“Cuma ada nasi Dekos. Itu juga tinggal empat.”
“Gimana nih, Ris, Wi?” tanya gue ke Haris dan Tiwi.
“Ya udah ambil aja, daripada laper, Yog,” jawab Haris.
Tiwi menggelengkan kepala dan malah memesan kopi.
***
Kami bertiga sudah kembali ke tempat duduk masing-masing. Tiwi meminum kopinya, sedangkan gue dan Haris mulai menyantap nasi yang baru saja dibeli. Lauk gue ada ayam goreng yang ukurannya kecil sekali, kering kentang, kacang goreng, dan ikan teri. Suapan pertama rasanya agak aneh. Suapan berikutnya semakin nggak keruan. Tapi atas nama lapar, nasi dan lauk itu pun habis dan hanya bersisakan kacang. Saat sedang minum, gue melihat Haris seperti orang yang nggak nafsu makan. Kemudian dia langsung menaruh nasi itu ke plastik hitam yang dijadikan tempat sampah.
“Kok nggak habis, Ris?” tanya gue ke Haris.
“Nasi apaan begini? Harga 30 ribu udah kayak warteg. Lebih enak warteg malah.”
Kemudian gue tertawa mendengarnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara mas-mas yang meneriakkan, “Popmi-popmi.”
Bangsat!
Tadi pas di gerbong restorasi katanya baru ada di Solo, eh ini tau-tau udah nongol. Asli, gue kesel banget. Kami berlima pun refleks mengumpat. Lebih sedihnya lagi, begitu sampai di bangku kami mas-masnya hanya membawa nampan kosong. Syukurnya itu bukan mas-mas berkumis yang tadi. Emosi gue masih bisa tertahan.
Mia dan Bena terlihat kesal, kemudian mereka berniat untuk memesannya langsung ke gerbong restorasi. Tiwi segera menitip. Dan entah kenapa gue mulai tergoda untuk memesannya juga padahal tadi habis makan. Namun, godaan makan mi begitu kuat. Gue pun ikutan mesen. Karena Haris nggak ikut memesan, gue bertanya, “Lu gak nitip juga, Ris?”
“Enggak, Yog. Saya udah keluar uang 30 ribu untuk makanan kayak warteg.”
Ya, kekesalan itu sepertinya susah hilang kalau mengingat uang 30 ribu itu digunakan untuk membeli makanan yang rasanya seperti makanan di penjara (ini udah riset sama Kang Rido yang kerja sebagai sipir, tapi boong deng gue asal aja nggak riset wqwq).
Setelah kenyang, kami kebingungan harus ngapain lagi. Padahal kereta berhenti di Solojebres masih cukup lama, mungkin kira-kira sekitar 2,5 jam lagi. Nggak banyak yang bisa kami lakukan di dalam gerbong ini. Palingan cuma bisa ngobrol, mendengarkan lagu pakai earphone, atau membaca buku. Sekalinya bermain games, yang bisa gue usulkan hanyalah permainan sederhana, yaitu: permainan seperti di acara Eat Bulaga. Satu orang menuliskan sesuatu di notes hape dan memberikan clue kepada yang lain. Contohnya: gue menuliskan kuda nil di notes dan memberikan clue hewan. Kemudian yang lainnya mulai menjawab secara bergiliran dengan petunjuk-petunjuk tentang hewan itu sampai yakin bisa menjawab dengan tepat.
Misal: “Berkaki empat?” tanya salah satu.
Kemudian gue atau satu orang yang memberikan clue itu hanya boleh menjawab: “Ya”, “Tidak”, atau “Bisa jadi”.
Kemudian gantian yang lain, “Herbivora?”
“Bisa jadi.”
“Bertanduk?”
“Tidak.”
Dan seterusnya sampai lima putaran atau ada yang bisa menjawab dengan betul.
Cukup membosankan memang. Tapi mau gimana lagi? Begitulah cara kami berlima membunuh waktu hingga kereta ini sampai ke Stasiun Solojebres. Sangat tidak mungkin jika kami bermain petak umpat, gobak sodor, atau egrang di sini. Apalagi balap karung. Jadi suka atau tidak suka, ya beginilah permainan kami.
