Ketika daun jatuh tak ada titik darah. Tapi di ruang kelam ada yang merasa kehilangan dan mengaduh pedih. -SS, puisi Nada Awal.
Pada Februari yang konon bulan penuh cinta ini, saya jadi ingin kembali mengisi blog akbaryoga dengan puisi. Meskipun puisinya cuma hasil salin-tempel dari blog sebelah (yang mungkin jarang orang tahu), setidaknya kala itu saya menciptakannya dengan segenap dan segelas rasa sayang. Halah. Semoga sajak-sajak ini dapat meyejukkan hati para pembaca, sebab sebelumnya saya terlalu banyak sinis dan marah-marah. Tanpa berlama-lama lagi, silakan kunyah dan telan tiga sajak berikut ini. Lepehkan jika tidak suka. Dicaci-maki juga boleh, kok.
Maaf
Maafkan aku, Fa.
Seandainya hari bisa kembali mundur,
sebaiknya benang itu tak perlu kutarik dan ulur.
Mungkin hal itu hanya akan merusak suatu alur.
Semestinya sejak dulu aku sadar
akan sorot matamu yang selalu bisa berpendar
di setiap keberanianku memudar.
Namun, hari kemarin tak pantas lagi beredar.
Lalu untuk saat ini, Fa,
apakah puisi masih bisa berguna?
Sapardi bilang, kita ini abadi
dan waktulah yang fana.
Tapi aku telah kehilangan banyak warna.
Mungkinkah ini suatu pertanda,
telah tiba waktuku untuk sirna?
Aku tidak benar-benar tahu.
Aku juga tidak sanggup mengerti.
Mengapa semua ini harus terjadi.
Tapi semoga sajak ini dapat kaucerna.
Meskipun kalimat yang kutulis untukmu
selalu menjadikanmu merana.
Sekali lagi maaf, Fa.
Aku tetap tak mampu menjelaskannya
dengan alasan dan karena.
/April 2018
Aku Memang Tidak Tahu Malu
Sehabis membaca kitab puisi almarhum SS, Dan Kematian Makin Akrab, aku rasanya tidak berani lagi mengukir sajak di sini, di tempat ini, atau di mana pun. Aku pun sekarang bingung, kenapa bisa-bisanya menampilkan deretan kata busuk dengan jemawa. Yang mungkin akan membuat pencinta diksi tertawa sekaligus kecewa. Sebab di rumah ini, di kamar ini, tak ada yang istimewa.
Semestinya aku mengerti dan menyadari, bahwa sajak-sajakku tidak pernah lolos setiap kali kukirim ke media. Padahal semua yang terbaik telah kucoba revisi dan transmisi. Mungkinkah susunan aksaraku sudah basi? Apakah karena aku tak punya nama, jadi mungkin mereka bersikap gengsi? Aduh, lupakan kalimat barusan. Aku menuliskannya saat terbawa emosi. Barangkali mereka punya standar asasi atau berusaha menerapkan majas alusi. Itu sudah sepantasnya. Baiklah, tak apa-apa. Mungkin terbit bagiku hanya sekadar ilusi. Jadi, tak ada panggung lagi untuk manusia depresi?
Tapi kini dengan tololnya, semua rangkaian nonsens ini malah aku maksudkan sebagai puisi. Haruskah kuhapus semua kata-kata ini?
“Jangan,” ucap sesosok bocah di dalam diriku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Apakah kau meracik sajak cuma demi uang? Kuyakin kau lebih mulia dari itu, wahai diriku yang dewasa. Kau menciptakan puisi untuk mengisi ruang. Bersenang-senang. Duit bukanlah tujuan utama. Kau mengirimkannya karena mencari peluang. Untuk menghabiskan waktu-waktu luang. Kumohon, tetaplah berjuang sampai menuju liang.”
Aku tak dapat berkata-kata lagi mendengar ocehan polosnya. Tulisan ini akhirnya selesai dan aku ingin mempertahankannya.
Aku memang tidak tahu malu.
/Januari 2019
/Februari 2019
--
Medusa
Medusa, dari sekian banyak hewan, selain kecoa aku juga membenci ular. Aku tak pernah bisa menyembuhkan dongeng tentang iblis yang telah menular.
