Pada masanya, saya pernah bodoh dalam membedakan mana itu novel, mana buku kumcer (kumpulan cerita). Jika saat itu Rani—teman yang ingin meminjam buku—tidak bertanya, “Koleksi novel lu ada apa aja, Yog?”. Mungkin saya akan semakin terlambat mengetahuinya. Kala itu saya menyebutkan koleksi saya yang memang sedikit, yaitu novel-novel Andrea Hirata, Adhitya Mulya, Raditya Dika, dan Alitt Susanto.
Rani pun bertanya, apakah Raditya Dika punya karya berbentuk novel? Terus, Alitt Susanto itu siapa? Saya dengan penuh rasa percaya diri langsung menjawab buku-bukunya yang bertema binatang. Saya juga memberi tahunya kalau buku Alitt tidak jauh berbeda dengan Radit. Kemudian Rani tertawa dan memberitahu saya, “Itu mah kumpulan cerita, bukan novel, Yog. Jangan disamain.” Ia mulai menjelaskan kalau novel ceritanya panjang dan utuh dari awal sampai akhir, sedangkan buku-buku yang tiap bab berbeda kisahnya bukanlah novel. Setelah itu ia menambahkan, “Katanya mau jadi penulis, tapi bedain gitu aja nggak bisa.”
Ya, Allah. Rasa-rasanya saya langsung ingin mengubur mimpi menjadi seorang penulis. Lebih baik pindah haluan jadi tukang gali kubur saja. Tentunya, saya tidak mengubur manusia, tapi tukang mengubur mimpi. Atau, saya jadi direktur di PT Mencari Cinta Sejati. Setidaknya, saya berpikir itu lebih baik daripada penulis, sebab sudah telanjur malu dengan ledekan Rani. Oleh karena itulah, saya sampai saat ini belum menerbitkan satu pun buku. Ya, mencari-cari alasan kayak gini memang enak betul.
Kembali ke persoalan Rani yang ingin meminjam novel, akhirnya kami saling tukaran dalam pinjam-meminjam buku. Saya meminjamkannya novel Jomblo karya Adhitya Mulya, sedangkan Rani memberikan buku kumpulan cerita Pidi Baiq, Drunken Molen.
Sekarang, ketika saya sedang membereskan rak buku sembari mengingat kejadian itu, saya mulai memperhatikan koleksi buku-buku saya. Rupanya, di rak kebanyakan buku kumcer dan sejak dulu saya lebih menyukai jenis buku tersebut. Saya pikir, baca kumcer tidak memerlukan keterikatan. Saya bisa bebas membaca ceritanya yang mana saja. Beda dengan novel yang kudu urut dari awal, serta mesti meluangkan banyak waktu.
Namun, pada tahun 2017 saya mulai membiasakan diri untuk lebih banyak baca novel. Siapa tahu suatu hari saya juga pengin menulis novel. Saya pun dapat belajar dari novel-novel yang telah saya baca itu. Ya, biarpun pada akhirnya jumlah kumcer yang saya baca tetap jauh lebih banyak dari novel. Intinya, inilah daftar novel yang saya baca di tahun 2017.
1. Kolam Darah, Abdullah Harahap
Berawal dari ketidaksengajaan membeli novel ini ketika ada diskonan buku di Gramedia Matraman. Wajar, karena harganya murah dan kalau jelek saya nggak nyesel-nyesel banget. Saya sebelumnya tidak tahu siapa Abdullah Harahap itu. Belakangan diketahui, rupanya Eka Kurniawan pernah membuat proyekan bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad berupa buku kumpulan cerpen berjudul Kumpulan Budak Setan atas pembacaan karya-karya Abdullah Harahap. Beliau ternyata adalah penulis horor populer yang produktif pada tahun 1970-1980-an.
Saya mendadak kesal tidak membeli novel-novelnya yang lain dan malah mengambil sebuah saja. Ya maklumlah, kalau pengin baca tulisan orang itu lazimnya dari melihat namanya dulu. Supaya ada jaminan kalau tulisannya lumayan. Suatu kebiasaan yang ingin saya tinggalkan dari kapan tau, tapi rasanya sulit sekali dan masih saya lakukan sampai sekarang.
