Kau baru saja pulang dari restoran cepat saji sehabis mentraktir teman-temanmu. Tidak banyak-banyak amat, sih, jumlahnya. Dengan dirimu yang juga ikut dihitung, totalnya dua belas orang. Mereka adalah kawan-kawan yang kau anggap paling akrab di antara yang lain. Kau sebenarnya bingung sama kebiasaan bodoh ini. Kenapa orang yang berulang tahun harus mengeluarkan uang untuk membayar sebuah ucapan “Selamat ultah”?
Entah setelah kalimat itu ada lanjutan doa-doa untuk kebaikanmu, atau memang sebatas itu saja. Lucunya, ada pula yang mengucap lebih singkat, “HB, ya.” Ucapan itu pun cuma kaudapatkan dalam bentuk pesan via WhatsApp. Tidak ada ucapan langsung dan jabat tangan para teman yang kauterima empat hari yang lalu.
Apalagi seorang pacar yang memberikanmu kejutan di depan pintu, dengan membawakanmu kue berhiaskan lilin yang menyala. Kemudian kau bisa meniupnya dengan perasaan terkejut campur bahagia sambil menerima kado darinya. Kau baru saja putus lima bulan silam dan belum memiliki pacar baru. Jangankan pacar, mencari gebetan saja belum kepikiran olehmu.
Tapi paling tidak, akhirnya kau bisa merayakan bertambahnya umurmu bersama teman-teman. Meskipun itu hanya sebatas menyantap ayam goreng krispi dan minuman bersoda. Sebuah menu yang seragam, tapi tetap menguras kantongmu. Kira-kira uang itu sebanyak jatah makanmu untuk dua minggu.
Awalnya, kau malah tidak ada niat untuk mentraktir mereka. Namun permintaan itu, baik yang sebuah bercandaan atau memang keinginan serius, semakin hari terus menghantui dirimu.
“Mana nih traktirannya?”
Kau hanya bisa menjawab singkat, “Nanti deh ya, pas gajian.”
Lalu, hari gajian itu pun tiba pada hari ini. Empat hari setelah hari ulang tahunmu. Karena sudah kadung berjanji, mau tidak mau kau harus menepatinya. Kalau ingkar, nantinya akan menjadi utang. Kau tentunya juga tidak mau memberikan omong kosong. Itulah alasanmu mentraktir mereka.
Begitu sampai rumah dan merebahkan diri di kasur, kau merasa ada yang tidak beres. Apanya yang sebuah perayaan? Mereka itu malah merayakan berkurangnya usiamu. Kau mulai mengingat kembali kepingan-kepingan momen di tempat makan itu.
Setelah menyantap habis menu dan merasa kenyang, mereka tampak lupa denganmu. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Berfoto, bercengkrama, dan bercanda. Tanpa melibatkan dirimu. Barulah ketika wajahmu cemberut, ada salah satu temanmu, Akbar Nugraha, yang mungkin peka, sekadar basa-basi, atau bisa saja dia betul-betul memang peduli dan mengingat kehadiranmu. Dia mengajakmu ikut serta berfoto beramai-ramai dengan meminta tolong kepada seorang pramusaji untuk mengambil gambar kalian. Membekukan momen perayaan sederhana ulang tahunmu itu.
Tiba-tiba ada rasa sesak di dadamu. Kau sempat mengira itu asma yang tiba-tiba menyerang. Tapi kau tidak sebodoh itu dan langsung menepis pikiran yang terlalu ngawur. Kau sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit itu. Kau pun mencoba memahami apa yang baru saja terjadi pada dirimu. Kau merasa tidak keruan. Entah ingin menangis karena pergantian suasana yang cepat, atau merasa tanggung jawab dalam hidup akan semakin besar.
Kau langsung memejamkan mata, bermaksud untuk tidur. Tentu saja agar tidak perlu merasa hampa seperti sekarang ini. Sayangnya, hal itu tidak berhasil. Semakin kau mencoba untuk tidur dan melupakannya, justru itu semakin membuat dirimu merenunginya.
