Beberapa hari yang lalu saat libur kerja, aku memutuskan untuk bertualang. Kamu mungkin tau rasanya bekerja selama 6 hari dalam seminggu dengan semangat yang kurang itu seperti apa. Nah, bagiku itu cukup menjenuhkan. Ketika libur, lalu cuma tidur-tiduran di rumah itu malah menambah rasa bosan. Mungkin mengistirahatkan tubuh itu perlu, tapi jiwaku juga butuh sesuatu yang baru. Yang membuatku kembali menjalani hari dengan penuh kesegaran. Maka, jadilah aku pergi bertualang.
Pertualanganku ini berlangsung selama sebelas jam. Semuanya berawal ketika aku memulai perjalanan dari Stasiun Bekasi dengan tujuan Stasiun Sudimara (Tangerang Selatan) menggunakan kereta listrik (KRL) khusus area Jabodetabek. Sebetulnya aku tidak begitu suka naik kereta, tetapi kalau menggunakan motor rasanya pasti tak sanggup. Perjalanan dari ujung ke ujung dan duduk berjuang melawan macet tentunya bisa membuat pantatku menipis. Dan karena belum memiliki helikopter, maka keretalah yang jadi solusinya.
Mungkin kamu bingung apa tujuanku pergi ke Sudimara. Aku janjian bersama teman-teman bloger: Adibah dan Yoga, untuk berjumpa sembari kulineran di sana. Mereka, sih, enak jaraknya pada dekat. Yoga dari Palmerah cuma 4 stasiun, Adibah apalagi yang tinggal naik angkot.
Sedangkan aku harus berusaha sekuat tenaga menempuh perjalanan dari Bekasi menuju Sudimara sebanyak belasan stasiun. Dan pahitnya, sendirian. Mungkin di kereta memang penuh dengan manusia, tapi tetap saja aku tidak kenal mereka dan merasa sendiri. Selagi mengeluh dalam hati, suara perempuan dari pengeras suara mewartakan kalau kereta tiba di Stasiun Manggarai. Tanda kalau aku harus transit. Setelah ini aku juga akan transit lagi di Tanah Abang. Barulah setelah itu melewati beberapa stasiun, hingga sampai di Sudimara. Uh, perjalananku masih panjang. Namun tak apa-apa. Ini lebih baik daripada aku berdiam diri di rumah.
Tak lama setelah membayangkan perjalanan jauh itu, aku mulai pusing dan mual melihat manusia segitu banyaknya menunggu kereta tiba. Seraya menunggu kedatangan kereta, aku membuka ponsel. Ada notifikasi di grup WhatsApp. Yoga bilang kalau dirinya sudah sampai dan menunggu di Stasiun Sudimara. Lalu Adibah bertanya, “Mbak Dian udah sampai mana?”
Sebelum cerita ini berlanjut, perkenalkan namaku Dian. Dian Hendrianto. Sebagian yang membaca ini mungkin bingung siapa diriku. Bagi yang belum mengenalku, akan kutegaskan kalau aku adalah seorang laki-laki tulen. Namun, entah kenapa acap kali dikira perempuan.
Misalnya, ketika aku lagi memesan ojek online, si driver yang meneleponku pasti langsung berujar, “Posisi Mbak Dian di mananya?” Atau saat ada kiriman paket dari suatu produk yang kubeli secara online. Kurir itu berteriak di depan kontrakanku, “Permisi, ada paket. Paket untuk Mbak Dian.”
Keparat!
Kenapa mereka selalu mengira Dian itu nama perempuan? Padahal Dian Sidik pemeran Joko Tingkir itu juga seorang laki-laki.
Lebih sialnya lagi, bagi yang sudah mengenalku selalu saja menjadikan hal itu sebagai lelucon. Mereka begitu puas menertawakanku dengan panggilan “Mbak”, dan aku sungguh kesal mendengarnya.
Terkadang aku jadi kepikiran untuk membikin nama pena. Nama yang jantan dan tidak lagi dikira seorang perempuan: Hendrianto D. Ian. Ya, memang cuma memindahkan nama belakangku menjadi ke depan, sih. Namun, kupikir itu akan keren sekali seperti Monkey D. Luffy di anime One Piece. Inisial D yang sampai sekarang belum terjawab rahasianya itu terkesan misterius untuk namaku. Tapi yang paling penting ialah, orang-orang berinisial D itu tidak kenal menyerah.
Cocok sekali, bukan?
O iya, sudah cukup perkenalannya. Sekarang kembali ke kisahku yang bertualang selama 11 jam. Dari Bekasi menuju Manggarai sudah berlangsung kurang lebih 1 jam. Masih ada 10 jam lagi yang harus kuceritakan kepadamu. Tapi untuk mempersingkat waktu, akan kuringkas saja.
***
“Kesel ya nungguin lama?” tanyaku ke Yoga begitu kami bertemu. Sayangnya, ia tidak menjawab.
Sekarang pukul 2 siang lebih 14 menit, aku berangkat dari Bekasi sekitar pukul 12. Sudah sekitar dua jam aku pergi, dan Yoga kira-kira telah menunggu satu jam. Berarti sudah 2 jam pertualanganku yang tertulis di dalam cerita ini. Masih ada 9 jam lagi yang mesti kutuliskan.
