Cerpen terakhir saya latar tempatnya berada di kafe. Hal itu mengingatkan saya terhadap catatan yang pernah saya buat kurang lebih setahun silam. Isinya tentang keresahan kenapa saya terlalu sering menggunakan latar itu dan sejenisnya untuk tulisan-tulisan saya. Saat membaca ulang catatan tersebut, saya pun mendadak kesal dan mungkin muak kepada diri sendiri yang rasanya kadung nyaman menggunakan lokasi-lokasi itu. Berikut saya lampirkan tulisannya—yang sudah dipoles supaya lebih nikmat dibaca.
--
Setahun belakangan ini, saya sedang mengevaluasi mengapa tulisan-tulisan saya (terutama fiksi) kerap bertempat di kafe, warung kopi, tempat makan, restoran cepat saji, dan seterusnya. Seakan-akan saya tidak punya latar lain yang bisa menjadi dunia di mana tokoh-tokoh itu hidup. Mungkin karena tempat-tempat tersebutlah yang sering saya datangi. Kita sebagai manusia lazimnya makan sehari tiga kali. Berarti dalam seminggu 21 kali. Oleh sebab itu, sedikitnya saya pasti akan mengunjungi 5-10 tempat makan dalam sepekan. Baik itu makan di tempat maupun dibawa pulang.
Ide atau inspirasi menulis biasanya datang dari kejadian sekitar. Nah, ketika sedang menanti makanan atau minuman yang disajikan, saya sering memperhatikan orang-orang yang berada di sana. Apa kira-kira alasan mereka datang ke tempat makan itu; apakah soal harga, rasa, suasana, pelayanan, atau hal lain? Saya juga gemar menebak-nebak apa isi kepala mereka masing-masing saat sedang menunggu seperti saya. Kemudian, obrolan apa yang tengah mereka bicarakan hingga wajahnya tampak serius sekali? Kadang-kadang, saya pun mencuri dengar perbincangan mereka—terutama yang mengobrol dengan suara keras. Lalu jika ada dialog dan kejadian yang lucu, aneh, atau ganjil, saya pasti langsung mencatatnya.
sumber: https://pixabay.com/id/restoran-menggoda-beberapa-1807617/ |
Sejujurnya, tokoh-tokoh cerpen saya itu banyak yang lahir dari orang-orang yang saya jumpai di tempat makan. Bahkan, saat ini pun saya masih menyimpan tiga tulisan sejenis yang ditulis serampangan kala berada di tempat semacam itu. Hal itu sungguh membuat saya jadi merasa tidak pernah kehabisan ide karena cerita selalu datang dengan sendirinya. Jeleknya, mungkin tulisan saya hasilnya nanti akan begitu-begitu saja.
Mengapa saya berusaha main aman? Mentang-mentang zaman sekarang kafe sudah semakin banyak, terlebih lagi saya tinggal di Jakarta, lalu hal itu dapat saya jadikan tameng untuk cerita yang latarnya berputar di situ-situ doang? Itu justru bikin saya terlihat malas mencari dan mencoba tempat-tempat lainnya. Walaupun cerita-cerita fiksi saya itu memiliki gagasan yang berbeda, tapi kalau latarnya terus-terusan sama, bisa-bisa membosankan. Saya sendiri saja mulai agak jenuh kala membaca ulang, lantas bagaimana dengan pembaca?
Jadi, saya mesti keluar dari lingkaran setan itu. Saya butuh pergi ke tempat-tempat baru agar saya bisa menuliskan latar tempat lainnya sekaligus belajar mendeskripsikan suasana. Mungkin saya harus lebih banyak mengunjungi museum, perpustakaan, dan rumah ibadah. Ah, kenapa yang terpikirkan justru daftar tempat paling sepi, sih? Apakah saya telanjur mencintai kesepian? Oke, lupakan.