Tapi bagaimana kalau aku jatuh cinta kepadamu, Medusa? Tubuhmu setengah ular, rambutmu pun tercipta dari untaian makhluk bersisik itu. Apakah ini artinya aku masih peduli dengan wujud?Mungkin, sangat mungkin, aku mengagumi dengan hati. Sehingga masih bisa menerima dan mengerti.
Meskipun aku belum memandangi wajahmu langsung, konon kau itu manis. Manis seperti dosa. Seperti perkataan Iblis saat menggoda Eva. Seperti puisi. Mungkin juga seperti darahku ketika kita kelak berpelukan.
Untuk sekali saja, aku ingin menatapmu. Menemukan api cinta di matamu. Lantas, bagaimana caranya agar aku tidak terkena kutukanmu itu? Aku tak ingin menjadi batu. Tapi aku juga ingin tahu rupamu, wahai Sang Ratu.
Akhirnya, kucari berbagai cara untuk melihatmu. Menggunakan kacamata hitam, cermin, dan bayangan air. Semuanya hanya jalan buntu. Kutukan dewa tidak mudah untuk dikalahkan manusia biasa. Jika tetap memaksa, salah satu dari kita pasti akan binasa. Apakah kita memang tak pernah ditakdirkan untuk bersatu? Atau kita ini hanya sedang dipermainkan oleh Waktu?
--
PS: Gambar buram seorang perempuan yang duduk berdua bersama saya itu tidak ada hubungannya dengan puisi Maaf. Puisi itu didedikasikan untuk semua mantan yang saya tinggal pergi tanpa—atau cuma dengan sedikit—penjelasan. Setiap harinya saya seperti dihantui rasa bersalah. Semacam ada sesuatu yang belum selesai dengan masa lalu. Dengan terciptanya puisi itu, akhirnya saya bisa lumayan lega. Terus kenapa harus foto itu yang saya pilih? Mungkin saya cuma sedang bosan karena terlalu sering meminjam gambar dari Pixabay. Tapi, buat apa saya jelaskan begini, ya? Entahlah. Yang saya ingat, kejadian di foto itu ialah saat dia habis berulang tahun dan mentraktir saya. Saya belum sempat membalas kebaikannya. Kami dulu sempat berteman (bagi saya sekarang masih, sih). Sayangnya, saya sudah tidak memiliki kontaknya lagi. Bahkan hampir lima tahun kami tidak bertukar kabar. Saya kembali meminjam larik dari SS: Semuanya luput. Juga waktu. Maka, secara tidak langsung saya harus meminta maaf juga kepadanya. Maaf pula buat semua kawan yang dulu dekat tapi kini menjauh. Maaf atas semua perpisahan bajingan ini.
PS2: Saya sebetulnya malas membuat puisi dengan ketergantungan rima, tapi lagi-lagi saya masih saja memakainya, mungkin jadinya malah memaksakan.
PS3: Terkadang puisi-puisi saya bentuknya enggak jelas dan asal alias mbeling. Terkadang ketika ingin membuat puisi naratif, jadinya malah kayak cerpen. Yang paling parah: saya sering gagal menyelundupkan maknanya. Sekilas tak ada bedanya dengan prosa. Saya akhirnya sadar bahwa tidak becus dalam genre ini. Jadi, tolong ajarkan saya suatu cara untuk berhenti menulis puisi.
PS4: Belum sanggup beli, buat saya harganya masih mahal. PS 3 aja belum punya.
19 Comments
PS4 lagi diskon sejuta.
ReplyDeleteKasetnya mahal banget tapi, mending PS 2
DeleteBetul kata Dijeh. Kasetnya mahal bener. Wqwq.
DeleteMending maen dream league soccer di hp aja. :’)
DeleteDari 3 sajak yang ditulis, saya paling suka saja Medusa dan Tidak Tahu Malu.. Kalau yang model pertama rasanya sering lihat dan baca, dan kurang suka (secara pribadi) model yang begitu..
ReplyDeleteTapi Medusa, walaupun ditulis dengan model seperti cerpen, tapi makna plus sastra nya dapat banget Mas. Ah, seperti itulah wahahaha.. Saya kurang bisa mengungkapkan kalimat-kalimat yang pas dengan perasaan saya hahaha..
Kalau yang Tidak Tahu Malu, rima di paragraf kedua, emang agak maksa tapi masih tetap bagus kok mas. Maknanya pas gitu, pas buat orang-orang yang berkarya hanya untuk uang, bukan untuk ruang..