Adibah mengontakku kalau dirinya barusan habis melihat kami berdua. Kami berdua pun mencari-cari, di mana si biawak ini bersembunyi. Karena malas, aku pun menanyakannya. Dan ternyata, ia melihat kami dari dalam angkot. Ia memang betul-betul biawak.
Aku bertanya kepada Yoga, apakah tempat yang kami kunjungi ini masih jauh? Ia menjawab hanya 700 meter. Tanggung kalau naik angkot. Aku tau dia sama sepertiku, kadang suka mabuk saat naik angkot. Kami berdua akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki. Matahari pada siang itu rasanya membuat perjalanan kami seperti musafir di padang pasir. Keringat di tubuh mulai keluar. Aku kemudian menutupi kepala dengan kupluk yang menempel di sweter demi mengurangi panas terik, sedangkan Yoga menggunakan tasnya sebagai payung.
Sekitar 10 menit berjalan, akhirnya kami sampai juga.
“Ngapain jalan, sih? Enggak macet juga,” ujar Adibah yang sedang berdiri setengah jongkok menunggu kami.
Kami berdua hanya tertawa kecil dan segera masuk ke Tomyam Kelapa Saung Ibu, kemudian Adibah mengekor.
Di dalam, Yoga menyalami seseorang laki-laki dewasa, yang belakangan diketahui adalah pemiliknya dan akrab dipanggil “Kang Baha”. Aku dan Adibah pun ikut bersalaman. Sehabis itu kami berempat duduk di paling belakang, tapi tidak terlalu pojok. Obrolan dibuka dengan aku dan Adibah yang memperkenalkan diri. Kang Baha manggut-manggut mendengar kami berdua yang juga seorang bloger. Kalau Yoga enggak perlu ditanya, ia mah sudah kenal dan sepertinya cukup sering berkunjung ke sini.
Selanjutnya kami membahas tentang dunia blog. Kang Baha bercerita kalau sudah tidak ngeblog dan memilih fokus berbisnis. Sejujurnya aku agak sensitif membahas blog, sebab sudah lama enggak ada tulisan baru. Aku pun mengalihkan topik dengan bertanya tentang tomyam yang berasal dari mana kepada Kang Baha. Setelah dijawab, rupanya dari Thailand. Sumpah, aku baru tahu akan hal ini. Hal yang paling menempel di kepalaku tentang Thailand hanyalah film Jan Dara. Ehehe.
Sehabis itu, Kang Baha bercerita tentang dunia bisnis. Aku pun menyimak dengan baik. Keasyikan mengobrol, kami bertiga sampai pada lupa memesan makanan. Itu juga karena Kang Baha yang mengingatkan kami, “Eh, jadi mau makan kapan nih? Udah pada laper belum?”
Adibah dan Yoga memesan tomyam seafood, kalau aku yang campur (ayam dan seafood). Aku dan Yoga memakai nasi, sedangkan Adibah tidak. Untuk minumnya, barulah kami kompak; es teh manis.
***
Pertama kali mencicipi kuah tomyam yang asam dan pedas—kemudian buah kelapanya menambah rasa jadi agak manis—di lidah ini buatku mantap betul. Hidup merantau mau tak mau harus irit dan membuatku lebih sering makan di warteg (Warung Tegal). Oleh karena itu, tomyam kelapa ini jadi begitu spesial.
Kelar kami makan, tak begitu lama ada pria bertubuh tinggi besar menghampiri kami. Kami bertiga pun bingung sebab merasa asing dengan orang ini. Setelah ia memperkenalkan diri, barulah aku sadar kalau ternyata ia yang tadi bilang mau menyusul. Si Fauzi—lebih sering dipanggil Oji, bloger yang kuliah di Mesir dan sekarang sedang liburan dan pulang ke Indonesia. Baru saja ia duduk di sampingku, ia langsung memberikan kami oleh-oleh; pembatas buku dan gantungan kunci. Oh, terima kasih!
Selanjutnya, kami mengobrol, mengobrol, dan mengobrol. Topiknya tidak jauh-jauh dari menulis dan ngeblog. Pada diskusi ini, Yoga lebih banyak bercerita karena memang ia yang paling aktif ngeblog di antara kami. Yoga kemudian curhat kalau tulisan terbarunya, Surat Bunuh Diri Nolan, yang panjang betul itu, ternyata tidak ditulis langsung jadi. Ia bilang, ada beberapa bagian yang sudah ditulis dari 2016. Ia menyimpannya di draf sebab bingung harus dibuat tulisan seperti apa. Ketika ada berita bunuh diri, barulah ia membuka draf itu lagi. Menambahkan beberapa paragraf seraya mengeditnya sampai jadi sepanjang itu.
Seusai Yoga berbagi cerita, Oji kemudian berkata kalau dirinya malah tidak bisa menulis dipendam seperti itu. Ia biasanya kalau menulis dan mengedit seperlunya, ya langsung publish saat itu juga. Enggak bisa disimpan lama-lama. Pasti rasa di dalam tulisan itu hilang. Lalu, gantian Adibah yang bercerita kalau sedang sulit mengatur waktu untuk ngeblog. Saat ini, ia begitu sibuk menulis liputan untuk radio di kampusnya. Kalau ada ide, ya idenya sudah terpakai untuk tulisan radio itu. Buat menulis di blog hanya sisaan saja dan menurutnya kurang layak ditulis.
