Proyek Pelarian

“Lu sempat merasa enggak, sih, Yog?” tanya Lisa ketika kami dalam perjalanan pulang sehabis wawancara kerja. “Kita sakit tuh sebetulnya firasat kalau bakal kejadian kayak gini?” 

Pertanyaan Lisa itu langsung bikin saya merenung tentang kejadian seminggu yang lalu. Lisa mengajak saya melamar kerja di kantor Rani—salah seorang teman kami—keesokan paginya. Saya merespons belum bisa karena lagi kurang enak badan. Saya mengusulkan beberapa hari lagi, ketika tubuh sudah pulih. Lisa pun sepakat karena dirinya juga masih ingin mempersiapkan CV dan beberapa dokumen lainnya.

Sayangnya, pada hari yang telah dijanjikan, sakit saya malah bertambah parah. Begitu terbangun dari tidur pada pukul 5, saya langsung memberi kabar dan meminta maaf karena membatalkan janji. Saya bermaksud meminta tambahan waktu. Kali itu, saya sungguh-sungguh berjanji: Apa pun yang terjadi nanti, entah sudah sembuh atau belum, saya bakalan siap berangkat. 

Jawaban Lisa sangatlah singkat, “Oh, ya udah.”

Itu tentu bikin saya berpikir, mungkin dia kesal, marah, atau bahkan malas sama tukang ingkar janji. Meski begitu, saya mencoba bersikap cuek. Seenggaknya saya sudah berkata sejujur-jujurnya. 

“Aduh, kayaknya enggak jadi dah, Yog. Hari ini gue diare,” jawab Lisa saat saya bertanya apakah hari ini jadi melamar kerja.

Saya pikir tadinya itu cuma alasan Lisa atau dia ingin balas dendam. Saya pun bilang kalau saat ini sudah dalam perjalanan menuju rumahnya. 

“Gue betulan diare nih dari Subuh. Lu kalau mau tetap berangkat, ya udah enggak usah ke rumah gue. Langsung aja ke kantornya, ngelamar duluan.” 

Masalahnya, saya enggak tahu alamat kantornya Rani. Saya enggak terlalu akrab juga sama dia. Masa iya saya tetap pergi sendirian? Berangkat berdua menurut saya jelas jauh lebih enak. Seandainya nanti tersesat, orang yang membonceng bisa melihat aplikasi peta dan mengarahkan jalan. Sekalipun saya masih bisa berangkat sendirian dan nanti tinggal bertanya sama orang, entah kenapa saya mulai malas melakukan hal-hal yang terlalu nekat. Mau tak mau, saya pun membatalkannya. Saya balik lagi ke rumah.

“Besok aja gimana, Yog? Gue janji deh, kita besok betulan berangkat.” 

Keesokan harinya, kami betul-betul berangkat melamar kerja. Perjalanan kami pada hari itu bisa dibilang terhitung lancar, sekalipun kami sempat terjebak macet dan sedikit nyasar. Sesampainya kami di kantor itu, saya mendapati banyak sekali pelamar kerja yang sudah duduk menunggu. Saya lantas bertanya sama Lisa, “Ini kantornya emang tiap hari buka lowongan atau gimana, Lis?” 

Lisa mengatakan tidak tahu. Lisa lalu meralat ucapannya dengan kata mungkin, sebab perusahaan yang kami lamar ini termasuk outsourcing atau sejenisnya—yang tugasnya menyalurkan ke perusahaan lain seperti Grab, Tokopedia, Bank BNI, dsb. Saya awalnya hanya diajak melamar di bagian admin, penginput data, atau call center. Saya lupa bertanya lebih lanjut.

Sejujurnya, saya belum puas dengan jawaban tersebut. Walaupun tempat ini memang seperti yang dijelaskan Lisa, tapi mengapa jumlah pelamarnya bisa membeludak tidak keruan begini? 

Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika salah seorang HRD—perempuan yang saya tebak usianya 30-an, berambut lurus sebahu—berkata kepada dua puluh pelamar (termasuk saya dan Lisa) di sebuah ruangan, “Coba yang mendapatkan broadcast tentang lowongan kerja mengatasnamakan perusahaan kami, silakan unjuk tangan.”

Tiga belas orang mengangkat tangannya. 

“Itu pesannya hoaks. Jadi kami mohon maaf sama teman-teman semua yang sudah hadir.” 

Ternyata sebagian dari kami ini datang melamar pekerjaan karena mendapatkan pesan berantai tentang lowongan tersebut yang menjanjikan gaji sangat menggiurkan. HRD itu menjelaskan lagi bahwa hari ini mereka sudah menerima banyak sekali calon karyawan lantaran berita hoaks sialan itu. Mungkin prosesnya tidak bisa berjalan sebagaimana biasanya. Hanya cukup menaruh CV dan wawancara singkat saja. Psikotesnya perlu ditunda pada hari lain. 