Mungkin alasan yang pertama benar, sebab tadi dirimu dikelilingi banyak orang dan merasa ramai mendengar tawa renyah teman-temanmu. Lalu sekarang, kau hanya sendirian di kamar. Tidak ada pesan masuk di ponselmu. Begitu sunyi. Sampai suara jam dinding terdengar jelas menjadi musik pengantar tidurmu. Kau memperhatikan jarum yang terus berputar ke arah kanan.
Yang kedua, rasanya juga benar. Di umur yang sudah tidak belasan tahun lagi. Ya, sekarang usiamu sudah genap 20 tahun. Tanggung jawab dalam hidup pasti semakin besar. Entah siap atau tidak, tapi itulah kenyataan yang harus kau hadapi.
Kau masih terus memandangi arah jarum jam itu. Berharap supaya jarumnya bisa bergerak ke arah kiri. Kembali ke waktu bersama teman-temanmu. Barangkali keadaan tadi tidak membuatmu kesepian begini. Sebetulnya ada yang lebih ingin kautanyakan. Tepatnya bertanya kepada dirimu sendiri beberapa jam yang lalu, “Kenapa kau memaksakan diri dan menuruti permintaan untuk mentraktir mereka?”
Tapi kau sadar, itu tidak ada gunanya. Terpaksa atau tidak kau mengeluarkan uang untuk mereka, rasanya akan sama saja. Kau tetap bisa membuat kenyang perut mereka, dan bisa mengecoh kesepianmu dengan keramaian semu itu.
Kau berharap waktu bisa berputar lebih jauh lagi ke arah kiri. Kembali ke masa di mana kau masih bersama pacarmu. Kau ingin tahu, di mana letak kesalahan hubungan itu sampai harus bubar dan tak ada lagi jalan keluar. Ingin lebih jauh lagi. Ketika kau tau-tau menjalin hubungan tanpa menembaknya. Kala kencan dengannya. Kenapa kau bisa merasakan rindu saat tidak bersama dengannya. Pertama kali berkenalan dengannya dan sedikit deg-degan, dan seterusnya, dan seterusnya sampai ke tempat pertama kau berjumpa dan melihat parasnya yang menawan.
Kau lantas membayangkan, kalau saja kala itu tidak berada di tempat pertama bertemu dengannya, kira-kira bagaimana? Apakah dirimu yang sekarang ini akan lebih baik, atau lebih buruk?
Kau ingin pergi lebih jauh lagi. Kembali ke masa sekolah, di mana dirimu cuma fokus belajar akan mata pelajaran di sekolah. Menjawab soal-soal yang masih terasa mudah. Jauh sekali kalau dibandingkan mempelajari kehidupan ini. Yang menurutmu susah dalam mencari jawabannya.
Lagian, kau juga tidak perlu mencari uang sendiri. Mendapatkan uang hanya tinggal meminta orang tua. Nikmat sekali masa muda itu. Tapi kau tau, hal itu tidak mungkin terjadi. Saat ini, belum ada yang namanya mesin waktu. Satu-satunya mesin waktu adalah kenangan yang ada di otakmu.
Akhirnya, kau bangkit dari kasur, menyalakan laptop, kemudian membuka aplikasi Ms. Word. Mengetik sebuah puisi:
Usiaku bertambah, tapi tidak dengan kedewasaanku. Gejolak itu terlalu cepat, tapi kesiapanku masih lambat. Mungkin sekarang aku tak mengerti atas apa yang kualami.
Biarlah waktu yang kelak membuatku sadar, kalau hidup ini hanya sebuah kepalsuan yang mereka anggap nyata, sebab itulah yang memang terlihat oleh mata.
Tapi kata seorang penyair, yang fana adalah waktu. Dan bagiku, kesepian ini akan tetap abadi. Menggerogoti dadaku, lalu kepalaku, lama-lama menyerang hidupku dengan kecemasan.
Andai saja kesepian ini dapat berbicara. Mungkin keramaian bisa melakukan wawancara.
Mangajukan beberapa pertanyaaan: Dari mana kesepian itu terlahir? Bagaimana caranya tumbuh? Dan kenapa ia harus abadi?
Mungkin pertanyaan itu tak ada gunanya. Namun, kenapa orang harus tersenyum supaya bisa menipu kesepian itu? Padahal, senyum yang terlukis itu sangat palsu.