Aku sendiri sudah enggak ngeblog sekitar 2 bulan. Rasanya lama betul. Aku sebetulnya sudah coba menulis lagi, tapi setiap draf yang kutulis tidak pernah selesai. Jadi, aku sendiri cuma bisa menyimak mereka. Entah harus berbicara apa. Dan sejujurnya, aku termasuk orang yang agak pendiam.
Keasyikan bertukar pikiran, tak terasa waktu semakin bergeser dan menunjukkan pukul 5. Berarti sudah 5 jam kamu mengikuti petualanganku. Masih tersisa 6 jam lagi untuk cerita lengkapnya. Kuharap kamu tidak bosan mengikuti tur ini karena sekarang sudah 1.000 kata lebih. Apakah terasa panjang? Setelah ini, aku berjanji untuk berkisah dengan lebih singkat. Jadi, siapkan dirimu untuk ritme yang lebih cepat dari sebelumnya.
***
Aku dan Yoga berpisah dengan Adibah di depan Stasiun Sudimara. Kami berdua turun, dan Adibah tetap duduk di angkot untuk pulang ke indekosnya. Kalau Oji sudah berpisah lebih dahulu di depan saung karena ia mengendarai motor. Aku dan Yoga rencananya akan menonton film Dunkirk di bioskop. Satu-satunya bioskop yang kami tahu dekat dengan stasiun ialah TIM (Taman Ismail Marzuki). Berarti tujuan kami selanjutnya adalah Stasiun Cikini. Yoga kemudian bertanya kepadaku, “Kira-kira keburu enggak nih, Yan?”
Aku cuma cengengesan karena memang tidak tau akan sampai pukul berapa nanti di Cikini. Sekarang sudah pukul 17.48, dan kami saat ini baru saja naik kereta dari Sudimara, padahal filmnya dimulai pada pukul 19.15.
“Satu jam cukup enggak, sih?” aku gantian bertanya.
Yoga pun menjawab kalau waktunya pasti sangat mepet. Setelah itu, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan membuka Twitter. Aku pun jadi ikutan memainkan ponsel. Tapi, aku tidak tau harus membuka aplikasi apa. Jadinya aku cuma menggenggam ponsel itu sambil mendengar suara keras dari roda kereta yang menggilas sambungan rel.
Sehabis kereta berhenti di Stasiun Tanah Abang, kami berdua segera berlari menaiki dan menuruni tangga. Pindah dari peron 5 menuju peron 3. Syukurnya, pas kami turun dari tangga, kereta di peron 3 langsung tiba, dan kami pun sempat masuk ke dalam setelah menerobos kerumunan orang yang baru turun dari kereta dan ingin menaiki tangga. Kereta pada jam pulang kerja benar-benar padat. Jangankan berharap mendapat tempat duduk, bisa memegang cincin besar bertali yang digantung sepanjang gerbong—alat pegangan khusus bagi penumpang yang berdiri—saja rasanya sulit. Ingin rasanya keluar lagi karena kepalaku pusing dan sulit bernapas ketika terimpit seperti ini. Namun, pintu otomatis sudah tertutup dan kereta pun mulai bergerak menuju Stasiun Karet.
Di Stasiun Sudirman, aku merasakan lagi kepahitan duniawi yang lebih pahit dari sebelumnya. Kini jumlah penumpang yang naik terlalu banyak, parahnya tidak ada penumpang yang turun. Orang-orang berseragam kantoran, baik pria maupun wanita, memaksa masuk dan membuat gerbong kereta jadi semakin sesak. Kini rasa pahit pun tercampur dengan asam yang kuhirup dari keringat orang-orang pulang kerja yang mengering dan menguap. Aromanya itu kuyakin bisa membunuh bayi tapir yang baru lahir. Terlebih lagi, dalam keadaan padat begini, dinginnya AC seolah tidak berguna.
Begitu kereta mulai berjalan kembali, aku melihat Yoga yang sampai terdorong ke depan sebab tidak kuat menahan dorongan orang di belakangnya. Kemudian dia tau-tau bilang kepadaku, “Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan.”
Sebegitu menderitanya, kah? Kupikir aku saja yang menderita dari tadi, tampaknya aku memiliki teman yang bernasib lebih mengenaskan.
Sesampainya di Stasiun Manggarai, aku langsung bernapas lega. Energi kehidupan yang tersedot di gerbong kereta jahanam itu mulai kukumpulkan kembali. Namun baru saja aku merasa bebas, Yoga kemudian mengingatkan kalau sekarang sudah pukul 18.47. Ia mulai pesimis kalau nanti tidak keburu. Apalagi kereta yang kami tunggu ini kedatangannya belum tercium sedikit pun.
“Padahal tinggal satu stasiun lagi, Yan. Tahi dah ini kereta belum nongol-nongol,” kata Yoga kepadaku.
“Terus gimana?” tanyaku.