Mungkin saya bisa menuliskan kisah di tempat orang-orang Jakarta begitu banyak menghabiskan waktu: jalan raya. Meskipun saya tahu suasana kayak begitu menyebalkan sekali, tapi kalau dipikir-pikir asyik juga menyimak wajah-wajah manusia pada jam-jam berangkat maupun pulang kerja—bisa juga sekolah atau kuliah.
Saya pun bisa menerka tujuan mereka mau ke mana. Apakah pegawai kantoran yang terlihat murung itu setiap pulang bekerja pasti langsung menuju rumahnya, atau mampir-mampir terlebih dahulu? Mungkinkah seorang mahasiswa yang wajahnya berseri-seri itu benar-benar pergi menuju kampusnya dengan niat tulus untuk belajar, bukan karena akan bertemu pacarnya? Tiga bocah SMP—yang baju seragamnya tidak dimasukkan ke dalam celana—itu apakah betul ingin pergi ke sekolah, atau sedang merencanakan bolos? Dan seterusnya, dan sebagainya.
Intinya, saya mesti keluar dan bergerak dari zona nyaman. Mencari tempat baru. Menemukan suasana baru. Melihat hal baru. Barangkali nanti di dalam kepala ini juga dapat muncul cerita kejahatan. Siapa yang tahu? Semoga catatan ini bisa jadi pengingat. Kurangi menuliskan latar tempat makan dan hal-hal sejenisnya untuk tahun depan. Masa bikin cerita enggak ada perkembangannya? Apa kamu enggak merasa malu, Yog? Saya sekarang ini, sih, entah mengapa miris ketika membaca ulang ceritanya.
--
Jika saya tengok kembali tahun 2017, memang blog ini kebanyakan tulisan seperti yang dimaksud dalam catatan di atas. Misalnya, Palsu, Gadis Macan, Dompet Kertas, dan Berkisah tentang Kafe. Itu pun belum termasuk tulisan-tulisan yang saya hapus—kelak akan saya jelaskan mengapa ada beberapa tulisan yang hilang di blog ini.
Pada tahun 2018 saya telah berusaha untuk mengurangi penggunaan latar tersebut dalam cerita-cerita saya. Kalau tidak salah ingat, kayaknya baru cerpen yang kemarin itu saya memakai kembali kafe sebagai latar tempat. Meskipun saya belum berani menilai diri sendiri dapat menjadi lebih baik atau berkembang dari tahun sebelumnya, seenggaknya saya sudah mencoba untuk menawarkan latar yang berbeda. Apalagi blog saya sekarang ini tiba-tiba jadi tempat latihan untuk menuliskan kisah-kisah fiksi. Saya harap ke depannya dapat mengeksplorasi lebih jauh.
Namun, kebiasaan saya kala berada di tempat makan ini lagi-lagi muncul. Sewaktu saya sedang memesan ayam geprek yang antreannya lumayan panjang, saya mulai menjadikan indra supaya lebih peka. Saya mengamati orang-orang di sekitar saya, memasang telinga baik-baik untuk mendengar obrolan dan suara ulekan, serta menciumi aroma sambalnya. Momen itulah yang tiba-tiba mengingatkan saya terhadap catatan tersebut dan cerpen terakhir di blog. Sembari menunggu pesanan saya siap, saya pun membaca ulang catatan singkat itu, kemudian iseng menyuntingnya. Akhirnya, jadilah tulisan semacam ini. Lama-lama, tempat makan atau sejenisnya mungkin bisa menjadi magis bagi saya dalam proses menulis.
26 Comments
Sama kayak film-film pendek di Youtube. Banyak yang mengambil latar di kedai kopi. Mungkin karena kedai kopi termasuk tempat yang romantis dan punya nuansa "indie". Mirip-mirip sama tulisan lu Yog yang banyak ngambil latar tempat di kafe
ReplyDeleteUdah jarang nonton film pendek, sih. Jadi kurang merhatiin.