Kau tidak sreg saat membaca ulang. Diksimu itu buruk. Rimanya juga tidak pas. Kau memilih untuk menghapusnya saja. Menganggap puisi busuk semacam itu tidak pernah tercipta. Lalu, kau pun mematikan laptop dan kembali memaksakan tidur. Untuk mengistirahatkan dirimu supaya besok bisa tetap kuat saat menghadapi palsunya dunia ini. Menjalani hari-hari seperti biasanya. Hingga sesuatu yang kau kira palsu itu, dapat membuatmu terbiasa dan lama-lama kau anggap asli atau palsu mungkin memang tidak ada bedanya.
--
PS: Ini adalah sebuah cerpen bertema: palsu, kepalsuan, atau sejenisnya. Kami WIRDY, sedang rindu bikin proyek barengan seperti ini. Lumayan, kan, ini bisa bikin gue belajar dan menantang diri supaya berani nulis cerpen. Ya, meskipun hasilnya gak jelas banget. Muahaha. Mohon kritik dan sarannya.
--
Sumber gambar: https://pixabay.com/id/gadungan-pemalsuan-palsu-penipuan-1726362/
47 Comments
Wah unik juga nih cerpen pakai sudut pandang orang kedua. Mantap lah project-nya.
ReplyDeleteBagus.
Emang lagi belajar gunain sudut pandang kedua. Ehehe. :D
DeleteNuhun.
Tulisan yang sangat kontemplatif. Kebetulan baru kejadian di aku beberapa waktu yang lalu. Seorang teman minta traktiran ultah dengan setengah ngotot, tapi pas waktunya dia ultah, info TTL seluruh medsos beliau diatur invisible biar nggak ketahuan. Licik sekali.
ReplyDeleteBanyak ternyata yang begitu, ya. Hahaha. Wah, barbar tuh orang!
DeleteMembacanya seolah-olah yoga sedang berbicara pada diri sendiri.
ReplyDeleteSeru yah main proyek2-an. Kalo gue sih paling lagi mantau proyek jalan tol :)
Ini fiksi, kok. :) Proyek mengobati patah hatinya dengan liburan ke Jogja udah dilanjut belum? :p
DeleteMembacanya seolah-olah Yoga sedang berbicara pada diri sendiri. (2)
ReplyDeletePas di tengah-tengah tulisan ini, aku pengen mutar Stressed Out-nya Twenty One Pilots. Rada related sih menurutku. Btw itu banyak juga yang ditraktir njiiiiiiiir. Dan yha, kadang ucapan "Mana traktirannya?" "Traktirannya dongs!" itu bisa aja palsu sih. Bisa aja buat basa-basi doang. Tapi kalau diucapin sama orang yang gak enakan, bisa diseriusin. Makanya jadi orang nggak enakan itu nggak ena ya, Yogs. :(
Ke orang yang gak enakan maksudnya, Yogs. Huahaha.
DeleteIni fiksi, kok. :) (2)
DeleteWih, 21 Pilots jadi kesukaanmu, ya. :D Nah, itu! Biasanya mereka bercandain aja, sih. Tapi kan beberapa ada yang beneran nagih. Hahaha.
Fokusnya ke kata 'boro-boro', Yog. Wkwkwkwk. Mungkin lebih tepat pakek kata 'jangankan' atau 'alih-alih' gitu, biar sesuai konteks.
ReplyDeleteHalah.
Btw, aku jugak heran, kenapa yg ultah malah yg harus traktir? Kalo aku dulu sama temen-temen akrabku justru aku yg ditraktir plus dikasih kado. 😂😂😂
Wqwq. Oh, iya juga. Rada nggak enak. Oke, dicatat. :)
DeleteMakanya, bingung kan jadinya. :D
Iya kenapa jadi yang traktir? Aku dikasih kue dan kejutan. Yah gitu.
ReplyDeleteYah, gejolak itu terlalu cepat. Tapi kesiapanku lambat ðŸ˜
Kok malah inget lagu anak kecil yang "paling enak jadi anak. Mau apa juga enak. Tinggal ngomong.. doang!"
