Jangan memandang petani sebelah mata, tapi bukalah mata hati kita dan buat para petani itu menjadi melek keuangan. Stop complaining, and do something!
--
Selain memperingati Hari Buku Nasional, kemarin Rabu pada tanggal
17 Mei 2017, gue juga berkesempatan untuk meliput Workshop Nasional Inklusi Keuangan bertajuk “Road to a
Financially Literate Generation”. Acara
ini diselenggarakan oleh Citi Indonesia dan Mercy Corps Indonesia di Hotel Aston
Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Dalam workshop ini, turut menghadirkan Ibu Jennifer Bielman (perwakilan Mercy Corps Indonesia), Ibu Elvera N. Makki (Country Head of Corporate Affairs for Citibank Indonesia), serta Bapak Eko Ariantoro (Direktur Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan).
Sejujurnya, gue bahagia karena bisa menjadi salah satu tamu dalam
workshop ini lantaran workshop-nya berisi tentang kegiatan yang mendukung para
petani dan pengusaha mikro kecil. Sebagai orang Jakarta yang udah lama nggak pulang ke kampung halamannya, gue entah kenapa merasa rindu melihat para petani mencangkul di sawah, lalu menanam padi, kerbau yang membantu para petani itu, dan lain-lain. Boleh dibilang, workshop ini semacam mengobati rasa kangen gue akan suasana perdesaan.
Di acara ini, Citi Indonesia melalui wadah kegiatan kemasyarakatannya, Citi Peka (Peduli dan Berkarya), bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia menyelesaikan program Financial Education and Empowerment goes Digital and Mobile (FEED Mobile) kepada petani dan pengusaha mikro kecil di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Yang mungkin jadi pertanyaannya adalah, mengapa Indramayu?
Sebab Kabupaten Indramayu adalah salah satu wilayah yang merupakan daerah sentra pertanian. Pertanian merupakan sektor usaha utama berdasarkan persentase jumlah penduduk, yaitu 8,8%. Lalu, Indramayu juga merupakan kabupaten terbesar di Jawa Barat yang mana telah menyumbang sekitar 43 % dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jadi menurut gue, Kabupaten Indramayu ini adalah sasaran yang sungguh tepat.
O iya, sebelumnya, FEED Mobile ialah kegiatan pelatihan pendidikan keuangan dan
pengembangan usaha bagi petani dan pelaku usaha mikro kecil dengan menggunakan
metode pelatihan tatap muka dan kanal digital. Adapun aplikasi digitalnya,
yaitu: Peduli Keuangan (PEKA) Android dan Peduli Keuangan (PEKA) SMS. Aplikasi
ini berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi, artikel, tips, anjuran
pengelolaan keuangan dan pengembangan usaha, serta sarana interaksi antar
pengguna.
Program FEED Mobile ini ternyata telah berhasil menjangkau 12.950 penerima
manfaat, di mana 3.477 total penerimanya
yang telah dilatih dalam literasi keuangan dan pengembangan usaha dapat
mengakses tabungan atau produk keuangan yang sesuai kebutuhan mereka.
Setelah menghadiri acara tersebut, gue pun menjadi merenung dan berpikir tentang petani. Ketika tinggal di perkotaan, kenapa peran para petani itu seolah terlupakan begitu saja? Saat lapar, gue (boleh juga kita, kalau ada yang ikut merasa) hanya mengingat untuk makan. Namun, cuek soal makanan itu berasal dari mana. Mungkin kalau di sini, kita membeli nasi matang di salah satu tempat makan, atau membeli beras di warung. Sayangnya, lupa akan proses para petani yang menanam padi itu.
Orang-orang bisa makan nasi karena adanya petani. Apalagi
orang Indonesia menganggap kalau belum kena nasi, berarti belum makan. Kalau
seandainya nggak ada petani, orang-orang mau makan apa? Apa bakalan makan mi
instan melulu? Bahkan, bahan dasar untuk membuat mi instan juga dihasilkan dari
bertani, kan?
Gue merasa heran, kenapa banyak yang masih memandang sebelah
mata petani ini? Menganggap petani itu miskin, kampungan, dan sebagainya, padahal
kenyataannya tidak begitu. Dari salah satu cerita inspiratif petani yang gue dengarkan itu, sekali panen ia bisa mendapatkan penghasilan
sekitar Rp20.000.000,-. Salah satu petani itu mampu membiayai kuliahnya sendiri dan membeli sebuah mobil atau rumah. Itu adalah sebuah contoh petani sukses yang mengikuti program FEED Mobile ini. Apakah contoh barusan bisa disebut miskin?
Lalu, saat mengadakan
suatu survei, sekitar 70% petani di Indramayu juga sudah memiliki HP. Baik milik petani itu sendiri
(yang jarang dipegang karena sibuk bertani), milik istrinya, ataupun anaknya. Setidaknya
dalam satu rumah minimal ada yang menggunakan HP dan tidak gagap teknologi.
