Sebelum membaca ini, boleh simak tulisan Bagian Pertama dan Bagian Kedua.
Hari Ketiga
“Tempat wisata pada jauh dari sini, Yog. Yang deket cuma Keraton Solo,” ujar Ilham pada hari sebelumnya.
Jawaban itu pun membuat gue bingung. Tujuan gue ke sini tuh ngapain, sih? Gue sebagai orang yang memang jarang bepergian ke luar area Jabodetabek. Sekalinya memilih pergi, pasti niatnya untuk jalan-jalan ke tempat wisata yang terdapat di daerah yang gue tuju itu. Namun, di kota yang gue jadikan tempat liburan ini ternyata malah jauh dari tempat-tempat wisata. Jauh dari pantai, curug (air terjun), maupun Menara Eiffel (bodo amat anjis!).
Tapi serius deh, gue masih nggak ngerti apa sebenarnya maksud dan tujuan gue pergi liburan ke Solo ini? Apakah benar untuk bisa bertemu teman-teman yang ada di grup WWF (Werewolf Telegram), sekadar menghilangkan rasa penat di Jakarta, atau merayakan selesainya proyek kerja part time pada seminggu sebelum liburan? Hm, atau gabungan dari ketiganya? Kok gue jadi kelihatan maruk, ya?
Apa jangan-jangan bukan itu semua? Apa niat gue cuma buat makan atau kulineran di sini? Sebab di awal sebelum keberangkatan, gue memang sudah diberi tahu kalau di sana jarang tempat wisata. Di Solo itu lebih ke kulinernya yang murah-murah—kalau dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta. Ah, entahlah! Gue sudah berada di sini. Nggak peduli lagi apa pun tujuan awal gue itu. Jadi, pada hari terakhir, satu-satunya tempat yang bisa gue tuju adalah Keraton Solo.
***
Kami telah membeli tiket Keraton Solo seharga Rp10.000,00 per orang. Lalu, jika ingin memotret menggunakan kamera selain handphone, akan dikenakan tarif tambahan Rp3.500,00. Jika kamu mau mendengarkan cerita dan mengerti sejarah, bisa pakai jasa tour guide senilai Rp30.000,00. Namun, kami sudah ada Hana dan Ilham yang nanti bisa menjelaskan soal isi keraton ini. O iya, waktu kunjungan ke Keraton Solo ini, yaitu: Senin-Jumat pukul 09.00-14.00 WIB, sedangkan pada Sabtu-Minggu pukul 09.00-15.00 WIB.
Adapun beberapa ketentuan di Keraton Solo, tapi yang gue ingat hanyalah:
1. Nggak boleh memakai alas kaki, kecuali sepatu. Jadi, sendal yang kakinya kelihatan itu gak boleh;
2. Nggak boleh memakai topi dan kacamata hitam;
3. Nggak boleh memakai celana atau rok pendek;
4. Nggak boleh membawa pulang pasir di dalam Keraton;
5. Nggak boleh menyentuh patung atau karya seni lainnya yang ada di dalam museum.
Saat gue sedang melihat gambar peraturan yang berisi larangan itu, ada seorang bapak penjaga Keraton Solo yang kemudian berbicara kepada gue tentang sejarah Keraton (yang sekarang ini udah lupa). Yang gue ingat malah ketika ia bertanya dari mana gue berasal. Gue pun menjawab jujur datang dari Jakarta.
“Untuk masuk ke sini, kita harus sopan. Sama seperti Adek yang dari Jakarta ini kalau dateng ke kantornya dan ikut rapat pasti pada rapi, kan. Nah, di sini juga harus begitu.”
Gue cuma bisa mengangguk tanda setuju.
Nah, Haris dan Jaimbum yang tidak memakai sepatu, mau nggak mau harus melepas alas kakinya untuk mematuhi peraturan di sini. Lebih tepatnya mereka nyeker. Kemudian, gue pun menjauh dari mereka dan sibuk memfoto area Keraton. Setelah puas bermain-main di halamannya, kami pun berjalan menuju ke arah museum.
“Aduh, kakiku nempel banyak pasir nih,” ujar Jaimbum sambil memperlihatkan telapak kaki kirinya.
Konon, pasir yang terhampar di halaman keraton ini dapat menyembuhkan segala macam jenis penyakit jika berjalan di atasnya. Asyik banget Haris dan Jaimbum bakalan sembuh. Ya, barangkali aja mereka punya penyakit. Terus berarti orang-orang yang lagi sakit hati bisa sembuh juga dong nih? Cobain, gih!