Aturan emang yang ultah dikasih hadiah kan, ya. Jangan dibebanin gitu. :)
DeleteLagu apaan itu? Gue baru tau. XD
Oh, ini tentang teman palsu. Lagunya Young Lex ada tuh. Coba denger. (Sok-sokan rekomen yonglek dikira LexSugar lagi)
ReplyDeleteSeperti biasa, sudut pandang orang kedua kenapa ngena banget. Nggak pernah ngalamin separah itu, cuma sering denger aja cerita serupa. Kasihan. Oiya, lagi demen nulis fiksi, bang Yogs? Pengin nulis fiksi lagi jadinya. Masa baru nulis fiksi kalo ada giveaway. :')
Bukan temen palsu aja, sih. Banyak hal yang dialami si tokoh itu ternyata palsu. Wqwq.
DeleteIya, lagi belajar nulis cerpen lagi. Alias lagi males curhat. :)
Suka kesel juga kadang tiap lagi ulang tahun, cuma sekedar ngucapin HBD terus minta traktir. Emangnya gue siapa? :D
ReplyDeleteCara penulisannya keren. Saya suka saya suka. :D
Btw, awalnya gue malah kepikiran Alamat Palsu - Ayu Ting Ting dari judul post ini.
Lu Ilham, kan?
DeleteMakasih, ya. :D Aduh, jangan-jangan lu ini bala-bala itu? Wqwq.
Bagus. Menarik. Udah itu aja. Muahaha. *langsung liat punya yg lain*
ReplyDeleteMakasih, Riz. Udah gitu aja. :D
Deletewah bagus masih mending dapat ucapan "hb". tahun ini aku sama sekali tidak mendapat ucapan apapaun.
ReplyDelete...
dan ini adalah ungkapan hatimu kurasa. bukan sekedar cerpen biasa.
Aduh, parah masa nggak dapet sama sekali. :( Wahaha. Tapi usiaku bukan 20 lagi. Ungkapan hati orang lain, yang mungkin aku wakilkan. :p
DeleteKeren banget..
ReplyDeletedari sudut pandang yg kedua
bener-bener bawa kesegaran..
:)
Bawa kesegarannya karena kamu sambil minum es teh manis? :p
Deletesepertinya cerita ini related sama kehidupan nyata sebagian orang.
ReplyDeletesaat kita ulang tahun banyak banget yang berubah hanya sekedar traktiran makan. :')
Dan kalo lagi pas ngumpul, semua sibuk sendiri. kayak gak di anggep teman yang ada di sekelilingnya.
ini aku curhat apa yak ?
Iya, sengaja cari cerita yang dekat sama keseharian. Gak apa. Curhat masih diperbolehkan, kok. Belum ada larangannya. :D
Deletekeren....
ReplyDeletesebuah peryaaan palsu memang
mendekati ajal kok dirayakan (apa seh???)
good job mas
Sebetulnya lebih baik ke acara syukuran gitu aja, ya. Wqwq. Yeah!
DeleteBagus, yaa. Berasa jadi si tokoh utama. Emang bener, menginjak usia duapuluhan rasanya nano-nano. Hhh~
ReplyDeleteAku udah lama gak nulis cerpen. Jadi kangen nulis cerpen. Hahaha.
Manis, asem, asin, enak rasanya gitu? Kalo emang kangen bikin cerpen, maka segera menulislah~
Deletejd pengin punya proyek2an nulis gini, keren sekaligus melatih ninjutsu menulis supaya lbh saik lg. btw, darma mana darma, kgk nulis2 hehe kan dsna jg da internet.
ReplyDeleteGenjutsu, sih, lebih tepatnya. :p Darma fokus belajar agama, Lam. Gak sempet dia ikutan. Wqwq.
DeleteWahh. Asyik nih ada proyek nulis bareng gini. Ajak-ajak lah sesekali:-)
ReplyDeleteIni tulisannya enak banget, delat banget sama keseharian.
Sudut pandang kedua, tapi Yoga tetap ada menjadi yang bijaksana:-)
Emm, ada beberapa kata tidak baku yang tidak dibuat miring, Yog. Atau memang sengaja?