Kira-kira satu jam kami bermain permainan nggak jelas ini. Setelah itu, beberapa di antara kami memilih tidur. Karena takut kami semua ketiduran dan stasiunnya kelewat, gue memaksa melek untuk berjaga-jaga. Gue membuka aplikasi notes untuk mencatat kejadian-kejadian yang terjadi selama perjalanan sembari menahan kantuk. Lucunya, di keheningan seperti ini gue merasa kalau waktu dan kereta sama-sama melaju dengan cepat. Tau-tau telinga gue ini menangkap suara perempuan yang menginformasikan kereta sebentar lagi akan tiba di Stasiun Solojebres.
Gue memperhatikan Haris yang terbangun. Tanda kalau gue nggak salah dengar.
“Heh, Solojebres. Solojebres,” ujar gue ke mereka berempat.
“Hah? Wis sampe iki?” tanya Bena masih setengah sadar.
Kami mulai menurunkan tas dan bersiap-siap turun dari kereta. Sekitar pukul 2 dini hari, akhirnya kami sampai di tujuan. Begitu sampai stasiun, gue langsung menuju toiletnya untuk buang air kecil dan cuci muka. Selesai dengan urusan toilet, gue memperhatikan Mia dan Bena yang ketawa-ketawa memandangi mas-mas berseragam. Gue juga nggak ngerti kenapa mas-mas seragam itu sampai turun dari kereta untuk godain Bena atau Mia. Sementara itu, ada pesan dari Ilham dan Hana (anggota WWF yang kebetulan tinggal di Solo) yang sudah menunggu di depan stasiun untuk menjemput kami.
Seperti pada sebuah pertemuan pada umumnya, begitu bertemu dengan teman kami saling berjabat tangan. Kemudian, Bena dan Mia segera bonceng tiga dengan Hana. Lalu, Ilham boncengin Haris. Kalau gue dan Tiwi disuruh menunggu di stasiun.
Beberapa menit kemudian, Ilham kembali dengan motornya dan Haris menyusul di belakang dengan mengendarai motor Hana. Ilham membonceng Tiwi, lalu Haris membonceng gue. Kami berempat pun mulai mencari penginapan atau hotel.
***
Di perjalanan mencari hotel, tiba-tiba Haris bertanya ke gue, “Tadi si Hana ke stasiun dandan ya, Yog? Cantik amat.”
“Iya, Ris. Namanya juga cewek,” jawab gue.
“Dia dandan buat kamu tuh, Yog!”
“Loh, kok gue? Ya, pasti dandan buat lu lah. Kan lu yang founder grup Werewolf.”
“Kamu yang sering godain dan bercandain dia di grup.”
“Ah, lu sendiri juga suka iseng godain dia wey!”
Kami berdua pun refleks tertawa. Obrolan lelaki tengah malam mencari penginapan kok gini amat, ya? Kemudian, Haris mendadak mengeluh soal motornya yang aneh ketika dikendarai atau dirinya yang belum terbiasa membawa motor matic. Akhirnya, mau gak mau kami bertukar posisi. Gantian gue yang mengendarainya. Awalnya gue merasa biasa aja. Begitu motor berjalan beberapa puluh meter dan mulai belok, eh ternyata bener apa yang dibilang Haris. Gue membatin, Kampret motor macam apaan nih?
Baru kali ini gue mengendarai motor kayak gini. Setangnya buat belok susah, terus spion nggak bisa diatur (sama aja nggak pakai spion), dan remnya juga kurang pakem. Kacau!
“Jangan-jangan motornya sama Hana gak pernah diservis kali, ya?” tanya Haris ke gue.
“Iya, kayaknya gitu. Maklumlah, kan, anak kos.”
Memang kami berdua nggak tau terima kasih. Udah dipinjemin motor masih aja ngeluh. Astagfirullah. Padahal tanpa adanya motor Hana, mungkin kami berdua masih jalan kaki di area stasiun.