Saat membaca novel ini, saya tidak berekspektasi apa-apa dan mengalir begitu saja. Begitu kelar, saya rasa novel ini menarik. Gaya berceritanya asyik dan cukup lucu. Saya seakan-akan dibuat nostalgia sama cerita horor zaman dahulu. Keris sakti, bertapa lalu moksa, keturunan penyihir yang menggunakan ilmunya supaya awet muda dan cantik, dan seterusnya. Cocoklah untuk melarikan diri dari realitas yang modern.
Apalagi di dalam novel ini saya menemukan nama tokohnya yang begitu akrab: Agus dan Maharani (singkat saja menjadi Rani). Nama yang biasa saya pakai untuk nama samaran atau cerpen. Mungkin saja ini sebuah kebetulan, tetapi saya merasa sudah menjadi takdir untuk dipertemukan dengan bacaan seperti ini. Saya pengin baca-baca lagi tulisan horor beliau yang lainnya. Semoga saja kelak saya dapat menemukan kembali novel-novel Abdullah Harahap di bazar buku selanjutnya.
Nilai: 4/5
2. Aku Tak Marah, Djoko Lelono
Di buku panduan menulis yang saya baca, A. S. Laksana memberikan sebuah tip: jangan menggunakan dialog untuk memanjang-manjangkan halaman. Lebih-lebih kalau seperti percakapan sehari-hari. Pembaca nanti akan cepat bosan.
Lalu, seingat saya di novel ini lumayan banyak dialog yang seperti itu. Dan, saya menduga penulisnya sedikit malas bikin narasi. Sudah begitu, novel ini cukup tipis: 148 halaman. Hanya dalam waktu sekitar 2 jam, novel ini bisa langsung tamat. Anehnya, di cerita yang singkat begini malah terlalu banyak tokoh—yang tentu saja cuma figuran. Saya seperti sedang menonton FTV. Meskipun demikian, novel yang berkisah tentang dunia agensi periklanan bercampur dengan nasib warga miskin di pinggiran kota ini masih bisa saya nikmati sebagai hiburan.
Nilai: 2/5
3. 24 Jam Bersama Gaspar, Sabda Armandio
Ulasannya sudah pernah saya tulis di 48 Jam Bersama Gaspar.
Nilai: 4/5
4. Jakarta Sebelum Pagi, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
BACA JUGA: 7 Buku Kumpulan Cerita yang Asyik Dibaca Ulang Saat #dirumahaja
Penulis dengan nama yang panjang dan sulit dihafal ini (tapi saya sudah hafal), pernah dua kali memenangkan sayembara novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Novel Di Tanah Lada pada tahun 2014 dan Semua Ikan di Langit pada tahun 2016. Anehnya, saya malah membeli novelnya yang ini, sebab Putri—salah seorang teman—merekomendasikannya. Padahal, sudah banyak bagian yang ia ceritakan dalam novel ini sewaktu kami bertemu. Tapi, bocoran cerita itu sama sekali tidak mengganggu saya ketika membacanya sendiri.
Penulis dengan nama yang panjang dan sulit dihafal ini (tapi saya sudah hafal), pernah dua kali memenangkan sayembara novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Novel Di Tanah Lada pada tahun 2014 dan Semua Ikan di Langit pada tahun 2016. Anehnya, saya malah membeli novelnya yang ini, sebab Putri—salah seorang teman—merekomendasikannya. Padahal, sudah banyak bagian yang ia ceritakan dalam novel ini sewaktu kami bertemu. Tapi, bocoran cerita itu sama sekali tidak mengganggu saya ketika membacanya sendiri.