Sayangnya, gue pakai sepatu. Ya, meskipun gue nggak lagi sakit hati, sih. Cuma, kan, kalo bener bisa nyembuhin, itu mungkin bisa menyembuhkan sifat males dan menunda-nunda menulis di diri gue ini. Muahaha.
Setelah Jaimbum dan Haris selesai membersihkan pasir yang menempel di telapak kaki mereka, barulah kami masuk ke dalam museumnya. Kala baru masuk ke ruangan depan, kami langsung disuguhkan bermacam foto silsilah kerajaan. Kemudian ada sebuah kursi yang terdapat peringatan untuk tidak boleh mendudukinya. Entahlah kursi ini dulunya pernah diduduki oleh siapa. Tapi yang jelas, gue tidak begitu tertarik untuk memotretnya.
Kami pun berjalan lagi ke ruangan selanjutnya. Di ruangan ini, karya seninya mulai beragam, yaitu terdapat keris, gong, lukisan, dan patung (mungkin terbuat dari lilin, karena gak boleh disentuh dan gue belum bisa memastikannya). Aroma magis khas tempat bersejarah juga mulai tercium.
Kala gue sedang foto-foto, Hana kemudian bilang kepada kami, “Nanti jangan foto keretanya, ya.”
Gue sejujurnya bingung. Kereta apaan? Emang ada kereta di sini? Kereta zaman dulu yang masih ada uapnya gitu, kah? Wah, keren dong! Tapi kenapa gak boleh difoto, ya? Pertanyaan itu terus menggantung di kepala gue.
Sesudah menelusuri hampir seluruh museum ini, ternyata kereta yang dimaksud Hana adalah kereta kencana. Bukan kereta api. Gue kok merasa bodoh gitu karena nggak kepikiran soal ini. Kenapa gue ngira kereta yang panjang itu? Kalau gue orang Medan, mungkin aja gue akan mengira kereta yang dimaksud Hana itu bukan kereta kencana atau kereta api, melainkan motor. Sebab kalau di Medan, motor itu artinya malah mobil. Kalau motor dalam arti sebenarnya di sana biasa disebut kereta.
Ya, sebuah kebiasaan setiap daerah memang berbeda-beda. Berbicara soal kebiasaan begini, gue jadi inget kemarin malam sewaktu berangkat ke kafe. Malam itu, gue dan Haris hampir tertabrak oleh motor. Haris yang membawa motor pada saat itu emang lagi meleng. Gak tau kenapa, ia bisa-bisanya nggak memperhatikan jalanan dengan benar. Ia tetap ngebut ketika lampu sudah kuning dan berganti merah. Kebiasaan yang mungkin ada di Cilegon (tempat tinggalnya), atau seperti yang gue tahu di Jakarta, yang mana memang banyak pengemudi suka menerobos lampu merah selama nggak ada polisi yang jaga.
Berbeda sekali dengan orang Solo. Kalau merah, ya berhenti. Mau nggak ada yang jaga sekalipun, mereka nggak akan melanggar peraturannya. Mungkin aja ada sedikit orang yang begitu, tapi gue nggak tahu pastinya. Dan yang terpenting, mayoritas dari mereka itu orang-orangnya kalem abis.
Orang yang hampir menabrak kami berdua, gue perhatikan hanya tersenyum dan mungkin menganggap tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal gue yakin, mereka kaget seperti gue yang dibonceng oleh Haris si tukang meleng. Kalau kejadian itu terjadi di Jakarta, gue sama Haris pasti udah dimaki-maki, disuruh berhenti, dan turun dari motor. Terus mungkin kami bakalan bertarung ala Smack Down di jalan raya dan bikin macet. Namun, orang Solo nggak begitu. Mereka membiasakan dirinya dengan sikap lemah lembut. Seharusnya, kami yang pendatang ini lebih menghargai kebiasaan di sini. Jangan sampai menganggap Solo seperti di Jakarta. Kacau nanti!
Kembali ke cerita soal kereta kencana. Kereta itu sepertinya memang tidak boleh difoto, karena yang gue lihat keretanya sudah terbungkus kain kuning. Sebelum gue bertanya kenapa kereta kencana itu nggak boleh difoto. Apakah kereta itu dulunya pernah ditumpangi oleh Cinderella? Bagusnya, Hana sudah menjelaskan terlebih dahulu kalau kereta itu biasanya digunakan untuk mengangkut jenazah pada zaman dulu. Gitu toh. Gue, sih, tetap berharap kereta itu mengangkut jenazah Cinderella. Ehehe.
