Kamu bebas menganggap apakah tulisan-tulisan di blog ini aslinya berbentuk fiksi atau kenyataan. Sebagaimana gagasan Ronald Barthes yang terkenal di kalangan penulis bahwa pengarang telah mati setelah karyanya dilepas ke media, saya tentu saja tidak mau melarang-larang pembaca menafsirkan setiap cerita yang telah saya buat. Tapi saat ini saya perlu bangkit dari kubur, atau setidaknya saya ingin menempatkan diri sebagai pembaca dan menggugat diri saya sendiri. Khususnya di tulisan sebelumnya: cerpen Aku Ingin Menyusul Kepergian Kakak.
Jika pembaca itu sudah mengenal saya secara dekat, dia pasti paham bahwa cerita itu hanyalah fiksi, sebab saya adalah anak pertama. Tidak mungkin saya punya kakak, kan? Kalau kakak-kakak-an mungkin saja, tapi biasanya itu berlaku untuk lawan jenis. Saya perlu hidup kembali karena ingin protes kenapa cerita itu masih berlubang, terlalu buru-buru, dan enggak logis atau kurang bisa diterima kisahnya—seperti yang Wisnu maksud di kolom komentar.
Setelah tulisan itu terpublikasi, saya terkadang masih suka membaca ulang dan membetulkan bagian-bagian yang masih buruk demi bisa tampil lebih menarik. Bedanya, akhir-akhir ini saya sudah malas mengutak-atiknya. Usahakan jangan menyunting apa-apa lagi ketika sudah terbit di blog. Bagi saya, setiap tulisan yang sudah tayang di blog ini adalah sebuah kegagalan. Jadi apa yang sudah gagal, ya biarkan saja begitu. Kalaupun nanti mau direvisi atau dikembangkan, palingan hadir dalam bentuk lain.
Entah sejak kapan saya gemar menggabungkan antara fiksi dan kenyataan. Jika tidak salah ingat kayaknya sehabis membaca esai Mas Sulak, Borges dan Cerita yang Meragukan. Saya menyukai ide itu. Saya pikir mempermainkan pembaca sekaligus diri sendiri (karena saya sendiri suka lupa apakah cerita itu betul-betul pernah terjadi) itu sangatlah menyenangkan.
Sayangnya, konteks dalam esai itu sungguh berbeda dengan kesalahan saya di dalam cerita. Saya memang menyatukan realitas dengan fiksi, tetapi kenapa saya malah lupa kalau kisah itu berwujud fiksi—yang mana harus logis. Jika kamu masih bingung apa yang membuat cerpen itu kurang masuk akal, saya akan memberi tahunya: bagian keserempet motor dua kali. Di kenyataan, hal semacam itu boleh dan bisa terjadi kalau orangnya lagi sial banget. Itu sudah menjadi takdir Tuhan. Tapi di dunia fiksi, kebetulan seperti itu tidak boleh terjadi begitu saja. Untuk bisa meyakinkan pembaca, saya perlu membuat suasana yang mendukung atau deskripsinya mesti jelas.
Sekalipun itu hanya mimpi tokoh utama dan belum tentu terjadi di kenyataan yang coba dia gali dari masa lalunya, tapi gambaran itu memang saya niatkan agar sang protagonis semakin merasa bersalah terhadap kebaikan kakaknya. Kesalahan saya: saya menuliskan fiksi seperti menceritakan kenyataan. Mau bagaimana lagi, ide cerita itu sejujurnya berasal dari sebuah pengalaman. Terlepas dari sedikit atau banyaknya realitas yang dimasukkan, seenggaknya selalu ada kenyataan atau kebenaran di balik kisah fiksi, kan? Ah, saya jadi ingin menceritakan bagian sebenarnya dari cerpen itu.
Cerpen itu sesungguhnya adalah cerita buangan dari ide pokok yang bercabang ketika saya menggarap sebuah cerpen. Soal tragedi keserempet dua kali itu betul-betul pernah terjadi di dalam hidup saya. Kisah itu saya ambil dari pengalaman pribadi bersama seseorang—yang tidak perlu saya sebutkan identitasnya. Agar memudahkan penceritaan, anggaplah namanya Oki juga. Saya sendiri adalah anak kecil di dalam cerita itu. Kejadiannya sudah lama banget, antara tahun 1998 atau 1999. Anehnya, saya jadi teringat kembali momen itu karena belum lama ini memimpikannya lagi.