Lagian, kalau dipikir-pikir, kita bisa memakan makanan sehari-hari: nasi,
lauk-pauk, sayur, dan buah itu berkat adanya petani. Meskipun kita sudah
membayar dan membelinya dari mereka, rasanya nggak etis aja gitu dengan
meremehkan dan cenderung merendahkan mereka.
Mungkin kita ini seorang pekerja kantoran di suatu
perusahaan besar, melek teknologi, memiliki gadget canggih, dan lain-lain.
Namun, hal itu tidak berarti diri kita lebih baik dari seorang petani. Menilai mereka
kampungan, tapi di lain sisi kita sering mengeluhkan kondisi perkotaan yang
terlalu padat dan bikin macet. Secara gak langsung, kita seperti sedang merindukan
suasana perdesaan.
Gue pun sepakat akan program dari FEED Mobile ini
yang membantu para petani supaya melek keuangan. Terlebih lagi ketika Bapak Supendi,
Fasilitator BPR PK Kroya, yang pernah terjun langsung ke lapangan dan bercerita
tentang pengalamannya selama memberikan pelatihan di Indramayu, dan merasa
dirinya mendapatkan banyak tantangan.
“Kami harus memikirkan rencana, bagaimana caranya agar bisa
mengubah pola pikir masyarakat Indramayu untuk mau mengikuti program kami, sehingga mereka bisa memahami betapa pentingnya mengelola keuangan dan kondisi
keuangannya pun jadi lebih baik,” ujarnya.
Para masyarakat Indramayu yang jauh dari daerah perkotaan,
apalagi yang pelosok, katanya kurang mengenyam pendidikan. Sulit mengerti maunya
mereka itu bagaimana. Kemudian, mau nggak mau para tim harus mengubah mekanisme
di lapangan karena di beberapa pelosok desa daerah Indramayu, masyarakatnya masih
banyak yang belum mengerti bahasa Indonesia dengan baik.
Bapak Supendi merasa kesulitan saat memikirkan bagaimana
cara agar pesan itu dapat tersampaikan dengan baik. Akhirnya, beliau melakukan pendekatan
dan pendataan. Beliau jadi harus belajar bahasa sekitar yang lebih akrab, yaitu
bahasa Indramayu. Setelahnya menggunakan bahan ajar yang lebih mudah;
menampilkan materinya tidak melulu dengan teks, tetapi juga ditambahkan gambar.
Karena dengan visual, mereka (para petani) bisa lebih mudah mengerti dan mendapatkan gambarannya.
Beliau pun mengharapkan, semoga para petani itu bisa melakukan apa yang telah disampaikan
oleh tim. Tujuannya supaya dapat membawa perubahan di daerah Indramayu, dan semoga
daerah-daerah lain juga segera tersentuh. Program itu adalah kegiataan yang betul-betul berfaedah.
Kita sering sekali hanya menuntut perubahan tanpa mau melakukan suatu bentuk perubahan itu. Akhirnya, gue jadi belajar untuk menghargai sesama manusia. Kenapa kita orang kota malah repot-repot meremehkan orang desa? Justru seharusnya orang kota itu bisa membantu para orang desa. Nggak ada yang salah, kan, saat kita berbagi kebaikan? Saling membantu tanpa melihat suku atau asal mereka dari mana.
Maka, gue berharap dan berdoa semoga program FEED Mobile ini bisa terus berjalan dan menginspirasi bagi masyarakat di Indonesia. Semoga cepat bertambah di beberapa wilayah lagi, agar daerah perdesaan semakin lebih baik dan taraf hidupnya meningkat seperti masyarakat kota pada umumnya. Aamiin.
Oleh karena itu, kesimpulannya adalah: Jangan memandang
petani sebelah mata, tapi bukalah mata hati kita dan buat para petani itu menjadi melek
keuangan. Stop complaining, and do something!
--
Untuk info lebih lanjut soal program ini, kalian bisa cek di:
- @FeedMobile_MCI
- @Citibank
*) Sumber gambar acara workshop: kamera Aris
gambar petani: beritadaerah.co.id
30 Comments
Aamiin. Semoga program FEED Mobile ini bisa terus menjalar ke daerah lainnya. Biar makin maju masyarakat Indonesia.
ReplyDeleteBtw, gue jadi ngangguk-angguk juga sih. Kalo laper ya ingetnya cuma mau makan, bukan makanannya dari mana. Hhh.
Aamiin ya, Rabb. Sebetulnya kalo laper, ya emang ingetnya makan, sih. Wqwq. Tapi setelah workshop itu, gue kok sering ngerasa lupa sama para petani yang telah berjasa itu. :(
DeleteJasa petani mah g bs diukur..klo g ada petani g bs makan nasi dong saya
DeleteRezky: Iya, kita semua pada gak bisa makan nasi. Makannya omong kosong. Wqwq.