Begitu keluar dari museum ini, gue jadi mulai merenung dan memahami soal peraturan di tempat-tempat wisata. Gue berusaha untuk mengikuti aturan di Keraton Solo ini; tidak memfoto kereta yang memang dilarang itu, nggak duduk di bangku yang ada tulisan “Dilarang duduk di sini”, apalagi untuk menyentuh patung-patungnya. Sama sekali nggak gue lakuin larangan itu.
Begitu juga ketika nanti gue berada di tempat lain. Tidak membuang sampah sembarangan; tidak merokok di tempat umum (lagian, gue juga gak merokok); tidak memetik Edelweis ketika mendaki gunung; tidak memotret dengan flash di tempat yang memang melarang penggunaannya; dan lain-lain. Gue mencoba untuk menghargai budaya dan menghormati peraturan setempat. Nggak susah, kok.
Atau gue bakalan terus mengingat kode etik petualang yang terdiri dari tiga hal, yaitu: 1) jangan mengambil apa pun kecuali gambar; 2) jangan meninggalkan apa pun kecuali jejak; 3) jangan membunuh apa pun kecuali waktu.
Sehabis kami membunuh waktu, nggak terasa hari mulai siang. Jam menuju kepulangan tinggal sebentar lagi. Nggak banyak yang bisa gue lakukan selain untuk membeli oleh-oleh dan packing. Kemudian waktu pun berlari lagi dengan cepat. Nggak terasa sudah sampai di menit-menit mendekati keberangkatan kereta dari Stasiun Solojebres menuju Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Selain Hana dan Ilham, Jung pun ikut menemani kepergian kami (gue, Haris, dan Tiwi) hari ini. Jaimbum berbeda tujuan karena pulangnya ke Malang dan masih nanti malam, sedangkan Bena katanya masih mau mampir ke Jogja.
Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk berfoto.
***
Saat ini, gue sudah berada di gerbong dan menunggu kereta ini berangkat sambil memutar lagu secara acak. Maka, sekarang hanya tersisa detik-detik untuk menikmati kenangan selama gue di Solo.
Gue pun memulai ingatan itu sejak turun dari kereta pada tengah malam, kemudian keluar stasiun yang sudah dijemput dan langsung disambut oleh Hana dan Ilham. Mencari penginapan yang butuh perjuangan, sebab entah kenapa hotel-hotel pada malam itu begitu penuh. Kemudian dilanjutkan ketika gue yang mendadak jadi sering jajan karena harga makanannya murah. Numpang wifi-an di indekos Hana. Berusaha tetap gaul main ke kafe dan bercanda kelewatan ketika menarik jilbab Jaimbum. Lalu, main ke Pasar Antik dan menghirup aroma masa lalu. Dan terakhir, tadi habis berkunjung ke Keraton Solo dan gue malah jadi belajar menghargai budaya dan peraturan.
Ah, semua itu menjadi campur aduk. Kereta yang gue naiki ini sudah jalan dari tadi ketika gue asyik mengenang. Gak terasa. Kayaknya baru aja pergi ke Solo, eh sekarang sudah harus kembali ke Jakarta. Ya, seperti kalimat di dalam novel. Setiap pergi pasti ada kembali.
Baik itu seperti gue yang harus kembali ke Jakarta dan belum tau nantinya bakal ngapain. Belakangan diketahui, gue ternyata bikin karya berbentuk e-book bersama WIRDY. Atau bisa juga seperti Bena yang kembali mencari tempat liburan baru, yaitu Jogja. Bisa pula seperti Tiwi yang kembali menjalani LDR, dan suatu hari nanti akan kembali lagi ke Solo untuk menemui kekasihnya.
Atau malah seperti Dian Hendrianto yang pergi ke Jogja untuk melupakan gebetan dan menyembuhkan patah hatinya. Yang mana nantinya tentu bakal kembali ke Bekasi untuk menerima kenyataan dengan perasaan yang ikhlas dan berharap menjadi pribadi yang lebih kuat. Bahkan, kepergian kita meninggalkan dunia ini (kematian) pun, itu juga akan kembali. Roh kita akan kembali ke Tuhan dan berada di alam lain. Wallahu A’alam. Oleh karena itu, entah merasa puas atau tidak puas, gue harus kembali setelah pergi. Perjalanan ini sepertinya sedikit mengubah cara pandang gue melihat dunia.