Btw.. Si "kamu" baru 20 tahun. Meskipun marginnya gak terlalu jauh,, gue ngerasa tua gini.
Hahaha. Langsung ikutan aja juga gak apa, Mas. :p Bisa aja yak nyempilin si Yoga. XD
DeleteKelupaan pas ngedit kayaknya, Mas. :) Jangan ngerasa tua-tua banget, ah. :p
Kangen juga nulis bareng begini. Jadi ingin. Nyari partner ah! Wkkk.
ReplyDeletePartner nulis sekalian partner hidup, Teh? :p
DeleteWkwkwkwk, kirain asli
ReplyDeleteWakakaka palsu banget.
DeleteGue baca ini malah kayak, elu lagi nyeritain diri sendiri, Yog. Hahahaa
ReplyDeleteBagus nih. Dialognya sedikit.
Btw, tulisan fake taxi-nya mana nih?
Padahal ceritain diri sendirinya cuma bagian merenung bertambahnya umur. Yang ultah itu dari pengalaman temen. Haha.
DeleteUdah nggak nulis jorok. Maaf, ya.
I got your message! dan suka ngga suka, memang banyak benernya :)
ReplyDeleteWih, pesanku tersampaikan. Iya, karena cerpen ini tercipta dari pengalaman seseorang. Haha. :)
Deletewah bener banget nih, yang ultah suka di mintain traktir mulu aih
ReplyDeleteAih. Pernah dimintain, ya?
DeleteAku yang baru ulang tahun ke 20 dan dimintain traktiran sana sini kok jadi dapet feel banget :(
ReplyDeleteHidup hanya sebuah kepalsuan yang mereka anggap nyata. Hmm
usiaku bertambah tapi tidak dengan kedewasaanku. Hmm lagi :(
Tahun lalu ngerayain ulang tahun bareng pacar tapi udah putus 5 bulan yang lalu. Aku 8 bulan. Anjir lah ini jadi ngerasa baca curhatan sendiri :(
Mantap keren mon maap komen mengandung curhatan :')
Hmm mulu lagi sakit tenggorokan, Mbak? Minum laserin~
DeleteKomen yang lainnya juga curhat, kok. Santai aja. Soalnya cerpen ini bisa lahir karena dengerin curhatan temen. Hahaha.
Wah, berasa dapet aura kontemplasinya, ceritanya terasa... personal. Pemilihan sudut pandangnya "dapet" banget untuk jalan cerita. Abis baca, langsung jadi kepikiran ini itu.
ReplyDeleteKalo ultah, yang namanya traktiran kayaknya ga lepas dari benak semua orang. Udah mendarah daging. Belom lagi kalo ngebawa mereka rame-rame, ujung-ujungnya kayak yang lo bilang di atas: abis kenyang, pada sibuk sendiri-sendiri.
Lebih enak kalo nraktir sama bener-bener yang deket aja, ga lebih dari lima orang. Kalopun orangnya lebih, dibelah & jadwalin di hari lain biar berasa privat. Emang sih pasti bakal ada yang ngiri ga diajak dan comment ini itu, tapi bagi gua pribadi, quality time lebih penting daripada kuantitas.
Lah, jadi curhat. Haha.
"Satu-satunya mesin waktu adalah kenangan yang ada di otakmu" --> ga tahu kenapa, gua suka banget kalimat ini. Kalo dipikir-pikir, daripada ngarepin mutar waktu -- yang mana mustahil -- toh pikiran kita bisa ngembangin mesin waktu versi masing-masing :p
Overall, keren Yog.
Padahal lagi belajar pakai sudut pandang kedua ini gue. Ehe. Malah feel-nya dapet, ya? :D
DeleteHm, jadi misalkan nanti ultah beneran gak usah sekaligus banyak gitu, yak. Malah jadi ribet emang kalo kebanyakan orang kayak fiksi ini. Gak ada larangan curhat, kok. :p
Wqwq. Iya, tapi kenangan berlakunya untuk ke masa lalu aja, kan. Kalo ke masa depan, lebih ke berandai atau soal mimpi-mimpi gitu. Thanks ya, Bay! :D
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.