Model lirik begitu emang pasaran. Tapi gimana lagi, yang banyak peminatnya itu juga.
DeleteMemaksakan sesuatu hal itu biasanya enggak baik. Jika hasilnya bagus, itu pasti kebetulan. Kalau jelek, emang udah sewajarnya. Haha.
Saya jadi kepikiran, ganteng itu relatif, jelek itu mutlak :))
DeleteSetuju! Jangan melakukan sesuatu dengan keterpaksaan karena hasilnya ga akan menyenangkan. Tapi kalau memaksakan diri untuk konsisten berkarya?
Kenapa jadi Wedusa? Wedus: kambing. Jadinya kambinga?
ReplyDeleteMaaf juga komentar peternak akun buat promosi link itu saya hapus, dan komentarmu ikut kena.
Fa? siapa gerangan Fa itu kisanak, rasanya hambar andai saya tak kenal dirinya haha
ReplyDeleteapakah nulis puisi itu ada persyaratannya gitu ya? atau ada rukunnya, Yo?
ReplyDeleteFa, nya itu si Fauszi ini, ya, Yog?
DeleteFauzi: Nulis puisi bebas, kok. Kalau puisi zaman dulu, ya mungkin aturannya berima. Per bait harus ada berapa baris. Yang begitu-begitulah. Kalau yang lu tanyakan terkait PS yang gue tulis, itu karena gue punya aturan tersendiri aja buat menilai ciptaan sendiri.
DeleteHaw: Masa iya cowok?
Dan baru ngeh, kalau judul blogpost ini adalah gabungan dari judul ke tiga puisi yang ada. *sampe tak scroll ulang, lho hahaha
ReplyDeleteTapi sebagai orang awam yang nggak begitu paham dg puisi, tulisan berima sepertinya memang paling cocok buat konten puisi, Yog. Dibacanya jadi enak. *yah, maklum. Wisnu ini minim referensi puisi xD
Ya Allah, PS4 segala di masukkin. Saya taunya PS akronim dari Photoshop xD
Sengaja dikonsepkan begitu, Wis. Makanya dipilih puisi-puisi yang tiap judulnya bisa jadi kalimat utuh.
DeleteSebetulnya emang enak kalau ada rimanya. Tapi kadang orang lebih mementingkan rima daripada makna yang ada di puisi itu.
PS di daerah rumah saya itu jadi singkatan nama mal: Plaza Senayan.
Wah keren euy pake puisiii. Gue baru tahu puisi itu banyak jenisnya ya. Kayak yang model Tak Tahu Malu dan Medusa gituu.
ReplyDeleteSoalnya dari dulu tahunya puisi berbentuk lirik. Gue juga baru tahu pas dua tahunan lalu ketika datang ke acara di Kompas. Aan Mansyur jadi pembicaranya dan sempet jelasin gitulah. Setelah itu coba banyakin referensi buku puisi.
Deletedari ketiganya, aku suka medusa :). puisi naratif ya kamu bilang? mungkin krn seperti bercerita itu, makanya aku jd suka. Tulisan kamu bagus-bagus kok yog. pilihan katanya juga variatif.. ga terlalu berat utk dicerna. jd yg baca, bisa menikmati maksud tulisannya. ga tau yaa kalo orang2 yg memang ahli beranggapan gmn. tp buat pembaca biasa kayak aku sih, yg begini bikin aku belajar kata2 baru, tp jg ga susah utk memahami puisinya. Biar gimana, aku ga bakal baca tulisan yg terlalu berat, yg bikin aku sndiri bingung apa isinya :p. Cth tulisan begitu, Kahlil Gibran, mantanku penggemarnya. aku udh coba baca bbrapa bukunya, supaya setidaknya bisa nyambung kalo ngobrol. tapi sumpah yog, aku ga bisa ngerti isi bukunya wkwkwkwkwk
ReplyDeleteBalik ke preferensi pembaca lagi emang sih, Mbak. Saya pun kadang banyak enggak ngertinya ketika baca puisi orang-orang. Tapi kadang malah saya anggap keren, terus pengin bisa menyelundupkan makna sehalus mereka. Biar bisa ambigu atau banyak tafsir gitu. Hahaha.
DeleteNangis di "Maaf" ._.
ReplyDeletemengingatkan memori masa lalu.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.