“Nonton film lainnya mau?”
Aku kemudian mengecek web dan melihat jadwal tayang film di bioskop TIM. Aku memperlihatkannya ke Yoga. Ia pun tertawa. Aku bingung apanya yang lucu? Akhirnya kulihat sekali lagi ponsel itu. Dan aku baru sadar, semua film dimulai pukul 19.00, justru Dunkirk yang masih ada harapan.
Setelah itu kereta pun tiba, tapi saat ini sudah pukul 18.53. Aku kembali bertanya, kira-kira keburu apa enggak nih? Yoga kali ini merespons dengan optimis, tenang aja sampai tepat waktu kok. Aku kembali bernapas lega. Tapi setelahnya ia bilang, “Cuma, dari Stasiun Cikini ke TIM kita lari, Yan.”
Betul saja apa yang ia bilang tadi. Sekarang kami berdua sedang berjalan cepat dari stasiun menuju TIM. Aku perhatikan tali sepatu Yoga terlepas, tapi ia tidak acuh dan terus berjalan cepat. Aku sendiri mulai lelah karena tidak sampai-sampai. Kemudian menanyakannya lagi, apa masih jauh? Yoga pun malah bingung kenapa bisa terasa begitu jauh. Apakah jarak itu justru akan semakin jauh ketika kita sedang terburu-buru? Rasanya menonton film tidak pernah semenyebalkan ini.
Pukul 19.07, akhirnya kami sampai di TIM. Namun, untuk menuju gedung bioskopnya kami masih harus berjalan lagi. Belum berakhir juga rupanya perjuangan ini. Apalagi setelah Yoga berkata, kalau nanti Dunkirk penuh gimana? Sialan! Hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehku. Langkah kaki Yoga semakin cepat, aku juga ikutan menambah kecepatan berjalan. Sebenarnya dari tadi aku ingin berlari, tapi entah kenapa tenaga ini hanya sanggup berjalan.
Setelah memesan tiket dan kami masih kebagian kursi di tengah—yang tidak ke depan-depan amat, kami berdua akhirnya bisa betul-betul tersenyum puas. Sebelum masuk ke studio, kami pun menyempatkan untuk ke toilet terlebih dulu. Santai abis. Perjalanan kami untuk menonton film sudah seperti dikejar tenggat. Sebelum masuk ke studio, kami juga hampir salah masuk. Dunkirk itu di studio 4, dan entah kenapa Yoga berjalan menuju studio 1. Kala pintu studio sudah tertutup dan mbak-mbak itu berujar meminta tiket kami untuk mengeceknya, barulah ia sadar kalau salah studio. Ia sudah kehilangan fokus sepertinya. Bodohnya, aku tetap mengikutinya. Jadi, siapa yang lebih bodoh?
Sejauh ini, pertualanganku sudah bergerak selama 7 jam. Kamu hebat juga sudah mengikutinya sampai kalimat ini. Untuk lebih mempersingkat waktu, film Dunkirk tentunya tidak akan kuceritakan. Filmnya berlangsung selama 2 jam. Berarti sekarang sudah 9 jam aku bertualang.
Keluar dari studio 4, Yoga terlihat kurang puas dengan film tersebut. Dia pun berpendapat kalau film itu biasa saja. Filmnya memang bagus, tapi entah kenapa seperti ada yang kurang. Nolan biasanya lebih mengejutkan, katanya. Entahlah. Aku baru nonton satu film Nolan, yaitu Inception. Jadi menurutku, ya film Dunkirk itu bagus-bagus saja. Sepanjang perjalanan pulang dari TIM menuju Stasiun Cikini, Yoga berbagi beberapa film Nolan yang menurutnya bagus. Aku pun mendengarkannya. Kalau tidak salah, ia menyebutkan The Dark Knight Trilogy (Batman), The Prestige, dan Memento. Sebenarnya masih ada lagi, tapi sayangnya aku lupa.
Sesampainya di Stasiun Cikini, Yoga mampir terlebih dahulu ke mini market yang berada di dalamnya. Aku kemudian mengikutinya. Setelah mengambil minuman, membayar minuman itu di kasir, dan meminumnya, aku merasa lebih segar. Ya, rasanya 3 jam terakhir begitu melelahkan buatku. Apalagi buat Yoga. Anehnya, aku malah baru engah sejak di Stasiun Sudimara sampai duduk menonton film di bioskop, kami tidak minum apa pun. Pantas saja tenggorokanku bagai musim kemarau, dan sekarang sudah diguyur hujan.
*
Kami berpisah di Stasiun Manggarai, Yoga pun turun dan aku tetap melanjutkan perjalanan. Dari film itu habis, berjalan dari TIM menuju stasiun, membeli minuman, dan menunggu kereta. Berarti sekarang sudah 10 jam lebih aku bertualang dan kamu mengikuti kisahku. Masih ada satu jam lagi, maka sisanya ialah perjalanan dari Manggarai menuju rumah kontrakanku. Selama di kereta sampai menuju rumah, aku berkontemplasi.