Terus lebih kampretnya lagi, si Ilham bawa motornya lumayan ngebut dan bikin kami berdua ketinggalan. Kan nggak lucu kalau kami berdua nyasar dini hari begini terus tau-tau malah berhenti di rumah bordil. Dengan modal nekat dan bismillah, akhirnya gue menambah kecepatan demi bisa mengejar Ilham.
***
Beberapa penginapan sudah kami kunjungi, tapi hasilnya sama aja. Semuanya penuh. Udah motor kayak begini, terus penginapan nggak dapet-dapet. Suram. Terus ini mentang-mentang malam Minggu hotel kok rame semua, sih? Gue curiga ini yang nginep bukan pendatang, tapi orang Solo yang menyewanya untuk ena-ena.
Setelah bolak-balik berulang kali mencari penginapan, kami pun berhenti di sebuah hotel ABC (nama disamarkan karena lupa nama).
“Kamarnya masih ada yang kosong, Mas?” tanya Ilham menggunakan bahasa Jawa ke penjaga atau pemilik hotel.
“Tinggal satu,” jawab penjaga hotel itu.
Kami pun tertunduk lemas. Apalagi mendengar harga per kamarnya Rp100.000,00. Karena merasa mahal dan udah males banget mencari hotel yang lain, kami pun bernegoisasi sama mas-mas itu. Kami memaksa untuk bisa tidur bertiga. Iya, karena sebuah keterpaksaan niatnya nanti Tiwi tidur sama gue dan Haris. Sayangnya, mas-mas itu tetap menolak kalau satu kamar cuma bisa berdua.
Dengan memohon-mohon dan memasang muka melas, akhirnya Mas itu menawarkan pilihan lain. Pilihan itu adalah, masih ada satu kamar lagi tapi belum dibersihin. Kami pun disuruh menunggu sebentar karena Mas itu mau beresin kamar belakang yang kotor. Tadinya gue udah merasa aneh dan takut sama kamar yang di belakang, tapi rasa capek telah mengalahkan ketakutan itu.
Bodohnya, gue dan Haris memilih kamar yang belakang, lalu Tiwi di kamar satunya bersama Ilham. Sesampainya di kamar, gue langsung menyeduh segelas teh manis hangat yang bahan-bahannya disuguhkan di meja. Haris sendiri malah ke kamar mandi untuk cuci muka, tangan, dan kaki (dalam bahasa gaul: wudu). Setelah segelas teh itu habis, barulah gue yang wudu. Sambil menunggu pagi, kami berdua menghabiskan waktu dengan salat Isya dan Magrib—yang dijamak. Masya Allah, kami berdua ternyata masih inget salat. Oke, ini pencitraan aja.
Berhubung waktu salat Subuh sebentar lagi dan takut ketiduran, kami berdua pun menunda tidur dengan cara ngobrolin cara ampuh menembus page one dan kiat membangun blog dengan optimasi SEO. Percakapan yang bermanfaat sekali bukan?
Bosan dengan obrolan itu, Haris menelepon kekasihnya, Hairunnisa, yang berada di Samarinda. Anehnya, baru ngobrol sebentar si Haris malah memberikan hape itu ke gue. “Si Icha mau ngomong nih, Yog.”
Gue nggak begitu inget apa aja yang Icha omongin. Cuma satu hal yang membekas di ingatan gue: “Tolong si Haris dijagain, ya! Jangan ditusuk-tusuk!”
Itu maksud Icha tusuk apaan ya, Allah?
Karena ngerasa risih teleponan sama pacar orang, hape itu gue kembalikan lagi ke Haris. Nggak lama setelah itu, salah satu masjid terdekat mulai mengumandangkan azan Subuh. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Gue yang emang udah ngantuk banget ini pun bergegas mengambil wudu, terus salat. Agak aneh, sih. Orang mah bangun tidur terus salat Subuh. Kalau gue malah salat terus tidur. Astagfirullah. Kelakuan emang. Seusai Subuhan, akhirnya kami berdua akan bisa tidur nyenyak.