DeleteMemang bukan sulap bukan sihir, tapi terkesan mistis ketika tulisan bisa lahir dari adegan-adegan realita yang diteliti sehingga membuat imajinasi otak si penulis semakin berkembang. Waw! Teruskan dilanjut ya. Kalau aku lihat-lihat "kayaknya" isi dari cerpennya kebanyakan cerita sepasang sejoli ya? Kalau tidak salah. Bisakah buat cerpen lagi diluar isi cerita sepasang sejoli? Mungkin seperti cerita kehidupan. Kehidupan yang mungkin enggak semua orang tahu, kehidupan orang pinggiran, kehidupan fana hahaha yah begitu deh.
ReplyDeleteYoga suka neliti orang-orang? Entah mereka sedang mikir apa, sedang mengobrol apa, sedang apa, sedang pusing tentang apa? Wah! Aku juga suka tuh mengamati orang-orang begitu. Rasanya otak ikut terbawa arus yaaa haha.
Iya, Na. Kebanyakan pasangan cowok dan cewek. Pengunjung tempat makan yang paling sering saya perhatikan emang itu, sih. Entah statusnya udah pacar, lagi deket, atau cuma temen; saya beberapa kali menuliskan kisah yang kamu maksud.
DeleteHm, bisa-bisa aja. Makasih masukannya. :D
Kayaknya sih gitu, baik yang cuma iseng ataupun buat kebutuhan tokoh-tokoh ketika mau bikin cerpen. Hahaha. Tapi terkadang menyimak manusia bisa menyenangkan juga.
Mungkin bisa dicoba dengan setting tempat yang tidak biasa seperti kolong tempat tidur atau laci lemari. Tokohnya cicak bunting atau kecoa pebalap.
ReplyDeleteKalau cecak di belakang pintu udah pernah, Man.
DeleteSatu pertanyaan. Jika memang sering ke tempat makan, kenapa Anda tetap kurus?
ReplyDeleteSoalnya gue juga sama. Cuma bedanya, gue lebih sering ngemil daripada makan. Huhu
Entahlah. Mungkin emang takdir dan dikasihnya begini. Atau pola tidur saya buruk. Jadi percuma makan banyak, tapi suka begadang yang mana bikin susah gemuk. Lagian, kata sebagian orang, makan banyak tapi bisa tetap kurus itu anugerah.
DeleteGigip pasti nilai biologinya D minus.
ReplyDeleteKayaknya dia anak IPS, bukan IPA~
Deletegue sering baca cerpen di blog lu, jadi pengen bikin juga. udah lama banget ga bikin kayak gitu soalnya. hahah
ReplyDeleteyah, dinikmatin aja dulu, Yog. sebenernya banyak tempat yang lu kunjungi deh, gue ngerasanya sih gitu. sotoy ya. ehehe
di kereta, stasiun, toko buku, contohnya. gue malah pas liburan sengaja ke tempat yang gue sebutin cuman buat liat manusia yang kejar-kejaran sama waktu gitu. enak juga sih ngeliatnya.
Ya, bikin aja, Zi. :)
DeleteHmm, yang lu baca kayaknya cerpen-cerpen tahun 2018 deh. Itu catatan gue bikinnya pas 2017 kan. Makanya pas 2018 berusaha buat cari latar-latar lain dan coba dipraktikin. Terus baru keingetan lagi sama tulisan itu sekarang gara-gara bikin cerpen Lambe. Hehe.
Wihiii mantap yog! Mending kumpulin semua tulisan lo yang latarnya itu, terus bikin semacam antologi rumah makan. Menunya adalah cerpen2 itu. *kebanyakan ngayal
ReplyDeleteDari dulu niat kayak gitu mah ada, Di. Tapi bingung siapa yang mau jadi kurator (kalau perlu editor juga) atas cerpen-cerpen yang gue bikin. XD
DeleteSebuah ide yang sangat-sangat mantap dari Kresnoadi!
DeleteGara-gara post ini aku jadi baca cerpen-cerpen karya mas Akbar yoga. Ternyata bagus banget.. Gaya bahasanya pun aku suka.