Sejujurnya, novel Ziggy ini bagus. Ceritanya romantis dan nggak norak. Ya, walaupun agak aneh, sih, karena saya jadi seperti membaca cerita manga. Ada cowok cakep, tapi tukang stalker dan punya kelainan, yaitu fobia suara dan sentuhan. Terus, ada juga tokoh anak kecil yang kelewat cerdas. Saya tidak bermaksud meremehkan anak kecil. Saya justru juga sering belajar dari anak kecil akan sifat polos dan imajinasi mereka. Sayangnya, tokoh bocah yang masih SD di sini tuh betul-betul hebat pemikirannya. Kurang masuk akal untuk saya terima.
Kehadiran tokohnya yang aneh-aneh itu tentu mengingatkan saya dengan komik-komik Jepang atau tulisan Haruki Murakami (maaf kalau hanya dia penulis Jepang yang saya tahu). Di mana tokohnya sekali ngomong sering panjang lebar. Ya, walaupun dialognya harus saya akui sungguh berbobot. Saya paling suka dialog yang ini:
“Kadang-kadang, orang membaca buku supaya dikira pintar. Lalu mereka membaca buku sastra terkenal, buku yang mendapat penghargaan. Dan, meskipun mereka nggak menyukainya, mereka bilang sebaliknya karena ingin dianggap bisa memahami pemikiran sastrawan kelas atas. Ini adalah hal bodoh. Jangan pernah membaca karena ingin dianggap pintar, bacalah karena kamu mau membaca, dan dengan sendirinya akan jadi pintar.”
Nilai: 4/5
5. Rafilus, Budi Darma
Absurd dan sifat tokoh-tokohnya terlalu liar, sakit, serta gila. Begitulah penilaian saya tentang novel ini. Pokoknya karakter dalam kisah ini hampir nggak pernah saya jumpai di kehidupan nyata. Tapi lama-lama novel ini seakan menyadarkan saya, bahwa dalam diri setiap manusia pastilah ada sisi gelap yang tidak terlihat. Nah, tulisan Budi Darma ini betul-betul mengungkap karakter buruk yang sering tidak saya sadari sebelumnya. Narasi berikut ini cukup mendeskripsikan tokoh manusia dalam ceritanya:
“Uang dan kemewahan bagi mereka bukan darah dan keringat. Ibadah mereka adalah bersenang-senang, berpesiar, dan menyia-nyiakan waktu. Hanya untuk membeli pakaian mereka pergi ke Hongkong, hanya untuk membeli sepatu mereka ke Jepang, dan hanya untuk menghapus kebosanan mereka berkeliling Eropa. Mereka malas, tidak mempunyai otak, dan tidak mempunyai perasaan.”
Hampir keseluruhan novel ini ditulis dengan narasi dan deskripsi. Dialog tampil sangat minim. Mengingatkan saya akan novel Eka Kurniawan: Lelaki Harimau. Butuh tenaga ekstra untuk menamatkan novel sejenis ini.
Menurut saya, membaca tulisan Budi Darma itu seperti diajak berlibur ke tempat yang sungguh asing. Lalu seolah dibiarkan terombang-ambing sendirian demi menemukan sesuatu (dalam bentuk apa pun itu) yang hilang. Karya fiksinya sangat magis, mengajak saya melarikan diri dari realitas ini dan masuk ke dalam dunia rekaannya. Saya pun bingung harus bahagia atau sedih diajak kabur seperti itu dari dunia sebenarnya. Atau, perasaan itu justru bercampur menjadi satu? Pengaruh novel ini bikin saya bingung akan perasaan sendiri.
Sayangnya, saya merasa masih terlalu dini untuk membaca karya seperti itu. Jangan terlalu seringlah. Kasihan kepala saya yang belum sanggup diajak mabuk fiksi absurd begini. Untuk saat ini, cerita surealis memang masih sering membuat saya mengernyitkan dahi. Namun, novel ini tetap terasa asyik jika paham akan gaya satire atau humor gelapnya.
Nilai: 3/5
6. Ikan-Ikan Mati, Roy Saputra
“Why we have to be the same? Kita bukan ikan mati kan, Lang? Yang ngambang dan hanyut terbawa arus?”