Namun, tidur gue ternyata nggak nyenyak sama sekali. Setiap 30 menit sekali pasti kebangun. Tidur di tempat baru rasanya nggak nyaman. Entah kenapa kebiasaan seperti ini bikin gue ribet sendiri. Selalu nggak bisa nyenyak kalau bukan tidur di kasur sendiri. Seperti merasa ada yang janggal. Sekitar pukul 7 pagi barulah gue bisa tidur pulas.
Begitu membuka mata dengan keadaaan masih setengah sadar, gue kaget kalau di sebelah kanan gue ada Haris yang lagi menggenggam hape sambil menonton TV. Gue masih belum percaya kalau hari ini gue berada di Solo dan tidak lagi di Jakarta. Gue mengira kejadian semalam itu hanya mimpi. Lalu, gue menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue bertanya ke Haris, “Hari ini kita mau ke mana aja?”
--
Lanjut ke bagian dua.
Bagian tiga.
--
Lanjut ke bagian dua.
Bagian tiga.
81 Comments
Ngahahaha. Seru nih. Saya juga lagi nulis tentang WWF Solo. Jadi ini mau dibikin berapa part?
ReplyDeleteYang bagian nasi dekos masih kerasa mangkel ya. 😅
Belum tau nih, Ris. Semakin dikit semakin baik. Wahaha.
DeleteMasih. Nggak akan bisa lupa. XD
Perut orang Indonesia mesti diisi nasi tapi yang dicari popmie, BODO AMAT! Wakakak
ReplyDeleteKANGEN SOLO! KANGEN ORANG SOLO! KANGEN ILHAM! Egimana...
Itu bagian mas-mas penginapan bilang cuma satu doang kamarnya ngeselin banget anjir. Cuma belom dirapiin doang elah. Bikin misuh-misuh dini hari aja hahahak
LANJUT OY!
Di situlah letak komedinya.
DeleteBebas, Wi. Ilham, tolong baca ini. Kekasihmu sedang rindu.
Ya, begitulah. Nggak tau orang udah capek. Sabar, oy. Ada kerjaan lainnya. :(
Itu siapa yog mas2 yg jualan pop mie?
ReplyDeleteWah ke toilet buang air kecil trus cuci muka
Cuci mukanya pake air yg dibuang tadi y?
Asik dund naik motornya kenceng2
Trus siapa yg menang yog, rossi apa marquez?
Nggak tau, Nik. Kamu kenal?
DeleteBukan. Cuci muka pakai kuah pop mi!
Seru-seru. Walaupun ada ngenesnya di kereta. Tapi itu yang bikin postingan soal perjalanan ini nggak ngebosenin. BTW AKU NGAKAK BANGET PAS BAGIAN EGRANG. MAIN EGRANG BANGKE HAHAHAAHHAAHAHAHAHA AKU BACA BERULANG KALI MASIH NGAKAK AJA! Nggak bisa ngebayangin anjis main egrang di dalam kereta. Yoga bajingan! HAHAHAHAHAHA.
ReplyDeleteIni aku nggak ikutan ke Solo tapi namaku nyempil aja di sini. Huehehe. Biar kayak blogger-blogger pada umumnya, aku mau bilang "Thanks backlink-nya, Yog!"
Itu masih murah ada yang 100 ribu. Di Samarinda nggak nemu gitu. Solo memang juarak! Btw iya ya, Yog. Guest house pada penuh itu bisa jadi bukan karena pendatang dari luar daerah, tapi orang dalam daerahnya sendiri yang menuhin. Bahahhaa beraaa. Ini boleh sekalian curhat nggak sih? Waktu malam Minggu juga kayak kamu di post ini, itu aku mau pesanin kamar sama Max dan Kak Ira. Trus kami ditatapin aneh sama orang guest house-nya. Jadi canggung, bajingak. Dikira kami mau trisam apa ya. Huhuhu. Lucu aja sih tapi kalau diinget-inget. :D
Kamu harus cobain maen egrang di kereta, Cha! Wahaha. Padahal backlink ke Twitter aja kan itu. :| Sama-sama, ya! :)
DeleteDi sana berapaan emang? Nah, kan. Ada yang berpikiran sama. Wqwq. Pas pesenin buat Haris itu? Ya, mau gimana lagi? Kan emang lebih sering berpikiran negatif duluan kalau lihat hal yang janggal. XD
Nasi kereta itu kan nasi beku yang dipanaskan di Microwave makanya anehhh...