Waktu itu, saya dan Oki berjalan-jalan naik sepeda seperti biasanya setiap Minggu sore. Di pertengahan jalan, Oki tiba-tiba linglung dan enggak tahu arah jalan pulang. Sesampainya di rumah, saya menceritakan kepada Ibu kenapa saya bisa pulang telat. Beliau lantas berkata kalau penglihatan dan pendengaran kami sedang ditutupi oleh setan. Sekarang saya bingung mesti percaya atau tidak akan perkataan semacam itu. Tapi kami saat itu seakan-akan memang berputar-putar di jalanan yang itu-itu saja.
Peristiwa itu terjadi di sekitaran Palmerah atau Permata Hijau, saya sudah lupa percisnya. Yang saya ingat: setiap kali kecelakaan, entah mengapa saya suka mencatat tanggal dan lokasi kejadiannya di tembok kamar. Kebiasaan yang amat tolol, bukan? Berhubung sekarang rumah saya sudah direnovasi, catatan itu pun lenyap semua. Mungkin itu untuk menyadarkan saya bahwa enggak baik mengingat-ingat hal buruk semacam itu. Baguslah, kebiasaan aneh itu akhirnya sekarang bisa hilang.
Di tengah kebingungan itu, lalu ada kereta api yang lewat. Suara khas palang pintu yang diturunkan membuat pikiran Oki mulai normal kembali. Dia buktinya langsung menunjukkan kepada saya kalau kendaraan yang sedang melintas itu namanya kereta api. Sebelumnya dia seperti tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Sepeda melaju pelan. Kami sama-sama lagi asyik menyaksikan kereta tersebut sembari menghitung berapa jumlah gerbongnya.
Kala itulah di sebelah kiri kami ada mobil yang pintu kanannya mendadak terbuka. Saya dan Oki tidak melihatnya karena sedang fokus memandangi kereta di sebelah kanan. Kami pun menabrak pintu itu, lalu terjatuh. Baru saja kami ingin bangkit, terdapat sebuah motor dengan kecepatan tinggi yang mungkin terkejut dan tidak siap untuk mengerem dan akhirnya menyerempet kami. Kami terpental jauh dan saya betul-betul sudah tidak ingat lagi momen selanjutnya.
Saya pun berspekulasi, sepertinya ada pengemudi sepeda motor lain yang ugal-ugalan dan menyerempet Oki untuk kedua kalinya. Mungkin juga itu salah Oki yang berjalan sempoyongan dan malah menghampiri motor yang melintas. Biasanya, orang yang baru banget kecelakaan pasti masih merasa pusing, syok, dan enggak akan sempat memperhatikan keadaan sekitar. Memang apa lagi yang bikin dia mendapatkan luka lebam di bokongnya? Kalau cuma keserempet sekali, toh saya enggak kenapa-kenapa waktu itu. Meskipun bisa jadi dia benar-benar mendorong saya menjauh dan berusaha menyelamatkan saya, sehingga dia merelakan dirinya yang terluka, sih. Entahlah.
Di bagian kenapa saya marah sama Oki, saya sudah tidak ingat. Semoga saya tidak marah kepadanya. Saya mungkin sedang marah kepada diri sendiri. Saya sedih dan menyesal karena tidak punya banyak kenangan bersamanya. Dia meninggal tak lama sesudah itu akibat terkena demam berdarah. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecelakaan. Omong-omong, kenapa orang yang menurut kita baik itu harus mati muda, ya? Saya akhirnya cuma bisa menuliskan cerpen itu sebagai upaya mengobati rindu akan wujud seseorang yang kini tidak akan pernah bisa saya temui lagi. Lalu sebagai anak pertama saya sering kepikiran, gimana, sih, rasanya punya seorang kakak? Oleh sebab itulah, saya kepikiran bikin cerita penyesalan seorang adik terhadap kakaknya yang telah tiada.
Bodohnya, kejutan di akhir cerita yang saya buat itu agak maksa. Saya terlalu kejam dan langsung mematikan tokohnya begitu saja. Walaupun saya ingin tetap tega seperti itu, sebaiknya saya menceritakan penyebab-penyebab lain, kenapa tokohnya bisa sampai memutuskan perkara berat itu—sebagaimana yang Rey komentari.
