...yang tadinya mau dijadikan twit berutas, cuma saya terlalu malas mendapatkan respons atau takut viral menimbulkan konflik.
sumber: https://pixabay.com/id/kematian-kegelapan-gelap-hood-164761/ |
Saya sebisa mungkin memendam kemarahan dan tak ingin menunjukkannya ke khalayak. Cerobohnya, entah mengapa ada satu twit yang bisa-bisanya lolos dan terpublikasi: “Beberapa bloger terlalu takut bilang tulisan temennya sendiri jelek. Pujian-pujian palsu telek wedhus (tahi kambing). *dibajak Holden Caulfield.”
Efek membaca ulang novel J. D. Salinger, The Catcher in the Rye, saya jadi terpengaruh gaya naratornya, Holden Caulfield—seorang anak muda yang muak dengan kepalsuan. Kala itu saya baru saja jalan-jalan ke blog orang lain. Dari sekian banyak blog yang saya kunjungi itu, mayoritas berbentuk cerita keseharian dan perjalanan. Lalu, saya akhirnya mendapati satu orang yang membuat cerpen. Berhubung saya anaknya jarang menemukan bloger yang senang menulis fiksi, saya jadi memandang blog itu berbeda, dan malah memasang harapan yang tinggi untuk tulisannya. Menurut saya pembukaan cerpennya lumayan asyik, tapi di pertengahan dan menuju akhir cerita penulisnya seperti kehabisan napas. Ceritanya mendadak jelek, mungkin karena terburu-buru dan minim pengeditan.
Biarpun ada rasa gatal ingin komentar ini-itu, saya memilih diam dan berusaha memaklumi. Tulisan saya sendiri juga belum bagus dan terkadang masih suka begitu. Namun, saya jengkel bukan main melihat komentarnya yang penuh pujian. Entah karena sebagian orang malas mengkritik atau itu hanya komentar basa-basi. Yang saya tahu selama ini, mengomentari hal-hal buruk di kolom komentar yang dapat dilihat banyak orang memang kurang etis atau agak gimana gitu. Jika mau memberi masukan, lebih enak disampaikan secara pribadi. Ya, meskipun sejujurnya kadang-kadang jari-jari saya sulit dikontrol dan kelepasan, sih. Baguslah belakangan ini saya bersikeras menahan diri.
Memberikan pujian (sekiranya ada yang bagus) atau mengomentari bagian yang relevan dengan kita, kayaknya akan terasa lebih menyenangkan bagi penulis maupun pembaca. Tapi, bagaimana kalau tulisannya kelewat hancur dan sama sekali tidak ada bagian yang bisa dikomentari, dan kita tetap memberikan komentar dengan terpaksa? Bukankah itu palsu?
Kalau saya ingat-ingat lagi, hal-hal semacam itu kayaknya sering terjadi di kolom komentar blog. Khususnya, pujian-pujian norak yang justru menunjukkan sang pemberi komentar ini masih miskin referensi dalam membaca. Contohnya, saya pernah membaca puisi yang membawa-bawa Tuhan atau agama atau sejenisnya secara terang-terangan. Komentarnya pun otomatis positif semua. Apakah beberapa penulis dan pembaca melihat hal itu bagus, bikin ingat dosa, dan ‘wah sekali’?
Bagi saya, terus terang saja, itu menyedihkan. Diksi di puisinya biasa banget—cuma ketergantungan kata Allah, Rabb, Tuhan, Nya, sujud, tahajud, dst. Formula untuk menggaet pembaca agar mereka bilang bagus, kan, tidak melulu harus menjual agama. Ini mengingatkan saya kepada film-film Indonesia yang menjual air mata. Cara mereka berdagang keterlaluan payah. Mereka mengandalkan kekuatan salah satu tokohnya yang taat beribadah, dan ketika cerita bergulir biasanya tokoh itu mendapatkan cobaan terkena penyakit kanker atau semacamnya. Semua itu dibuat hanya demi bikin penonton menangis, ingat neraka, dan jadi pengin insaf. Seolah-olah tidak ada hal lain yang dapat membangun suasana muram, sehingga penontonnya bisa ikutan bersedih dan berempati. Oleh sebab itu, saya pun jadi menyimpulkan kalau masih banyak orang yang belum memahami mana tulisan bagus, biasa saja, dan jelek.