ReplyDeleteKampret momen bgt pas tanya popo mie gaada eh tau2 nya ada yang jualan wkwkw
Gpp yog, kan jadi belajar. Klo naik kereta bawa bekel dr rumah ajah...
Iya, Cup. Pantesan aneh banget. Wahaha. Iya, kelelawar abis emang tuh gue dikibulin!
DeleteSip. Ke depannya gue bakal bawa bekel. :))
Seru yog. Makanya bepergian naek kereta, beli makanan diluar aja hahaha.
ReplyDeleteWwf itu apaan si?
Keretanya kan cuma berhenti sebentar. Nanti ketinggalan kalau beli di luar dong? Wqwq.
DeleteGrup Werewolf di Telegram.
Bukan orang indonesia kalo ga makan nasi...
ReplyDeleteTerus mesen popmie.
INI BIAR APAAA???!!
Eh gue baru tahu Solo itu Surakarta. Gue pikir Surakarta di Jawa Barat. ._.
Mungkin maksud ngana Purwakarta.
DeleteBiar lu tanya aja sih, Di. Atau biar yang baca kesel. Wahaha.
DeleteUdah dijawab Haris tuh. :D
Adi ini emang ya, pas pelajaran IPS pasti bolos ke warung, Sejak kapan Surakarta di Jawa Barat :(((
DeletePURWAKARTA ITU WOY!
DeleteHaha tipikal orang indonesia banget, belum disebut "udah makan" kalo belum makan nasi X)
ReplyDeleteAsyikk benar nih berlima ke solo euy, apalagi naik kereta. Boro-boro, saya mah belum pernah naik kereta :')
Soalnya udah jadi kebiasaan. Otak kita jadi ter-mindset begitu. :))
DeleteEmang Mas Fan sukanya naik apa? Bus?
100 ribu per malam dibilang mahal. Apakabar gue yg pernah dapet 300ribu per malam, karena gak ada opsi lain gue ambil. Mo nangis rasanya ya allah :'))
ReplyDeleteKalo gue jadi lu, mas2 penjual makanan di kereta itu pasti udah gue sliding tackle saking keselnya.
Haris telponan sama icha, tangannya masuk kolor gak? :))
Karena Solo seharusnya murah-murah, Yog. Duh, daripada 300 rebu gue mending tidur di masjid deh. :(
DeleteGerman suplex juga enak.
CC: Haris.
30K untuk makanan yg biasa aja bahkan gaenak itu rasanya udah kayak keilangan duit 100 rebu... xD Taktik popmie di akhir masih aja ya. Emang baisanya begitu sih, bahkan kalo nasi kotaknya masih sisa 10, mereka tetep bakal bilang sisa ini aja. biar kita gada opsi lagi dan mau gamau beli...
ReplyDeletePertanyaan yoga cupang juga jadi pertanyaanku, Yoga Shol...
Cerita begitu doang padahal tapi kok pengen lekas-lekas ada lanjutannya yak... segera ya yog~
Ya gitu deh, Haw. Rasanya anyep. :(
DeleteEmang dari dulu taktiknya kayak gitu, ya? Sewaktu 2013 ke Jogja gue langsung ada yang jual pop mi sih. Ehehe. Padahal rezeki gak ke mana, ya. Masih aja maksain. :))
Tanya Haris langsung deh.
Nanti diusahakan, ya! Lagi ada proyek lain nih. :D
Surakarta beneran Solo? Kirain daerah yang beda. Kalo Salatiga berdiri sendiri kan?
ReplyDeleteItu mainan kopdar yang susahnya setengah mati dimainin duluan di sini. Mereka mainnya stres nggak ya? Atau sempet jawab "bison" juga kayak gue? :))
Iya, betul. Loh, jadi ada yang belum tau juga? Kalo Salatiga, sih, setau gue nilainya tujuh.