59 Comments
Kelar baca tulisan ini enaknya dikasih lagu-lagu band pop punk. Bikin semangat lagi!
ReplyDeleteHmmm, bg Haris ternyata jiwanya anak Jakarta banget ya. Untungnya orang setempat itu nggak kayak orang-orang di Jakarta juga yang ngegoblok-goblokin pengemudi yang meleng. Solo beda banget.
Lagu apa aja tuh? Coba rekomendasiin. Jelas beda, Rob. Jakarta terlalu keras. Haha.
DeleteHehe jadi ingat dulu sempat berdebat dengan teman yang dari Medan masalah kereta dan motor
ReplyDeleteSetelah baca aturannya, ternyata boleh ambil foto ya, batangin kalau nggk boleh ambil foto? bisa nganggur nih kamera haha
Saya juga awalnya kaget kalau kereta itu motor bagi orang Medan. Hahaha.
DeleteSedih banget kalau gak bisa motret juga mah. Gak ada yang bisa diabadikan. Hanya dalam kenangan di kepala. :(
Aciyeeeeee. Trilogi Solo. Ini kalau difilmkan, udah kayak trilogi Before kali ya. Ah sotoy. Btw aku paling suka sama dua paragraf terakhirnya, Yogs. Adem dibaca. Ini bukan suka yang kayak "Baru mampir udah suka sama tulisannya," ya. Tapi beneran suka. Yoga bijik semakin hari semakin bijak.
ReplyDeleteDan itu keretanya HUAAAAAAA. Kok keren ya ada kereta buat ngangkut jenazah. Pas kamu bilang Cinderella, aku udah kayak mikir kalau keretanya itu terbuat dari labu. Hahahaha.
Before itu film apaan lagi dah? Haduh. Pakar film kalau udah komentar, bikin gue gugling dulu. :p
DeleteMana dah bijak? Cuma nulis yang emang di kepala. :|
Sayangnya, gak boleh difoto. :( Wqwq. Iya juga, ya. Kereta Cinderella itu kan dari labu.
Si tai, tulisan akhirnya.. gue jadi pengen dangdutan.
ReplyDeleteHaha. Digoyang, Bang!
DeleteKelar juga ya akhirnya cerita tentang Solo-nya, seru banget sih. Dan gua suka sama kode etik yg ditulis di atas, kaya kena bgt.
ReplyDeleteItu kereta kencana serem ga sih bentuknya? Biasanya kalau yg ga boleh dipoto itu serem gitu, terus kalau maksa moto biasanya kadang suka ada yg ngikut, lah ini ai sotoy amat ya soalnya pernah sih.
Hahaha. Kelamaan ditunda sayangnya, Nad. Agak kurang feel perjalanan itu buat gue jadinya. :(
DeleteCoba gugling aja deh. Ng... soal itu gue juga takut maksa foto hal yang dilarang. Bisa aja kesurupan, kan. Katanya kalau mau motret, kudu hubungin abdi dalemnya. Terus macam didoain gitulah.
Yog, itu cowok di sebelah lau siapa? Kok mirip? Janjangan.. 😂😂😂
ReplyDeleteKamu kok jahat banget sih. Masa waktu dibunuh. Mestinya disayang-sayang, trus dikasih perhatian. :'
Itu Jung. Emang mirip sih. Hahaha.
DeletePerasaan beda deh. :|
DeleteHabis itu dicium gak, Beb?
Oh, itu Jung. Baru tau ._.
DeleteMirip, Yog! Seriusan! Wkwkwk :p
DeleteJangan dicium. Kan belom halal. Dizinain aza..
Perasaan enggak mirip. Tapi kalo diliat-liat kok jadi mirip. Cetakannya mana nih...
DeleteLumayan juga tiket masuknya ya, Mas.10k..
ReplyDeleteTapi aku penasaran pengen bisa masuk ke kratos itu, sedikit tahu sama foto2nya..hehe
Meskipun belum seberapa sering maen ke Solo. Tapi lihat kraton jadi pengen ke Solo lagi, secara belum pernah ke kraton..
Itu foto paling belakang pake peci sepertinya tidur ya, Mas..hehe
Iya, lumayan. Hehe. Kalau gitu cobain dong, Mas. :D
DeleteWaduh. Merhatiin aja foto yang itu.