Eka Kurniawan kira-kira pernah bilang begini dalam salah satu esainya, “Suka dan enggak suka itu masalah selera, tapi bagus dan jelek harus ada ukurannya.” Saya suka tulisan-tulisan Eka Kurniawan. Bisa dibilang tulisan Eka termasuk ke dalam selera bacaan saya. Berhubung Eka sendiri yang mengatakan perihal selera dan ukuran begitu, saya pun jadi harus menilai sekaligus mengakui bahwa di buku kumcer Kumpulan Budak Setan, tulisan Eka biasa banget dan justru yang paling jelek dibandingkan Ugoran Prasad atau Intan Paramaditha (kamu juaranya, Intan!).
Ini baru satu twit yang saya coba kembangkan. Saya masih menyimpan beberapa di draf yang rasanya berat untuk ditampilkan—atau barangkali akan saya hapus saja demi kebaikan. Entah mengapa ada masanya saya bisa jahat sekali di bidang tulis-menulis (dunia yang saya coba benci, padahal jauh di lubuk hati selalu tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa sangat mencintainya).
Semakin ke sini, seseorang di dalam diri saya selalu menuntut lebih. Meminjam kalimat dari Mas Yusi Avianto di salah satu wawancaranya, saya butuh tulisan yang menantang kepenulisan saya. Saya bingung apakah ini termasuk menutup diri atau bukan, tapi saya mulai memisahkan bacaan-bacaan saat membaca buku maupun blogwalking; mana tulisan yang memang perlu saya baca untuk dipelajari, mana yang bisa buat merenung; mana yang sekadar hiburan atau senang-senang atau mencari informasi, mana yang cuma membuang-buang waktu alias enggak usah dibaca.
Saya sudah bertambah tua, sudah jengah dengan kebohongan-kebohongan semacam itu. Saya tidak ingin lagi terpaksa saat membaca tulisan orang. Dalam setahun terakhir ini, saya membaca (lebih-lebih meninggalkan komentar) ketika saya mau saja, bukan karena tidak enakan dan berharap mereka gantian mengunjungi blog saya.
Satu hal yang paling bikin muak: berulang kali saya melihat tulisan berbayar yang komentarnya diisi oleh orang-orang yang juga mengambil tawaran kerja sama itu. Saya menduga hal itu agar mereka terlihat baik di mata klien. Supaya sama-sama ramai blognya, sehingga klien akan mengajak bekerja sama kembali di kemudian hari. Mungkin itu sah-sah saja dan bukan masalah krusial. Mereka kan menggantungkan pemasukan alias cari duit dari blog. Yang jelas saya heran, kok ada orang yang sampai mengemis minta klik dan komentar, ya? Sekali-dua kali, okelah. Jika lebih dari itu? Sumpah, itu kayak orang yang enggak punya integritas.
Setelah mengetik semua ini, saya sepertinya harus siap dengan segala kemungkinan terburuk: 1) Tidak lagi mendapatkan tawaran kerja sama di blog; 2) Teman-teman dan pengunjung semakin berkurang; 3) Gantian dihina. Ah, peduli setan dengan semua itu. Hahahahanjing.
Tertanda,
Alter ego jahanam—yang seharusnya kejam saat menyunting tulisan-tulisanmu, bukan malah menggerutu begini,
Adhityo Yongkuharu
--
Berhubung sedang tidak ada kegiatan, saya jadi mengubrak-abrik draf lama. Saya sudah lupa kapan membuat tulisan barusan. Jika dilihat dari tanggal dokumennya sih, enggak lama sehabis bikin twit di pembukaan itu. Sesungguhnya, saya tidak bermaksud menyerang individu atau kelompok mana pun. Saya juga enggak iri sama penghasilan mereka, sebab rezeki sudah ada jalurnya masing-masing. Seandainya ada yang tidak terima dan sakit hati saat membacanya, anggaplah ini sebuah kritik dari saya. Sebagaimana penulis yang konon mendapatkan ide dari keresahan, saya bikin tulisan ini karena resah sama kepalsuan-kepalsuan tahi kambing itu. Saya pun sebenarnya tidak ingin berbuat bengis dan menampilkan tulisan seperti ini (apa untungnya buat saya, sih?), tapi rasanya sayang kalau sampah ini dibuang. Jadi, saya sengaja taruh di blog buat pengingat dan menghancurkan diri sendiri.