Perihal kenapa nuansa di dalam cerita itu tiba-tiba berubah semakin muram, ini kayaknya efek menonton anime Neon Genesis Evangelion, terutama di bagian akhirnya. Saya seolah-olah menjiwai sang protagonis yang gelisah mempertanyakan buat apa dia hidup dan rasanya pengin mati aja. Lebih-lebih sudut penceritaan yang saya pilih adalah orang pertama: aku. Karakter yang saya ciptakan itu entah mengapa justru menggerogoti kepribadian saya dan berpengaruh di kehidupan nyata. Saya kemudian ingat mendiang Heath Ledger yang menjadi tokoh Joker di film The Dark Knight (2008). Menurut gosip yang beredar, dia betul-betul mendalami peran Joker hingga dirinya depresi dan ketergantungan obat-obatan.
Saya belakangan ini akhirnya sadar, menuliskan cerita fiksi dan merancang karakter terkadang bisa mencaplok kehidupan pengarangnya sendiri. Secara tidak langsung, saya telah menyalin perilaku tokoh utama dari beberapa cerpen saya. Berengsek betul. Saya mendadak takut akan terjadi hal yang bukan-bukan jika tidak segera berhenti menuliskan cerita sedih semacam itu. Semenjak gemar mendengarkan lagu-lagu Mono, grup musik dari Jepang; membaca tulisan-tulisan Haruki Murakami, ditambah pula kumcer Linda Christanty, Kuda Terbang Maria Pinto (di salah satu ceritanya terdapat kalimat ini: Kesedihan ternyata menimbulkan orgasme juga); saya malah jadi ketagihan dengan rasa nelangsa. Kalimat Mbak Linda itu terus-menerus menempel di kepala saya dan tidak kunjung hilang. Kalimat seorang penulis rupanya berbahaya sekali. Pantas pemerintah sampai repot-repot membakar buku dan merasa ketakutan.
Terlepas dari semua itu, apakah ada cara lain demi bisa menciptakan tokoh yang kuat selain mendalami karakternya? Bagaimana cara ampuh untuk membuang hal-hal buruk yang terjadi di dalam cerita yang kita rancang sendiri? Tolong beri tahu saya secepatnya sebelum saya mati.
15 Comments
Nah, maksudku gitu,Yog. Semacam ada pengantarnya dulu lah, sebelum tiba-tiba sang kakak tertabrak motor lagi. Karena kemarin pas saya baca bagian itu, kayak kurang "wah". *Apa ya istilahnya.* Intinya kurang masuk lah. Hehehe
ReplyDeleteWeh, ngeri juga kalau karakter dari tokoh yang kita tulis bisa mencaplok kehidupan sang penulis. Dan sepertinya, sepanjang saya baca tulisan fiksimu, kebanyakan ttg cerita-cerita "macam ini" juga kan ya?
COBA BIKIN TOKOH DENGAN KARAKTER YANG LEBIH ALIM dan BAHAGIA AJA, YOG XD *Lah
Iya, ceritanya rada mirip karena lagi menyukai tema kesedihan. Hahaha. Enggak cocok kalau saya nulis yang alim-alim. :(
DeleteKalo mau penjelasan kenapa orang baik umurnya pendek, saya ada ngasi beberapa sudut pandang di pos yang bahas kenapa perempuan tidak suka lelaki terlalu baik, Yog. #ehecelah
ReplyDeletelupa dulu kamu atau saya atau mungkin orang lain yg ngomong, tapi "kalo saya berhenti menulis cerita depresi/tindakan buruk yang ingin saya lakukan, bisa2 saya melakukannya di dunia nyata." Jadi kenapa harus menurut pada permintaan orang padahal masing2 orang yang meminta saja menuntut yg berbeda-beda.
sebagai penyuka cerita singkat, cerita kemaren itu bisa memuaskan Yog. Tidak perlu saya menuntut banyak alasan lain untuk bunuh diri, karena dalam kenyataan saja, saya pernah ngalami punya niatan itu hanya karena hal yang menurut orang sepele. apalagi karena hal ditinggal orang yang selama ini memperpanjang usia kita dan sangat kita kagumi. Dan itu hubungan saudara. Jadi keinget cerita saudara di film studionya Gibli saat perang dunia di jepang.
Kalo ttg logika ketabrak dua kali, itu memang tergantung pengalaman pembaca sih. Yang pernah ngalami atau melihat ya akan menganggap biasa. Apalagi yang rajin nonton Final Destination.