Dari pertualangan 11 jam itu aku sepertinya banyak belajar. Jauh-jauh datang dari Bekasi ke Tangerang Selatan, aku ternyata mendapatkan makanan gratis senilai 30 ribu lebih. Saat kami ingin membayar makanan itu, Kang Baha malah menggratiskannya. Ia bilang, biar Yoga aja yang bayar pesanannya sendiri karena sudah biasa menyantapnya. Untuk bloger yang baru mencoba, ia memberikan tomyam itu secara cuma-cuma. Suatu hari, aku mesti ke sana lagi untuk mencoba menu lainnya, dan tentunya dengan membayar. Selain itu, aku juga mendapatkan oleh-oleh dari Mesir. Hal itu semacam bonus akan proses perjalananku yang begitu jauh.
Lalu, dari menonton film Dunkirk itu aku juga belajar untuk jangan menyerah sekecil apa pun kemungkinannya. Itu kudapatkan setelah menonton adegan-adegan tentang bagaimana menyelamatkan diri dari kepungan penjahat dan kita terus berusaha dan berdoa agar tetap selamat.
Apalagi mengingat di menit-menit terakhir saat kami bergegas menonton film. Kami benar-benar tidak menyerah dan terus berjuang melawan waktu. Kami tidak mau dikalahkan begitu saja dengan beberapa kemungkinan. Misalnya, telat datang karena film sudah dimulai, terus kebagian tempat duduk di paling depan, atau malah kursi penontonnya sudah penuh. Saat itu kami berdua rasanya bagai berjudi dengan waktu dan nasib. Alhamdulillah, kami datang tepat waktu dan masih kebagian tempat duduk di tengah. Lalu dari kekecewaan Yoga barusan, aku juga belajar untuk tidak berharap terlalu tinggi akan apa pun.
Terlepas dari semua perenungan itu, aku malah mendapatkan kesimpulan: bagiku menjadi bloger itu membuka jaringan pertemanan dan menambah wawasanku. Setelah bertualang selama 11 jam tadi, aku seperti keluar dari duniaku yang biasa-biasa saja. Rasa melelahkan di hari libur ini sepertinya bukanlah masalah untuk menyambut hari esok dan bekerja, sebab aku pulang dengan bahagia.
--
PS: Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata dan tidak berbayar sama sekali.
*Update:
Baru-baru ini si Dian Hendrianto akhirnya gantian nulis dari sudut pandang gue: Yoga dan Perjalanan Menuju Dunkirk.
Sumber gambar:
- Pixabay (yang kemudian diedit sesuai kebutuhan)
- http://www.transportumum.com/jakarta/wp-content/uploads/2013/12/Diagram-Rute-Jarak-Stasiun-2015-KRL-Commuter-Line-Jabodetabek-TransportUmum.jpg
- http://www.slashfilm.com/dunkirk-poster/
63 Comments
Kenapa aku harus membaca ini subuh2 ya allah :')
ReplyDeleteAstagfirullah. Bukannya tadarusan malah baca blog ini. :(
DeleteJadi ini ceritanya dian?? Nanti yoga diceritain di blognya dian? Qupikir tadi tulisannha dian (^_^). .
ReplyDeleteWahaha. Lagi males curhat habisnya, terus malah sok dibuat cerpen. :|
DeleteJadi si mba Dian minjem badannya si yoga y
ReplyDeleteKemaren si Nolan
Itu minjem badan gitu bayar g sih?
Terserah Bang Niki aja~ Coba baca PS dong, tulisan tidak berbayar. :)
Deletebayar kaga, jaminan doang SIM sama STNK!!
DeleteItu kan tulisan
DeleteSaya kan nanya minjem badan
Oh, maaf kalau gitu, Bang. Minjem badan saya gratis, kok. Emang Bang Niki bisa kayak Nolan? :(
Delete1. Stasiun Sudimara itu yg tempat kecelakaan kereta ya
ReplyDelete2. Setting nya pas bgt klo gitu Ada sesuatu pada Dian (apaan sih -_-)
3. Iya dunkrink ga begitu bagus, duh
4. Wasssalamualaikum
Iya kayaknya deh yang Tragedi Bintaro itu. Antara Pondok Ranji atau Jurang Mangu juga, sih. Lupa aku ehehe.
DeleteNggak begitu bagus bukan soal twist tapi, ya. Soal bingung karakter utamanya dan kurang dapet feel gitu. Haha.
Waalaikumsalam~
Untung mbak dian bertualangnya selama 11 jam, kalau sampai 24 jam nanti tulisan ini jadi buku. Dian The Explore banget nih, keren!
ReplyDelete"Mbak Dian". hahaha.
DeleteNadiah: Suatu hari kalau Dian bertualang lagi tentu bisa dibuat part 2. Dan jadi buku kumpulan cerpen. Terima kasih Nadiah sudah bilang keren.
DeleteFarih: Kasihan diledek terus, ya. XD
Jadi sebenarnya ini review makanan, review film, atau biografi?
ReplyDeletePaduan ketiganya malahan.
DeleteGue pikir ada yang salah sama blog lo Yog. Dijual atau lo ganti nama. Ternyata. Hahaha.
ReplyDeleteDear Dian, mari tukar nama. Saya sering dipanggil "mas Fahri" sama abang Gojek. :')
Btw, kalau gue jadi kalian udah pesimis kali nonton film semepet itu, dengan kereta pula.