Bonus twit yang masih di draf: “Saya sedih melihat tulisan-tulisan berbayar yang dikerjakan secara sembrono. Mereka kerap mendapatkan tawaran kerja sama karena blognya punya DA/PA bagus, serta banyak pengikut di media sosialnya doang kali, ya? Kualitas tulisan mereka sungguh ampas. Cobalah untuk memperbaikinya dan buat tulisan jadi lebih rapi. Enggak usah menyangkal dan menyalahkan tenggat ketika tulisanmu buruk, itu kan sudah konsekuensi dari pekerjaan. Jangan mau duitnya aja, Bangsat!”
9 Comments
Kalau ada 1 blog yang saya komentarin dengan hati-hati sekali, ya blog ini lah. Hahaha. Apalagi tulisan diatas kolom komentar ini 'berkomentar karena ingin, bukan basa-basi'.
ReplyDeleteDari sekian banyak blog yang saya baya, rasa-nya emang sedikit blog yang memiliki prinsip. Boleh lah, cari uang dengan blog, tapi dengan cara menulis yang baik. Bukan asal jadi (seperti saya dulu) dan komentar minta-minta backlink hahaha.
Tulisan ini juga jadi catatan tiap blogger yang mampir Mas, Terima kasih!
Kalau gitu mending dipadukan aja, Mas. Jadi: "berkomentar karena ingin basa-basi." Wqwq.
DeleteMari sama-sama berkata kasar.
ReplyDeleteKasar.
DeleteWoi, masih dibahas aja bagian itu. :(
ReplyDeletemungkin komentar simbiosis mutualisme mas , kalo kita komentar di blog yang rame trus isinya baik , yang dateng ke tempat kita pasti baik , aku juga menyadari yg namanya komentar basa basi ini .....
ReplyDeletekadang malah apa yang di tulis itu ngga menyerap dengan pasti sama yang baca dan seakan terpaksa gimana gitu biar kena BW . tapi yah sudut pandang orang beda beda .
aku juga ga bisa dipungkiri gitu .
Karena sama-sama menambah jumlah pengunjung? Tergantung ke isi komentarnya lagi, sih. Terlihat banyak komentar kalau maksudnya cuma mau promosi link justru ganggu pemandangan. Mending dihapus aja. Haha.
DeleteJadi inget dulu rajin banget blogwalking biar dikunjungin balik. Alhasil, komentarin tulisan orang ya yang bagus-bagus aja tanpa memedulikan kekurangan-kekurangannya biar orang juga komentar bagus di blogku. Padahal sangat sadar diri kalau tulisanku tidak sebagus itu. Sangat tidak bagus malah. Akhirnya tulisanku malah tidak berkembang karena tidak ada kritik dan masukan.
ReplyDeleteJustru sekarang kalau membaca komentar-komentar bagus di tulisan-tulisan lama ku yang jelek aku jadi malu. Hhh, dasar kepalsuan tahi kambing. Eh tapi kok ini malah curhat ya:(
Kembali ke masing-masing lagi sih, Nis. Sebetulnya mah sah-sah aja pengin dikunjungi balik blognya. Tentu ada keinginan biar blognya ramai juga. Cuma sebagian bloger kalau saya perhatikan tuh caranya kasar banget. Komentarnya emang cuma demi meninggalkan jejak aja dan basa-basi, bahkan beberapa orang pun bakal mengira dia kagak baca tulisannya.
DeleteSaya juga gitu. Baca komentar di tulisan lama akan malu. Tulisan saya belum bagus.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.