ReplyDeleteAkhirnya nemuin blogger yang cocok dijadiin role model :D
((role model))
DeleteTerima kasih sudah baca dan suka cerpen-cerpen saya, Mas. :) Tapi ketika saya baca sekarang ini, rasanya perlu banyak perbaikan. Semoga kelak bisa lebih baik. Ehe.
Horang kayah ini, makan 3X seharinya aja diluar rumah terus. :D
ReplyDeleteTapi ya, memang asyiknya kalau pas nunggu pesenan makanan jadi itu, ya seperti itu. Buka hape bosen, ending-endingnya ya pasang telinga buat nguping pembicaran orang lain. Apalagi kalau ngepasi denger cerita yang menurut kita menarik. Telinga bakal standby terus.
Kamu salah baca kayaknya, Wis. Makan tiga kali sehari maksud saya itu lazimnya seorang manusia. Saya mengunjungi tempat makan itu cuma 5-10 kali dalam seminggu. Hehe. Ya, emang sih, ada waktu-waktu tertentu saya makan di luar terus. Pas lagi liburan, misalnya. Tapi ada juga masa ketika saya makan di rumah mulu dalam sehari.
DeleteYoi, apalagi kalau obrolan orang itu bisa jadi cerita baru. :D
Kok gitu yah? Saya aja nih, yang tempat nongkrongnya di kamar mulu ngga ada pengaruh alam bawah sadar kayak gitu. Serem sih.
ReplyDeleteTapi kalo diingat2, saya juga pernah nulis cerita soal Kafe. Apa kita bikin antologi aja yak? :D
Entahlah. Gue juga masih bingung, Hul. Mungkin karena lu di kamarnya sambil berselancar di internet, jadi pikiran lu tetep keluar dari kamar itu. Kalau gue sewaktu di tempat makan, kayaknya sering fokus sama keadaan sekitar. Hehe.
DeleteKeinginan bikin-bikin begituan mah dari dulu ada, tapi saya malas. Wqwq.
suatu tempat, bisa membuat yang merasakan sensasi lain akan lebih peka
ReplyDeleteaku pernah baca sebuah teori yang mengatakan demikian (tapi lupa di mana -_-)
ada 3 besar tempat yang biat orang, terutama yang punya jiwa seni bisa langsung dapat ide
3 besar tempat itu adalah : restoran/cafe, taman, dan perpustakaan
kalau aku lebih prefer ke perpustakaan sih, ada aja ide yang masuk dibanding ke tempat lain
yang penting ide terus mengalir
itu adalah "koentji"
Saya malah baru tahu ada teori seperti itu, Mas. Ehe. Kayaknya karena saya lebih sering dateng ke restoran atau kafe, lalu malah sangat jarang ke perpustakaan. Kalau betul-betul lagi pengin baca, saya lebih nyaman baca di rumah, tepatnya kamar sendiri. :(
DeleteWarmindo (Warung Makan Indomie) udah pernah saya tulis, sih. Tapi udah saya hapus dari blog, May. Haha.
ReplyDeleteKadang aku juga pgn bisa kluar dr zona nyaman skr yog. Pgn bisa nulis traveling ato kuliner dr sidut pandang lain. Tapi msih blm terealisasi sampe skr hahahaha. Antara ga dpt idenya, ato keburu capek mikir krn pulang kerja -_-. Bosen sih kadang nulis gitu2 aja.. Palingan utk skr, perbanyak baca tulisan2 orang biar wawasan dan ide juga nambah.. Walopun dipraktekinnya ntah kapan :p.
ReplyDeleteNulis dari sudut pandang lain gimana, Mbak? Jadi cerpen gitu, kah? Saya malah juga pengin mengulas makanan gitu. Tapi enggak jadi-jadi. Ujungnya jadi cerpen. Haha.
DeleteIya, sekarang saya juga lebih banyak baca daripada menulis. Inget perkataan Borges, membaca lebih intelek daripada menulis. Ehehe.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.