Keliatan soalnya fotonya Mas..hehe
DeleteIn shaa Allah dilain waktu, semgoa bisa ke Solo lagi :)
Saya pun sempat mengira kalau kereta itu kereta api tua zaman Belanda. Gokil ya.
ReplyDeleteDan sampai sekarang saya nggak nyadar kalau saya hampir nabrak. Wkwkwkwk.
Btw, beneran ini butuh 3 part untuk menjelaskan perjalanan ke Solo.
Wakakaka. Gue gak sendirian, ya. :) Kampretlah emang. Meleng gitu lu! Mau ditabrak motor gak sadar. :|
DeleteIngatlah kata Pangeran! Butuh 3 part buat jelasin itu semua. Gue sudah jelasin. Tinggal nunggu trilogi si Pange aja nih.
Dalam etika karya seni lukisan emang gak boleh di pegang sih.
ReplyDeleteJadi penasaran sama keretanya. Tapi agak serem juga waktu tau ternyata untuk jenazah..
Iya, Rum. Ada etikanya gitu. :D Merinding nanti pas berdiri di dekatnya. Halah.
Delete((ketika menarik jilbab jaimbum)) ini kok terdengar agak brutal ya..
ReplyDeleteEmang brutal, Di. Coba lihat bagian keduanya deh. :(
Deletewaaah di keraton seru sih, cuma suasanya kayak mencekam gimana gitu ya
ReplyDeleteIya, agak-agak gimana gitu deh. Namanya tempat bersejarah. Haha.
Deleteseruuu memang jalan bareng-bareng temen-temen yaaa :)...aku juga paling suka ke tempat bersejaran. Banyak ceritanya dan suka rada-rada mistis hehehe. Love reading your story :)..aku dah follow bogmu :)
ReplyDeleteIya, meskipun seringnya jalan sendirian. Haha. Hal mistis itu bisa jadi bumbu perjalanan, sih. Ehe.
DeleteTerima kasih sudah follow. :D
jadi jalan jalan kesolonya jadi trilogi nih gaaa...heheh ,itu si arif kenapa baanget dah mukanya ,,wkwkw lawak ajaaa maah
ReplyDeleteIya, Res. Biar artikel gue banyak. Muahaha. Parah mukanya dikata lawak. XD
DeleteReski memang hahahahanjaaayyy... awas kam!
Deletemenara eifell udah kelewat jauh banget mas :D
ReplyDeleteKan biar mendramatisir. Halah.
DeleteSeru ya ke Jogja rame-rame gitu tapi bukan dalam rangka study tour. Bebas. Saya ke Jogja pernah rame-rame, terus pas pulang suruh bikin karya tulis. Kan, kampret =(
ReplyDeleteIni padahal cerita tentang Solo, Mas. :(
Deletewah sholihin ke solo jadi suka jajan. Ini jajan kan? bukan 'jajan'?
ReplyDeletegue bayangin haris di keraton ini kok sial sekali ya muahahaha. pake acara nyeker segala. :))
Tanpa tanda kutip kok, Jog. :)
DeleteHaris emang begitu, kan. Pas di Malang aja mukanya terlihat seperti habis mengalami kesialan. Hehehe. Cnd.
Entah kenapa guw barusan sadar habis baca kalimat penutup yang menenangkan. Jarang2 loh seorang Yoga nulis kalimat penutup yang mendidik, atau mungkin gue yg baru menyadari perubahan drastis ini (soalnya yg keinget selalu soal es krim).
ReplyDeleteOke, ini bagian ketiga ya. Kayaknya waktu itu gue ketinggalan momen bnget. Ah, waktu berlalu begitu cepat, dan kenangan yang muncul begitu menyesalkan. Lain waktu, aku tunggu kalian di tanah daeng, Makassar.
Emang lagi diusahakan gak nulis jorok lagi, Rey. Semoga. ((jarang-jarang mendidik)). Parah! Es Krim Spesial masih diinget aja. XD
DeleteAamiin. Semoga bisa kesampaikan ke sana, Rey. :D
Bagian akhirnya ga enak banget pasti bagi dian. Yoga mah ngingetin terusss kesian dian.
ReplyDeleteWaktu lo ke Solo kan sering banget ngesahre makanan murah yog, duhh jadi pen ke solo jugaa...
Supaya Dian bisa lebih kuat, Cup. :) Nah, cobain main ke sana dong. :D
Deletelah, kalah gue sama anak jakarta yg udah masuk masuk blusukan ke keraton solo *nangis iri* hehe
ReplyDeleteLoh, emang lu belum yak? Haha.