DeleteWahaha. Game gak jelas emang. Gak tau lupa. Wqwq.
Heuheu jadi kepengin ikut, euy! Ngerasain gimana ngenesnya kejadian di kereta! XD
ReplyDeleteYuk, ke sana lagi. Tapi bayarin tiket PP, ya! :p
Delete100.000 mahal?
ReplyDeleteDi kota terdekat dari desa saya, 300.000 itu paling murah. wkwk
Btw seru, ya.
Buat hotel yang cuma berbintang 2 atau penginapan biasa gitu kayaknya untuk daerah Solo termasuk mahal deh. :(
DeleteSeru gak seru itu hanya soal sudut pandang. :D
iyaa 100 rb itu udh paling murah. berdua lagi. duhh
ReplyDeletepengen ke solo -_-
anyway tiwi ni perempuan kan ?
ilham prmpuan juga kan ? ehh atau laki ?
gue sma kyk lu yog susah tidr di tmpt yg baru wktu msh SD, tpi untung smkin ksini berangsur2 hlg.
Dulu gue malah pernah ke Jogja 30 ribu per orang doang, Dian. Jadi, sewa satu kamar 120. Itu di kamar bisa berempat karena kasurnya emang ada dua. :D
DeleteIya, perempuan. Ilham laki.
Gue masih kesulitan buat menghilangkannya. :(
Jadi ini Part pertama ya Yog? belum ada fotonya.
ReplyDeleteIri pengin bisa jalan-jalan bareng temen blog :(
Ya, namanya juga prolog, Zis. :)
DeleteKerja aja udah cari duit dulu yang banyak. Jalan-jalan nanti aja.
nasi yang dijual di kereta emang rasanya nggak manusiawi banget. makanya lain kali kalau naik kereta mending bawa camilan yang banyak, dari pada gondok sendiri beli makanan di kereta yang mahal tapi nggak enak.
ReplyDeletekalau beberapa tahun yang lalu, waktu masih banyak pedagang asongan yang jualan di kereta (khusus ekonomi) justru kita nggak bakalan takut kelaperan, soalnya banyak banget penjual yang lewat.
pernah ngalamin naik kereta yang begitu nggak? nggak ya?
Iya, karena waktu itu emang kurang persiapan deh. :(
DeleteBetul sekali, Put. Makanan tradisional gitu harganya juga masih manusiawi. Nggak kayak di kereta sekarang jualnya gak manusiawi. Tiket kereta udah mahal, harga makanannya juga parah.
Wih, pernah dong. Dari zaman SD Yoga anaknya doyan naek kereta. :D
Lu keluar kamar masih perjaka kan?
ReplyDeleteHahaha
Pertanyaanmu. :)))
DeleteAsiiik banget jalan-jalan ke Soloooo~ Ah, ngeselin banget itu beli nasi 30.000. PAAN! Denger harganya aja males yaa Allah. Anak kos mah selaper apapun udah pasti bakal nolak. :(
ReplyDeleteSaya ketinggalan info banget, ya, baru tau kalo Icha pacaran sama Kak Haris. Pantesaaan... ._.
Iya, Rim. Jangankan anak kos. Yang gaji UMR aja itu kesel. Haris noh contohnya. Wqwq. Terlalu lama nggak blogwalking mungkin lu. :)
DeleteSeneng rasanya bisa jalan-jalan bareng temen
ReplyDeleteOh, tentu!
Deletekok aku mencium bau2 misteri di ceritanya hahahaha ;p.. trusin yog.. penasaran.. kayaknya seru nih cerita jalan2nya :D... itu mas2 kereta, bisa digusrukin keluar kereta aja ga, nyebelin gitu bilang pop mie abis ;p
ReplyDeleteNggak ada misteri kok, Mbak. Wahaha. Sengaja dibikin sok serem aja. :p
DeleteBisa-bisa aja, sih. Tapi ya udahlah, kayaknya cuma sekali itu aja.
dulu sempet tanya tanya sama temen soal "nasi kereta" itu pas mau ke jakarta, katanya emang kurang sadap terus mahal terus sedikit. tapi berhubung perut udah kelaper'an teramat sangat, akhirnya aku belinya pop mie. oh mai gat! anak kost'an bener dah, dimana2 makannya mie instan :(
ReplyDeletemantap juga ya, sampai main ke solo rame rame. hidup solo \m/
Iya, nasinya aneh banget. Kapok deh beli lagi. Wahaha. Hidup mi instan!