Gue baca sampai selesai dan nggak nyangka kalau tulisan ini sepanjang ini dan nggak bosen. Ah, kange blog walking!
Anjir dijual. Berani bayarin berapa? :p
Delete((Mas Fahri)) Tuh, Yan, diajakin tukeran. Wqwq.
Sebab kami adalah manusia bertekad "D". Terus berjuang dan tidak menyerah. Alhamdulillah kalau tidak membosankan. :D
dan aku berhasil mengikuti perjalanan ekstra panjang 11 jam ini, hebat! :D
ReplyDeletejangankan Dian, bapak-bapak driver ojek online & beberapa blogger yang sempet BW ke blogku aja juga pernah salah nyebut seorang Wisnu itu dengan sebutan "mbak". disitu saya merasa sedih :(
jan dara? oke fix, aku pernah nonton itu film, full 2 episode XD
Yuhuuu, cerita 11 jam yang kira-kira selesai dibaca berapa menit nih? Wisnu disangka perempuan? Padahal kan nama dewa. :|
DeleteMantap. Jan Dara memang perlu ditonton. :3
Mbak Dian. Lupa belum sempet bilang makasih setelah waktu itu minjemin hape dan akun Grab-nya. Oh iya, mamang drivernya waktu itu ngechat "mb d mn?" :)
ReplyDeleteKalau gue waktu ikut, mungkin gue sama nasibnya kayak orang yang diceritain di sini. Sayangnya duit lagi nggak ada, dan kok enak banget sih digratisin? Bikin iri dah. :')
Mb itu megabyte atau mau berak? Jadinya "mau berak di mana?" :|
DeleteMungkin itu rezeki atas perjalanan jauh Dian. :)
11 jam perjalanannya sukses gue baca sampai tamat. Alurnya baguss.
ReplyDeleteKalian hebat ya pantang pulang sebelum nonton.
Btw, Suka sama tulisannya. Duhh ini yang nulis yoga apa dian??
Ehehe, nuhun ya, Cup. :D
DeleteKami memang pantang menyerah selama napas masih berembus~
Coba tebak!
dan sha baca komennya, masih ada yang bilang mba dian hahaha
ReplyDeleteberuntung banget jabotabek punya krl. sebagai kot yang belom pny krl, ngiri. semoga pemerintah cepat2 membangun fasilitas yang sama.
btw, dulu sha kos di cikini. deket ke tim. Paling murah emang nonton di situ hahaha *infopenting padahal ada yang lebih deket stasiun cikini => metropole.
Sepertinya lelucon itu akan terus terjadi.
DeleteAamiin. Semoga pembangunan di Indonesia segera merata. :)
Harga di Metropole mahal, Mbak. Wqwq. TIM ajalah yang terjangkau.
Info terpenting dari tulisan ini " makan gratis untuk blogger " sip, otw~
ReplyDeleteAduh kayanya seru ya kalo blogger kumpul-kumpul hehe ada yang naik kereta, angkot, motor, pesawat, perahu, naga terbang terus saling tukar film.
Btw janda ra vs dunkirk menang mana bang? Itu berduaan ke bioskop lagi kencan kah?
Hahaha langsung otw aja. Itu mungkin rezeki mereka. Nggak semua bloger digratiskan kayaknya. :|
DeleteKumpul bloger cuma buat tukeran film. Tujuan yang begitu terselubung.
Itu film yang berbeda. Menonton berduaan kan tidak harus kencan. Sekalian aja habis kumpul. Lagian, masa kencan sama cowok. Aku masih normal, Kak~
wkwkwkw uunch maniss banget siih perjuangan mau nonton berduanyaa..
ReplyDeletemungkin saran untuk bang dian, namanya bisa di switch jadi Dani biar terdengar lebih manly dan mengurangi intensitas dipanggil mbak. sekian.
"Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan.”
terdengar seakan-akan menaiki KRL adalah sebuah cobaan berat dari sang Illahi :')
Coba lu ikut juga sama Fauzi. Behhh, bakal tau keseruannya diuber-uber waktu tayang film. :p
DeleteDina aja biar lebih feminin. :3
Tapi di jam pulang kerja emang cobaan berat, Bah. Cobalah rasakan sesekali~
Hendrianto D. Ian.
ReplyDeleteNanti si Darma ikutan Kusumah D. Arma.
Terus Adibah nggak mau kalah. Syarifatula D. Ibah.
Yoi, biar pada punya tekad "D".
DeleteSebenernya nama akun fb gue udah kebalik.
DeleteIkut sedih sih bcanya pas bang dian dipanggil mbak dian. :'D Iyadah, ganti nama pena aja udah, Hendrianto D. Ian keren jg tuh, ampe Dani sgala. Wkwk. Atau gak tulisan "Dian" nya ganti jadi "Diyan"
ReplyDeleteAkhirnya jd juga tomyamnya, biar cuma berempat. Asyik pula dpt mkan gratis sm oleh2 dri mesir coyyy.. Jd dri crta ini yg prjuangannya paling berat itu bang dian ya? Gile loh dri bekasi ke tangsel. Hebat2! Itu naik krtanya jam 5an sih pas jam plg kerja, atuh macet :(
Pas kalimat "Jadi, siapkan dirimu untuk ritme yang lebih cepat dari sebelumnya." Itu entah knp gue lgsg kebayang kalimat di novel dewasa dah. Wkwk.