Deletemungkin kalonginjek pasirnya pake sepatu, sepatunya yang bakal sembuh~
ReplyDeletekalo tentang keretanya, aku nggak salah nangkep. karena kalo di kraton sini juga ada kereta yang bentuknya emang kereta kencana gitu, di sini yang aneh malah kalo nyebut lereng. lereng artinya sepeda. dulu ketika ada orang yg bilang naik lereng, aku mikirnya lagi nanjak jalan bukit.
alhamdulillah selesai cerita solonya~ :D
Yakali, Haw~
DeleteBahaha. Habisnya emang gak kepikiran soal kereta kencana, sih. :| Wqwq. Seriusan artinya sepeda? Lereng itu gue juga taunya semacam bukit. Makasih infonya. Mungkin suatu waktu hal ini terjadi dan gue nggak bloon pas diajak ngobrol. Ehe. :)
Wasyukurillah. :D
Aku udah pernah komen disini tapi gatau kenapa komenku ga ke post ðŸ˜
ReplyDeleteKok bisa gitu? Gak pernah ngapusin komen padahal. :/
DeleteSejenis ga kekirim gitu kayanya deh eheheh
Delete1) jangan mengambil apa pun kecuali gambar; 2) jangan meninggalkan apa pun kecuali jejak; 3) jangan membunuh apa pun kecuali waktu.
ReplyDeleteJadi kalo ada nyamuk atau lalat, atau hantu, dibiarin aajaaaa?
Tapi gua salut banget sama lo yang masih sadar mengikuti peraturan dan menjaga keragaman kebudayaan..
:D
Ya, mungkin itu pengecualian. Maksud dari kode etik itu, kan, soal yang membunuh tumbuhan. Banyak yang ngaku pencinta alam, tapi justru merusak alam. Begitu. Hm, hantu bisa dibunuh?
DeleteTerima kasih sudah salut. :D
Jawaban yang lumayan logis tapi sedikit ngaco:
ReplyDelete1. Nggak boleh memakai alas kaki, kecuali sepatu. Jadi, sendal yang kakinya kelihatan itu gak boleh;
Biar sopan dan enggak setengah-setengah. Kalo tutup ya tutup semua. Kalo buka ya buka semua.
2. Nggak boleh memakai topi dan kacamata hitam;
Tidak boleh sombong di dunia. Tidak boleh pamer kekinian. Sebaliknya, tidak boleh merasa inferior. Pede aja.
3. Nggak boleh memakai celana atau rok pendek;
Jelas. Kamu cowok yog. Enggak bagus kalo pake rok. Nanti lucu.
4. Nggak boleh membawa pulang pasir di dalam Keraton;
Keraton bukan tambang pasir. Ingat itu.
5. Nggak boleh menyentuh patung atau karya seni lainnya yang ada di dalam museum.
Mengingatkan kita untuk tidak menyentuh yang enggak-enggak. Apalagi menyentuh permasalahan tetangga lain. :v
Sekian dan terima suka esih...
Betul juga, ya. Tutup aja, atau buka sekalian. :) Yang soal rok, berlaku buat pengunjung perempuan maksudku, Mas. Wahaha.
DeleteWalaah walah, kok gue baru baca ini ya, Yog :( huhuu telat banget ih.
ReplyDeleteBtw, lu beneran mirip ya sama Jung. Hahahahaa. Sumpah. Gue liat fotonya sambil ngomong dlm hati, 'ini Yoga yg mana sik?'
Bener-bener butuh 3 part untuk jelasin ini semua ya.
Endingnya nganu :)
Tulisan perjalanan ini emang kelamaan ditunda. Jadi banyak yang gak engeh juga. :D Huhu. Padahal kan beda. Gue gondrong itu coba diperhatiin lagi. :|
DeleteNganu gimana?
Liburan selanjutnya bisa ke Madura kak, di sini banyak pantai dan makanan harganya murah-murah hehe
ReplyDeleteWoah, nanti deh ya. Semoga ada kesempatan main ke sana. Aamiin. :D
DeleteKata-kata penutupnya dalam mas.
ReplyDeleteOh ya, tentang peraturan nggak boleh pake rok pendek rasanya cocok tuh mas, soalnya mas kan cowok, ntar malah jadi aneh.
Ehehe. Sedalam apa, Mas? Maksudku peraturan untuk cewek yang itu. :(
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.