DeleteKapan-kapan bisalah ketemuan kita, Mas, kalo saya maen ke Solo lagi. :D
sap sap....habis kepo kepo member WWF nya, ternyata si ilham itu satu fakultas sama saya, beda jurusan XD *apa banget dah
Deletekalo gak niat senyum sama mas yoga, mending gak sama sekali. takut dikatain senyuman terburuk, pdahal senyum kan ibadah hiks
ReplyDeleteBukan gitu maksudku. Itu karena udah terlajur kesel sama mas-masnya. :|
DeleteHiks. Iya, ibadah bener kok. Maaf-maaf. :(
Sama aku juga gitu mas, kalau tidur di tempat baru gk bilang langsung nyenyak, ibarat mah harus adaptasi dulu ni bada.. haha
ReplyDeleteKenapa ya gak naik bis, kereta yang dicari pop mie. hehe
Lagi pula agak terjangkau ya mas harganya, dibandingkan makanan yang lain, dulu aku lagi ke Bandung aja sampe 17 lebih nasi goreng di kereta.
Lain kali mah lebih baik bawa bekal mas Yog, jadi kan ngirit tuh, bawa minum juga. hee
Belum lama ini juga aku dari Solo mas..
Ngeselinnya ya kebiasaan itu. Adaptasinya gak bisa langsung semalem pula. :(
DeleteKarena orang Indonesia suka mi instan. :p Iya, lebih murah juga. Oke, kalau jalan-jalan lagi saya pasti bawa bekal. :D
Mas, mah deket dari Solo. Kalo saya jauh. :(
sebagai anak kereta bolak-balik Tegal-Semarang saya mau sombong nih, tida pernah sekalipun gue membeli makanan di dalam kereta. mahal kan anjay
ReplyDeletetapi ya JKT-Solo mah jauh sih eheh
gue jadi stalk hana lho wq
lanjut, Yog.
Ehehe. Tegal sama Semarang mah deket, Mas Tom. :p Ciyeee sampe stalk Hana. Wqwq.
DeleteSabar. Lagi ada proyek lain.
Asiik jalan jalan sama temen temen blog Eaaa :D
ReplyDeletePenasaran sama muka muka kalian sebenernya . pengen kopdar sebenernya . Tapi takut mau ajak ajak, aku anaknya gampang di blacklist karna kalau di ajak blm tentu bisak hahahaha.
Btw.. jangan ditusuk tusuk itu gimana maksudnya ya ? *mikir keras*
Ayok dong ikut, Da. Kami gak galak, kok. :p Soal yang nggak bisa mah nggak sampai blacklist, ya. :)
DeleteCoba tanyakan langsung ke Icha.
Waduh baru sempet komen nih cees. Lupa.
ReplyDeleteHa ha ha ikut ketawa ah di bagian senyum menjijikan si tukang nasi. Oiya anjir ternyata mitos "Di Jakarta mah segala mahal" itu bener ya.. Nasi 30 ribu :(
Ini kayaknya seru nih lanjutannya. Kemarin baca tulisannya haris. Jadi pengen tahu sudut pandang Yoga gimana.
Gak apa-apa, Cees. Yang penting tulisan saya dibaca aja udah seneng. Ehehe. :D
DeleteCuma di kereta itu aja kayaknya, sih. Kalo warteg di Jakarta tetep murah. :p
Sabar ya, Cees. Masih berusaha ngelarin proyek buku dulu. :)
Oh Kak Jaimbum itu dari Malang? Baru tau, hikssss....