Sgtu lamanya prjalanan ampe 3 jam kaga minum, makan malem jg kaga kali ya? Makan siang pas di Tomyam doang? Heran, pada strong2 bgtdah yak gak makan :'D
Diyan ini biar pelesetan Dilan gitu? :|
DeleteLulu cobain juga makannya besok-besok. Biar ngerasain perjuangan makan aja kudu jauh-jauh. Pas pulang pasti laper lagi. XD
Bukan macet, penuh orang di gerbong. :) Ya, salah kami emang yang cari bioskop jauh dari tempat tomyam. Gitu deh.
Hah? Kok novel dewasa? Kurang-kurangin euy. Padahal blog ini udah jarang pakai yang jorok-jorok. :/
Iya, makan pas sore doang itu. Kami sudah terbiasa laper begitu. Tapi sampai rumah langsung makan dong. :p
Sepertinya kapan-kapan harus nyediain waktu juga nih buat berpetualang hehe
ReplyDeletePadahal ceritanya juga gak bertualang banget. XD
DeleteTapi ane jarang keluar kos, makanya itu uda berpetualang banget hehehe
DeleteNiat banget dah kalian tuker-tukeran gitu -__-'
ReplyDeleteTukeran apaan, sih?
Deleteyawla panjang banget. Dian pasti gak kesusahan kalau bikin skripsi nih. jadi joki skripsi aja gih, Mbak Dian.
ReplyDeleteGue tiap nulis susah pendek, Man. Maafkan~ :))
DeleteDari awal kan dijelasin Dian cowok tulen. :|
ReplyDeleteNggak juga, sih. Tergantung blogernya. Ada yang nggak suka ikut acara gitu. Jadi ya ngeblog nulis biasa gitu tanpa kopdaran dll. Terus untuk sampai ke titik itu pasti ada prosesnya, Bang. :)
Kalau saya ketinggalan mah udah males nonton meski cuma telat 5 menit. Wq.
Suka ngiri kalau baca tulisan tentang blogger yang lagi kopdaran. Huahahah. Aku kira si "Aku" dan cerita non-fiksi ini kamu, Yog. Ternyata setelah sampai di paragraf ke-3, baru deh sadar kalau ini ceritanya Mbak Dian. Eh salah, Dian, maksudnya. Tulisannya panjang, tapi gak membosankan kalau dibaca sampai selesai karena bikin penasaran. Itu si Dian perjuangannya untuk keluar dari zona nyaman alias tidur-tiduran di rumah luar biasa melelahkan juga yak, tapi seru & bikin seneng juga kalau udah bisa sampai ke tujuan dan bisa ketemu sama temen-temen.
ReplyDeleteAku juga sama kayak Dian, belum pernah nonton semua filmnya Nolan, cuma satu doang sih yang pernah ditonton, Momento. Dan sepertinya pengen nonton film lainnya juga!
Btw, barusan kulangsung berkunjung ke blognya Dian. Si Dian gak ada rencana untuk nulis tentang perjalananya dkk di blog juga ya dari sudut pandang Yogga misalnya? Eh ini yang nulis Dian apa Yogga ya?wkwkw:3
Bahaha. Soalnya nggak dijelasin dari awal, ya. :) Ehehe iya, mending capek bertualang di luar daripada di rumah istirahat. :D
DeleteCoba ditonton yang lainnya, Nov. Dan rasakan mumetnya. :p
Aku kok yang nulis, Nov. Cuma lagi pengin pakai sudut pandang orang lain aja biar nggak curhat banget. Ya, Dian nggak harus nulis. Ini kan aku yang mau aja. Nggak berharap juga dia gantian bikin cerita pakai sudut pandang aku. Nanti malah dibuat yang ngawur lagi. XD
Baru baca tulisan ini huhuhuhuhuhu. Yoga kayaknya selalu datang kecepatan ya kalau janjian sama temen. Eh bukan kecepatan sih. Tapi terlalu on time. Ngingatin aku sama Ikhsan aja dah.