Saya tentunya tidak mau jadi ikan-ikan mati seperti judul novel ini. Meskipun banyak yang bilang kalau hidup biarkan mengalir saja. Namun, saya tidak ingin cuma mengikuti arus kehidupan. Setelah membaca novel ini, saya pun semakin yakin kalau berbeda dengan orang lain dan memilih untuk melawan arus bukanlah sebuah masalah atau kesalahan. Novel ini cukup banyak selipan humor satire yang menghibur. Selain bikin tertawa, tentu saja mengajak saya merenung.
Novel yang mengambil latar cerita Jakarta di masa depan—sekitar belasan tahun dari sekarang. Di mana manusia sudah benar-benar kecanduan gadget. Gilang, tokoh utama dalam novel ini, ialah pekerja kelas menengah yang mewakilkan perilaku generasi millennial tersebut: memiliki ponsel keluaran terbaru; hobi mengunjungi tempat-tempat hits, apalagi yang terdapat promo; kemudian sebelum makan, makanannya difoto dulu dan setelah itu unggah ke media sosial; dan tidak lupa untuk update location.
Sebenarnya saat ini beberapa orang sudah melalukan hal itu, termasuk saya. Namun, di novel ini menurut saya lebih sinting lagi, sebab ada aplikasi bernama IKA (Indonesia Kindness App). Aplikasi pemerintah yang bertujuan untuk menyaring hal-hal buruk di dunia maya, agar yang muncul setelahnya hanyalah kebaikan.
Kemudian dalam aplikasi itu terdapat fitur di mana orang yang rajin posting di media sosial akan mendapatkan point rewards. Nah, poin-poin itu bisa ditukarkan dengan promo di berbagai merchant. Buruknya, manusia jadi sering update kehidupannya di medsos dan berlomba-lomba untuk mengumpulkan poin. Manusia menjadi sangat konsumtif.
Apakah separah itu efek dari teknologi dan promo? Yang kalau dipikirkan ulang, ternyata kita tidak terlalu butuh atau ingin membeli produk-produk itu. Kita beli karena ada promo dan bukan benar-benar kemauan kita. Lalu ada sebuah dialog yang menyentil keadaan itu.
“Kita mau minum kopi yang enak, kan, bukan yang diskon?”
Nilai: 4/5
7. Pedro Paramo, Juan Rulfo
“Saya baru bisa tidur setelah membaca Pedro Paramo dua kali.”
Pujian dari Gabriel Garcia Marquez pada halaman pengantar novel ini seakan-akan menyimpulkan kisahnya yang bagus sekali. Kemudian setelah menamatkannya, saya sangat sepakat akan pernyataan itu. Dari halaman pertama, saya sudah disuguhkan teknik bercerita yang keterlaluan keren.
Ceritanya dibuka dengan adegan Juan Preciado sedang menemani ibunya yang sekarat. Lalu, ia mesti memenuhi permintaan terakhir ibunya, yakni mencari Pedro Paramo, ayahnya, di kota Comala. Namun begitu melihat kota Comala dari kejauhan, Juan Preciado bingung dengan keadaan kota tersebut. Kota yang diceritakan ibunya penuh dengan kebahagiaan, kini justru tampak memprihatinkan.
Di perjalanan menuju Comala, Juan Preciado bertemu seorang pemuda penunggang keledai bernama Abundio. Lalu ia bercakap-cakap serta menanyakan kenapa kota ini berubah dan begitu panas. Jawaban dari pertanyaan itu pun sungguh bikin ngakak, “Nikmati saja dulu. Kau akan merasakan yang lebih panas saat kita tiba di Comala. Kota itu terletak di perut bumi, tepat di ambang mulut neraka. Konon, ketika orang-orang yang berasal dari sana mati dan masuk neraka, mereka kembali untuk mengambil selimut.”