ReplyDeleteSeru banget, Yog! Sayang gue gak diajak. eh kalau pun diajak juga kayaknya gak boleh sih :(
Dia sebenarnya anak Medan. Cuma, ya lagi kuliah di Malang. :D
DeleteNggak boleh sama siapa?
senyuman menjijikkan, xixixi
ReplyDeletebtw makanan di reska emang mahal dan gak worth it mas.
perjalanannya asyik :)
Xixixi. Ketawanya keren juga. :p
Deleteperihal pop mie, saya teringat lalu mau ketawa. HAHAHAHAHHAAHAHHAHAHAHAHAHAHAH. Nasi warteg tiga puluh rebu. HAHAHAHAHAHAHA.
ReplyDeleteMaapin mia ya yoga, duduk trisam sama kamu hahaha. ku tunggu lanjutannya yak
Tolong, ketawanya jangan keras-keras. Ini menyakitkan. Wahaha.
DeleteSantia aja, Mia. Iya, sedang berusaha mengumpulkan niat untuk melanjutkan tulisan part 2. :D
Wuaaaaaahhh seru bgt euy grup kalian udah jalan jalan gituuuu. Mauuuuuuuu. Dari dulu pengen bgt jalan jalan ke daerah Jawa sana naik kereta sama temen temen :"))
ReplyDeleteTp sebenernya agak ragu jg sih dibolehin apa engga sama orang tua haha
Seru dong! Jabodetabek susah banget nih diajak jalan-jalan. Pffft. Asal bisa meyakinkan orangtua mah bisa aja, Bil.
DeleteWAHAHAHA. MAS MAS. YHA! MAS MAS BERSERAGAM!
ReplyDeleteini belom kelar tulisan? kelarin!
Belum, Ben. Nanti dulu, ya. Masih ada proyek penting. Wqwq. Alasan aja emang si Yoga. :(
DeleteWew, 30 k?
ReplyDeleteDi sini aja, uang segitu bisa buat makan 3 kali dengan menu yang enak banget 😂
Sabar ya sol... Lo.
Iya, nasi di kereta harganya segitu. Parah. :(
DeleteSebentar, kayaknya dulu aku kesini penampakannya beda deh. Ini tampilan baru ya? Nasi 30rb, pasti beda tuh buatnya xD
ReplyDeleteUdah dari 2016 kayaknya begini terus tampilannya. :))
DeleteJadi ada cinta antara kamu dan mas2 berkumis memakai kemeja batik itu ????
ReplyDeleteTidak, Mas. Aku cinta perempuan. :(
DeleteOk kalo gitu HANA akhir nya jatuh ke pelukan siapa ???
Deleteudah pernah nyoba sekali naik kereta dari siantar ke medan sih,
ReplyDeletetapi belum pernah beli makanan kereta.
soalnya yg dijual tuh burung goreng.
geli aja ngeliatnya kaya ayam belum abege udah digoreng aja.
btw, pengen deh tau cara nulis se-mengalir ini
DeleteHahaha. Gue juga belum pernah makan burung goreng. :|
DeleteCuma ditulis apa yang ada di kepala aja, Vi. Terus dibaca ulang, dan diedit sampai sreg. Buang bagian-bagian yang sekiranya gak begitu penting. Tambahin komedi bisa. Senyamannya aja. :D
Btw, nama aku Nurjannah-nya gak dipisah Mas huhu.
ReplyDeleteItu di kereta emang ngeselin jadi kudu abis dulu nasinya baru popmie-nya dikeluarin. Polanya selalu begitu... sedih sih emang wkwk.
Maaf, Mbum. :(
DeletePola yang kampret.
Kok gua malah penasaran sama yang namanya Hana, Yog? Shit, gara-gara dia dandan ke stasiun?!! Terus kenapa Yog kalo dia dandan? Kenapa? Kenapa???
ReplyDeleteWahaha. Ciyeee Hana banyak fans. Uhuy!
DeleteGak apa, sih. Kan cuma jemput temen ke stasiun. Ehehe.
Solo, udah pasti sendiri tetapi tak perlu sendirian banyak pilihan agar diri mendapat kesempatan dikehidupan.
ReplyDelete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.