ReplyDeleteInisial D di nama Monkey D. Luffy itu ngingatin aku sama Vino G. Bastian. Eh tapi G-nya itu Giovani kan ya? Barusan aja aku gugling masa :D Dan kalimat yang ada kata-kata ritme lebih cepat dari sebelumnya itu kok jadi terkesan mesum ya. Padahal ini tulisannya dari sudut pandang Dian. Bukan dari sudut pandang Yoga Gemini bajingak. Ah, mungkin karena film-film Jan Dara sempat disinggung dari awal kali, ya,
Perjuangannya berat ya. Huhuhuhu. Nonton film tentang survival dengan jadi survivor. Ngejar jam tayang fillm aku juga pernah ngalamin sik. Waktu itu nonton My Stupid Boss. Mana waktu itu dapat seat paling depan dan paling pojok. TERUS SENDIRIAN PULA. Aaarrrrgh. Filmnya ternyata nggak sesuai ekspektasi, walaupun nggak jelek-jelek banget sih. Tapi sisi positifnya ya itu, filmnya dan pengalaman nontonnya bisa dijadikan tulisan di blog. Sama kayak tulisan ini~
Ya, sejak tau rasanya terlambat itu mengecewakan teman. Bagiku menghargai waktu dengan datang on time itu jadi penting, sih. :)
DeleteIya, kalau "D" di film belum ketebak apa arti atau kepanjangan dari inisial itu. :D Kita nggak tau kan gimana sebenernya Dian. Padahal di Twitter sering pakai jokes om-om. :|
Ngenes bener paling depan dan pojok. Kelar nonton leher keseleo dah. XD Yoi, selalu ada kejadian yang bisa ditulis. :)
wwkwkwkwk lucuu lucuuu... sayang sekalia aku belum sempat nonton dunkirk sih, hiks
ReplyDeleteEhehe alhamdulillah kalau terhibur. :D Ya, nggak apa-apa. Melewatkan film itu juga nggak dosa. :p
DeleteAwalnya aku kira yoga yg nulis :D. Biar ceritanya panjang, Tapi aku yg tahan baca sampe abis, berarti ceritanya memang ga bosenin :D. Ga kebayang sih dr bekasi, tangerang, trs ke tim :p. Aku udh nyerah duluan itu mah.
ReplyDeleteEh, tp mnrt yoga film dunkirk biasa ya? Huahahaha akhirnya ada jg yg bilang begitu :p. Aku tuh rada ragu mau bilang biasa aja, soalnya semua temen yg nonton bilang bgs banget. Makanya mikir, ini akunya yg selera filmnya parah, ato memang filmnya beneran bgs sih :p
Emang aku yang nulis, Mbak. Cuma aku gunain sudut pandang orang lain. :D Makanya tulisan ini didedikasikan buat Dian yang bertualang sekaligus berjuang. :p
DeleteIya, biasa. Sebenernya mah bagus, tapi bagusnya masih kategori yang udah gitu aja. Pesannya tersampaikan, tapi nggak dapet menyentuh perasaan dari satu karakter pun. Flat gitulah. Entah deh kalau soal selera. Tapi habis nonton itu aku nggak memuji seperti film Nolan sebelum-sebelumnya. :)
Petualangan mbak Dian terasa menakjubkan! Tomyam gratis, hadiah dari mesir serta memburu film yang hampir gak ke buru!
ReplyDeleteKu setuju. Kenapa kalo buru buru waktu terasa begitu lamban. Jarak terasa begitu jauh. Bilangnya setelah ada kesulitan itu ada kemudahan. Tapi sayangnya setelah ada kesulitan ada kekecewaan. Soalnya filmnya gak sesuai ekspektasi.. seketiqa qu jadi kesian.. ckckk
Wow, ada yang bilang mengejutkan. Hahaha. Mungkin kudu mengingat teori relativitas. Makanya nggak perlu diburu-buru setelah ini, santai sajalah biar waktunya juga terasa biasa. :D
DeleteSelalu ada hikmah yang bisa diambil, kok. :p
Sekilas lihat rutenya bikin pusing ya, Mas..wkwk
ReplyDeleteItu mas Dian namanya hampir sama lho sama temenku..
Ini, Dian Hendrianto, sedangkan nama temanku Dian Hardiyanto..he
Kirain yang disalami mas Yoga kang Bahar, ternyata Baha..
Lengkap bener, mulai perkenalan, ada makanan dan film..hehe
Tomyam mana tomyam? Pengen nyobain, aku, Mas..hehe
Membaca ulasa filmnya aku jadi penasaran, pengen nonton...
Sama-sama "Dian" dan akhirannya "to". Wahaha. XD
DeleteCobainlah sesekali itu tomyam. Mantap tenan! :D
Wah wah. Lagi lagi tulisan ini buat orang orang candu. Ga terasa baca udah habis.
ReplyDeletePerjalanan yang keren ni.
Kalau di tambah beberapa jam lagi mungkin tulisannya belum selesai kebaca.
Bahaha. Kalau 24 jam, orang udah males duluan bacanya. :p
DeleteSuka kasian sama Dian, kapan ya orang berenti manggil dia 'Mbak'? Wkwkwk :p
ReplyDeleteAh seru banget perjalanan kalian. Next time ikut dong!
Wahaha. Ketika dia ganti nama kali. :D Liburmu sering berbeda dengan jadwal main kami. :p
DeleteFilm Dunkirk aku rasa memang sangat bagus. Jujur aku pun belum sempat menontonnya. Film tersebut aku tau dari sebuah game dimana ada sebuah misi operartion of the week "Dunkirk"
ReplyDeleteIya, dari cerita aslinya emang bagus. Tapi menurutku bagusnya belum bagus banget. :)
DeleteTulisannya panjang bangeeeeeeeet dan minim foto, aku ngantuk. Jangan nyuruh tidur, soalnya emang mau. Udah sih gitu aja.
ReplyDeleteWahaha, maafkan yak. Mungkin tulisan ini kurang cocok untukmu, Sya. Aku emang anaknya lebih suka tulisan doang dan minim gambar, sih. :p
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.