Tapi yang lebih mengejutkan ialah, Pedro Paramo sudah lama mati. Alih-alih memilih pulang, Juan Preciado malah meneruskan perjalanannya. Sesudahnya, ia bertemu dengan seorang perempuan yang mengaku sebagai teman ibunya di Comala. Setelah itu, saya dibuat mengumpat “ah, taik” akan penjelasan kalau Abundio yang tadi mengantarkannya itu hantu. Bahkan, perempuan ini pun ternyata berupa roh gentayangan ketika ada perempuan lainnya yang menjelaskan banyak roh di kota ini yang berkeliaran. Juan Preciado dan saya sama-sama baru sadar akan kenyataan: Comala adalah kota hantu.
Ceritanya dipisah menjadi dua bagian; dari sudut pandang Juan Preciado yang terjadi saat ini, lalu dari sudut pandang Pedro Paramo pada masa silam. Lembar demi lembar terbaca dan satu per satu misteri akhirnya terpecahkan. Baik itu tentang Pedro Paramo maupun keadaan kota Comala. Demi bisa menikmatinya dan tidak kebingungan akan alurnya, saya perlu membacanya pelan-pelan. Apalagi nama-nama tokohnya sulit untuk saya hafal.
Nilai: 4/5
8. Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan
Pernah ada yang bilang kepada saya, “Novel Cantik Itu Luka unsur pornografinya banyak banget. Risih gue pas baca.” Ia pun merasa nggak selera dengan tulisannya Eka. Sedangkan saya yang kemarin-kemarin senang menggunakan lelucon mesum, ketika membaca novel ini pun langsung takjub. Anjir, kapan kira-kira saya bisa mengolah cerita vulgar dengan kombinasi horor, sejarah, filsafat, dan hal-hal lain hingga enak dibaca seperti Cantik Itu Luka ini?
Saya kira akan selalu ada pro dan kontra dalam setiap hal, begitu pun dengan tulisan. Ada yang memuji dan ada yang mencela, ada yang menyukai dan ada yang membenci. Saya mungkin termasuk ke dalam bagian yang memuji dan menyukainya. Habisnya, menurut saya cerita dalam novel ini bikin ketagihan. Saya nggak pengin terlepas dari alurnya dan hanya ingin terus baca dari awal hingga akhir tanpa ada gangguan. Namun, hidup tidak melulu untuk membaca. Saya ada kesibukan lainnya; cari uang, beribadah, makan, berak, tidur, dan seterusnya. Yang saya nggak habis pikir, saya tetap bisa menamatkannya dalam waktu singkat. Novel ini kelar dalam empat hari.
Mungkin karena saya jatuh cinta dengan tokoh-tokoh di dalam novel ini. Kisah keluarga besar dari buyut hingga anak dan cucu yang diceritakan secara maju-mundur ini terasa detail, sehingga bisa mendapatkan perhatian dan sorotan pembaca.
Nilai: 4/5
9. Dunia Kafka (Kafka on the Shore), Haruki Murakami
Novel surealis ini terbagi dalam dua plot. Pertama tentang Kafka Tamura, bocah berusia 15 tahun yang kabur dari rumah dengan membawa uang hasil curian dari laci ayahnya. Saya awalnya bingung, kenapa ia memilih menjauh dari ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia kenal. Namun setelah cerita bergulir, ternyata Kafka lari dari kutukan ayahnya: “Suatu hari kelak kau akan membunuh ayahmu dan meniduri ibumu.”
Celakanya, Kafka tidak punya gambaran jelas tentang sosok ibunya—yang telah meninggalkannya sejak kecil. Satu-satunya foto yang ia miliki adalah foto dirinya saat usia 3 tahun bersama kakak perempuannya yang 9 tahun. Itu pun kakaknya memandang ke arah samping dan wajahnya hanya tampak sebagian. Selanjutnya, dalam kutukan tersebut masih ada tambahannya. Terdapat kemungkinan kalau ia juga akan bercinta dengan kakaknya yang lebih tua enam tahun itu. Gila, cerita absurd macam apa coba ini?