Jadi ya... udahlah. Kalo emang mau dijadikan tulisan panjang, deskripsikan saja semuanya. Kalo mau tulisan pendek, ambil permasalahan paling penting saja.
Saya udah baca waktu itu, Haw. Tapi tetap kurang terima aja sama orang baik berumur pendek. :(
DeleteOh, itu kalimatnya Agus Noor. Saya cuma pernah komentar atau nambahin gitu di blogmu yang kebetulan bahas hal itu. Menulis cerita yang idenya gila bisa menyelamatkan dirinya dari kegilaan sesungguhnya. Kalau enggak salah begitu.
Terima kasih sudah mengingatkan, Haw. Kita emang enggak bisa memuaskan semua orang. Tapi kemarin komentar-komentar itu lumayan juga buat kritik tulisan saya. Hmm, manusia itu kompleks banget, ya. Setengah jam yang lalu baik-baik aja, terus pas ada sedikit pemicu bisa langsung berubah drastis perasaannya.
Kayaknya jarang orang yang punya pengalaman kecelakaan beruntun gitu, Haw. Wqwq. Final Destination mah lebih di luar logika.
menurut gw, sekali lagi ini menurut gw pribadi, bahwasanya tulisan yang menarik adlah tulisan yang di gabungkan antara fiksi dan kenyataan, karena jalan cerita dan penokohannya lebih bernyawa. itu kenapa gue suka dan jatuh cinta dengan tulisan tulisan Tere Liye. karena beberpa judul novelnya menyadur kisah yang pernah hadir di dunia nyata.
ReplyDeleteTergantung teknik menulisnya juga sih, Mas. Mau itu menggabungkan fiksi dan realitas, kalau digarap dengan jelek mah tetap jelek. :(
DeleteYah, saya baru namatin satu novelnya. Belum bisa komentar banyak.
Menurut gue bukan karena ditutup setan matanya, tapi karena di umur segitu ingatan kita masih sangat terbatas jadi bisa aja terjadi eror yang bikin kita merasa mutar di situ-situ aja. Wkwk.
ReplyDeleteAh iya, gue juga punya teman waktu SMP yang menurut gue di antara teman-teman gue waktu itu, dia yang paling baik. Dan dia pun meninggal karena kecelakaan.
Gitu, ya? Tapi si Oki kan lebih tua, Man. Hmm. Duh, kenapa orang-orang baik di dalam hidup terlalu cepat pergi? Turut berduka untuk temanmu. :(
DeleteGue barusan baca tulisan lo yang fiksi itu. Makin keren euy. Menurut gue, kalo mau dapet "komen beneran" mending lebih enak japri orang-orang yang lo percaya sih. Kalo di sini agak absurd kadang-kadang. Hohoho. Gila makin keren bacaannya nih bapak yoga.
ReplyDeleteIya, sih. Komentar di blog banyak bercandanya. Haha. Makasih sarannya, Di. :D
Deletesayah mah begitu mbaca judulnya langsung inget pada paslon yang rada kliyeng-kliyeng, yang bilang negeri gemah ripah loh jinawi ini akan bubar tahun 2030, berarti sisa waktu kita tinggal 21 tahunan lagih...mau dikamanain pacar anak cowokku yang cantik itu kalau 2030 bubar, coba....itu dia sebutkan begitu gegara baca buku fiksi....jadi fiksi ya tetap fiksi yang di khayalkan oleh penulisnya seenak udelnya sendiri....masa di jadiin bahan referensi politik sih...kan kliyeng=kliyeng namanya....fiksi ko bubarin negeri ini sih....terlaluh....hehehe
ReplyDeleteBisa jadi itu rencana dia untuk menghancurkan negeri sendiri? Hayoloh. Wqwq. Udah ah, malas menyerempet politik.
DeleteSaat menulis emang otomatis semua kenangan mondar-mandir di kepala, sih. Terutama yang relevan dengan temanya. Kayaknya susah juga tanpa memasukkan pengalaman sendiri, ya. Pasti tetap ada secuil kisah, enggak betul-betul 100% murni fiksi.
ReplyDeleteBisa mengontrol apa? Kesedihannya?
ini penjelasannya toh ._.
ReplyDeleteSeenggaknya ada yg aku petik dari cerita itu.
Petik buah-buahan...
Petik bintang untuk kausimpan~
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.