DeleteMelek keuangan. Keren ya istilahnya, Yogs. Btw ini program bagus. Layaknya program KB, program ini bisa mengelola supaya teratur gitu kan ya, Yogs? Trus para petani yang menggunakan teknik salibu dalam bercocok tanam, makin cihuy deh kalau pake program ini. Yuhuuuuu~
ReplyDeleteSebagai anak muda, gue masih suka boros dan belum bisa melek keuangan nih. Malu sendiri. :( Tapi, kira-kira teknik salibu udah ada di Indramayu belum, Cha? Hehe.
DeleteLupa salah satu subjek utama hidup bikin kita makin... Tp gak usah jauh2 ke petani dl deh, kadang di Jakarta aku sering lupa kalau hidup dimulai dari pasar tradisional pukul tiga pagi.
ReplyDeleteItu kenapa aku sering nongkrong pasar Jembatan lima tiap malming jam 3 pagi.
Soal petani, dl aku juga pernah bahas juga sih.
http://pakdedalbo.blogspot.co.id/2015/06/jangan-jadi-petani-yang-punggungnya.html?m=1
Kalo soal kehidupan jam 3 pagi itu, gue nggak lupa, sih. Nyokap gue udah bangun dan masak-masak untuk dagangan pagi. Kalo Bokap belum bangun, dan gue sudah bangun (lebih seringnya belum tidur), maka gue yang disuruh belanja ke pasarnya. Hehe.
DeleteOh ini toh acara yg di Kuningan itu. Banyak bgt postingan yg seliweran di temlen IG nih :p
ReplyDeleteAwalnya gue baca feed jadi keingetan langsung ama feeds Instagram duh haha.
Ini programnya menarik juga yah. Agar bangsa ini bisa semakin maju.
Lebih seliweran mana sama yang satunya lagi, Manda? :p Gokil deh anak IG bingits~
DeleteJadi inget waktu kelas 8 SMP, pernah wawancarain petani (ini di Jakarta, lho). Tapi lupa apa isinya, udah lama banget. :(
ReplyDeleteProgramnya bagus juga. Memfasilitasi petani biar hasil panennya lebih mantap. Ibaratnya kayak pemburu rusa bukan lagi dikasih busur panah, tapi dikasih Dual Kriss. :))
Di sebelah mananya dah, Rob? Kayaknya di Jakarta sekarang udah nggak ada petani. :(
DeleteANJIR ANAK PB!
Karena pada dasarnya mereka yang menganggap petani dalam tanda kutip miskin, rendahan, dsb memandang petani sebagai masyarakat perdesaan yang belum berkembang seperti masyarakat perkotaan.
ReplyDeletePadahal gak gitu, ya. Di mata Tuhan kita sama. :)
DeleteProgram yang mantap.
ReplyDeleteSemoga programnya bisa mencakup seluruh petani Indonesia. Amin...
Mantap soul~ Aamiin.
Deletegue enggak tau mau komentar apa yog. semangat yog.
ReplyDeleteBahaha. Sama kan pembahasannya. XD
DeleteLumayan juga ya dampaknya. Penting banget sih itu literasi keuangan. Bahkan gue aja kadang masih susah ngatur duit. Muahahah. \:p/
ReplyDeleteSama, Di. Gue juga masih suka khilaf kalo baru gajian. Haha. :D
DeleteBukan memandang sebelah mata sie, cuma kita udah dicuci otak sama media.. Petani dianggap miskin, dengan banyak gagal panen, harga pupuk mahal, harga jual turun... Dan lain2 sie.. Jadinya pada serem turun jadi petani.. Dan karena kurang pasokan dalam negri.. Import deh, atau.. Jng2 Yg suka import yg menyebabkan semua ini
ReplyDeleteHm, efek media ternyata sampai segitunya, ya. Bisa jadi tuh! Ah, tapi entah deh Mas Puput. :|
Deleteseru tapi kita lupa foto bareng. duh sungguh komen saya tidak berfaedah
ReplyDeleteJadinya keseruan itu nggak bisa tampil di sini deh, ya. :p
Deleteaamiin, semoga program dari Citi Indonesia dan Mercy Corps Indonesia bisa menjangkau ke daerah lainnya di Indonesia
ReplyDeletebanyak banget udah 12ribu penerima, petani di Indonesia udah makin jago mengelola uang buat kemajuan pertanian kita nih :)
Aamiin ya, Rabb. :D Iya, tapi dari 12 ribu itu, yang benar-benar terlatih dan buka tabungan baru sekitar 3.400-an, Mas.
DeleteAbis ngebaca ini, gue jadi pengen ngejekin diri sendiri yg sampe skrg masih berantakan ngelola uang huhuuu
ReplyDeleteBelum bisa ngontrol hawa nafsu buat beli ini itu :'D
Semoga program untuk para petani Indonesia lancar ya.
Sama. Gue mengelola uang masih cemen. Semoga setelah ikut workshop itu bisa introspeksi. :)
DeleteAamiin ya, Rabb.
dan kembalikan masa kejayaan indonesia dulu jadi beras gak perlu beli dari luar lagi dah
ReplyDeleteSetuju, Bang! Seharusnya bisa memproduksi dari negara sendiri. :)
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.