Kedua, tentang Nakata, seorang kakek yang kala kecil mengalami kecelakaan dan traumatis, sehingga ia tidak seperti manusia normal pada umumnya. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Namun di balik kekurangannya itu, kakek ini mampu berbicara dengan kucing. Keanehan pun masih terus berlanjut dalam dunia kakek ini, misalnya terjadi hujan ikan dan lintah. Lalu, dua plot yang berbeda itu nantinya akan bertemu dalam suatu urusan dan menjawab pertanyaan demi pertanyaan akan cerita apakah ini sebenarnya.
Saya rasa, membaca tulisan-tulisan Haruki itu mesti sabar banget. Begitu pula di novel ini. Selain harus kuat menahan gairah ketika membaca adegan seksnya, saya pun mau nggak mau kudu memaklumi gaya berceritanya yang lambat dan kadang bertele-tele. Walaupun begitu, saya lama-kelamaan akhirnya menyukai dunia yang penuh absurditas ini. Kuncinya: ikhlas, nikmati saja, dan nggak usah banyak protes.
Nilai: 5/5
--
PS: Nilai yang saya berikan sudah jelas terpengaruh oleh selera pribadi dan nggak objektif. O iya, tolong nggak usah bertanya, “Banyak juga novel yang kamu baca, kitab sucinya gimana? Dibaca juga nggak?”.
28 Comments
Jgn pindah haluan jadi tukang kubur mimpi kak, berat biar orang lain saja.. Bahahaha
ReplyDeleteDr sekian banyak buku yg km baca, aku cm pernah baca cantik itu luka.. Hhh
Tahun lalu lebih sering baca punya Okky Madasari, hhh
Gimana kitab sucimu? Dibaca nggak? Duh, pertanyaannya bikin refleksi nih, hhh
Ya ampun, lelucon Dilan ini mampir juga ke dunia blog, ya. Saya malah belum baca tulisan Okky. Mungkin tahun ini akan mencobanya. :D
Deletejakarta sebelum pagi. Yakin nih namanya panjang beud kek gitu. Wkwkw
ReplyDeleteMantap ey bacaan tahun 2017. Lanjut 2018 lah bro!
Silakan dicek sendiri, Mas Rifqi. :D Ya, tunggu tahun depan buat tahu saya baca buku apa saja~
DeleteSaya jdi ingin membaca Pedro Paramo. Kalau dari beberapa buku yg disebutkan di sini, hanya dua yg sudah saya baca. Gaspar dan ikan-ikan mati, kedua buku yg cukup untuk saya berpikir tentang kehidupan yg sedang dijalani.
ReplyDeleteSelanjutnya, pengen juga baca buku Haruki. Hmm.. kapan2 kalo ada kesempatan beli deh karyanya.
Kalau mau baca Pedro, mesti pelan-pelan atau terbiasa baca karya klasik dulu, Yan. Tapi ya, ada baiknya dicoba sendiri. Ehe.
DeleteNovel Dunia Kafka yang terjemahan udah jarang setau saya. Palingan tinggal yang Norwegian Wood dan 1Q84.
Gue juga jadi penasaran sama Pedro Paramo. Wkwk.
DeleteSaya merasa menemukan kebingungan bercampur kesegaran, sih, pas baca itu. Haha. Silakan coba, Man~
Deleteaku jadi salah satu orang yang nggak bisa bertahan saat baca "Cantik Itu Luka"
ReplyDeleteKarena risih sama unsur pornografinya atau ada hal lain?
DeleteJoko Lelono itu nama sy pny tempat kos jaman kuliah di Purwokerto, terletak di Jl. Gn. Slamet, Grendeng, Purwokerto.
ReplyDeletePenulisnya itu pemilik indekos yang kamu tempati atau namanya kebetulan sama?
DeleteItu yang bukunya Roy itu itungannya masuk millennial atau Gen Z yog? Kan katanya udah belasan tahun dari saat ini. Mungkin harusnya ada sifat yang berubah sih dari orang-orangnya juga. Muehehehe. *kabur naik parasut
ReplyDeleteYa ampun, saya lalai dalam hal itu. Haha. Ingetnya generasi saya sekarang ini yang juga sedikit-sedikit pegang gadget terus update. Sifatnya emang berubah, sih. Di dalam ceritanya pun lebih parah gitu. Makasih sudah mengoreksi. :D
Deletedari sekian yang lu tulis, gue cuman baca dua dari itu. jakrta sebelum pagi, yang sampai sekarang belum habis. karena harus gue baca ulang. dan bukunya eka kurniawan. kayaknya tahun ini mau ngumpulin bukunya eka kurniawan. enggak tau kenapa, seru aja bacanya.
ReplyDeletetapi gue juga lumayan tertarik nih dari buku bacaan lu. klo ada duit kyaknya bakalan beli juga sih. heuhue
Kenapa belum kelar harus dibaca ulang, Zi? Iya, saya juga suka tulisannya Eka, sih. Hm, dari beberapa bukunya yang beredar, tinggal novel O aja yang belum baca nih. Belum begitu minat untuk beli. Haha.
DeleteDari 9 buku diatas, gak ada yang aku baca. malah tahun 2017 kayaknya gak hatam satu buku, malah nyumbangin buku doang.
ReplyDeleteSaya malah nggak menyumbang buku, Mas. :(
Deleteeh yog, ikutan goodreads yang reading challenge ngga?
ReplyDeleteaku tahun lalu nyoba, lumayan seru gitu ko
Nggak. Saya malas menantang diri untuk itu. Baca buku karena ingin dan sesukanya aja. Nggak mau terbebani~ Haha.
DeleteDari 9 buku, saya baru baca 2 buku. Tahun lalu sangat sedikit buku yang saya baca. Tahun ini rencananya dibanyyakin, biar bisa bikin kayak gini juga.
ReplyDeleteDiantara 7 buku yang belum saya baca, saya tertarik denga Rafilus, kayaknya seru~
Ini bikin tulisan sebetulnya buat belajar mengulas aja, sih. Haha. Mulai dari cerpen-cerpennya dulu saran saya, Rul. Kalau kuat sama absurdnya, baru masuk ke novel. Tapi ya, silakan langsung cicipi Rafilus juga boleh~ Ehe.
DeleteBuku haruki murakami susah banget dapatnya di siniiiii... kepengin baca yg dunia kafka juga. ama buku2 eka kurniawan. baru baca yg seperti dendam, rindu harus dibyar tuntas itu aja. dan suka ama diksi yg katanya vulgar. padahal mah kayak org ngomong dalam pergaulan sehari-hari.
ReplyDeleteEmang novel Dunia Kafka udah langka, Haw. Ada palingan versi berbahasa Inggris. Itu malah novel Eka pertama yang saya baca. Hehe. Percakapan sehari-hari yang Eka tampilkan itu jujur dan bagian kasarnya tidak diganti dengan lebih halus. Natural gitu, ya~ Haha.
DeleteWaaa banyak juga yang dibaca, aku sebulanan yang lalu beli 4 buku dan belum ada yang dibaca. Jadi sedih wkkk. Btw udah lama gak mampir sini, masih konsisten ya dengan nama "Rani" hahaha
ReplyDeleteBeli buku jauh berbeda dengan baca buku, sih. Banyak juga temen yang beli dan belum tersentuh gitu. Rasanya pengin saya pinjam aja kalau nggak dibaca-baca. :p Bahaha.
DeleteMasih, Sya. Rani akan selamanya hidup di blog ini~
Dari 9 daftar yang ada, gue baru baca satu. Keliatan Yog gaya nulis lo, dr mana haha. Dari 9 itu aku tertarik sama ikan-ikan mati dan karya Haruki Murakami. Gue jg lg baca banyak novel tahun ini, salah satunya Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Eh lo punya goodreads ga Yog? Boleh lo di share, nanti bisa liat-liat buku yg lo baca di situ
ReplyDeleteNorwegian Wood bahaya tuh efeknya. Nuansanya muram betul. Kalau lagi banyak masalah atau mood buruk, bisa-bisa semakin sedih dan depresi. :(
DeleteSudah saya jawab di Twitter, ya. :D
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.