Akhirnya, interviu saya pada hari itu tak berjalan dengan baik. Kalimat nanti kami hubungi lagi untuk psikotes jika lolos tes wawancara seakan-akan tidak menawarkan harapan sama sekali kepada saya. Saya dan Lisa pulang dengan perasaan jengkel sekaligus kecewa. 

Sebetulnya, saya tidak terlalu kecewa akan hal itu. Saya lebih kecewa karena kejadian berikut ini: 

Ketika saya mulai jenuh menunggu hampir 30 menit karena tidak ada instruksi apa-apa lagi sehabis mengisi data diri di meja registrasi, saya lalu inisiatif bertanya kepada staf keamanan yang berjaga di meja registrasi itu. Saya mengatakan bahwa punya teman yang bekerja di sini.

“Pak, kata teman saya, saya disuruh ketemu Bu Wulan. Saya harus ke ruangan mana, ya?” 

Staf keamanan itu terdiam. Berpikir sekitar sepuluh detik, kemudian malah menyuruh saya tetap ikut menunggu saja bersama para pelamar yang lain. Ternyata menyebut nama orang dalam juga tidak bisa membantu apa-apa. Mungkin karena jabatan Rani hanyalah selevel pegawai biasa. Bukan petinggi. Dan begitulah cerita bergulir hingga saya akhirnya masuk ke ruangan untuk dijelaskan perihal hoaks, wawancara singkat, terus pulang.

Saya pun langsung setuju dengan pernyataan Lisa soal firasat sakit itu. Mungkin saja Tuhan memberi tahu kami: sakit itu ialah tanda-tanda dari-Ku kalau kalian akan gagal. Lebih baik cari jalan lain. 


Frasa jalan lain mengarahkan saya ke sebuah pikiran tentang jalan menulis. Saya merasa sudah lumayan berjalan jauh di jalur ini. Konyolnya, saya belum bikin apa-apa. Penulis macam apa saya ini? Saya mulai mengingat pernah punya keinginan untuk menerbitkan buku kumpulan cerita sekitar tahun 2014-2015. Lalu, saya buang impian itu pada 2016 karena sadar diri betapa payahnya saya dalam urusan tulis-menulis. 

Tahun 2017, kala saya sudah mulai belajar hal-hal baru, khususnya penulisan fiksi, saya gali kembali impian yang terkubur itu. Saya mengumpulkan beberapa tulisan di blog dengan tema “perjalanan”, lalu mengubahnya dalam bentuk cerpen. Namun, proyek itu terhenti pada pertengahan jalan gara-gara charger laptop rusak. Sesudah saya belikan yang baru, semangat saya telah memudar. 

Tahun berikutnya, hasrat mengumpulkan cerita itu datang kembali. Tapi kali ini, saya enggak ingin meneruskan proyek itu. Saya mau menuliskan kisah-kisah baru dengan tema lain yang latarnya di kafe atau warung makan atau restoran cepat saji atau sejenisnya. Ketika cerpen itu baru terkumpul delapan buah, saya kehilangan minat lagi.

Saya pun marah terhadap diri sendiri. Proyek tahun lalu ditunda buat tahun depan. Giliran kalender sudah berganti menjadi tahun baru, saya justru malas melanjutkannya karena muncul ide-ide baru. Eh, ujung-ujungnya saya juga enggak bikin apa-apa sampai akhir tahun. Ulangi aja begitu terus setiap tahun. Anjing! Ya, mungkin ini termasuk keputusan yang tepat. Daripada saya tetap memaksakannya dan hasilnya jelek. Cari-cari alasan emang paling asyik, bukan? 

Tahun 2019 saya tak ingin jadi pecundang lagi. Saya berniat untuk menghasilkan sesuatu pada tahun ini. Tololnya, saya tetap bingung mau menciptakan karya yang seperti apa. Saya hanya mencoba lebih rajin bikin cerpen di blog. Paling tidak, hal itu sudah cukup menghibur saya. Hingga datanglah bulan Juni, tepatnya sehabis Lebaran. Saya merenung, tahun 2019 sudah mencapai setengahnya, tapi saya tetap belum menghasilkan apa-apa. Bagaimana kalau kegagalan ini berulang seperti tahun-tahun sebelumnya? 

Pertanyaan itu langsung memacu semangat saya untuk membuka lagi draf-draf lama. Saya menyelesaikan naskah-naskah yang baru setengah jalan ataupun yang baru tertulis poin-poinnya di memo. Sebagian dari cerpen-cerpen itu akhirnya berhasil rampung, tetapi saya lagi-lagi kehilangan selera untuk mengumpulkannya menjadi buku. 

Sebetulnya apa yang salah dengan diri saya? Apakah saya cemas kalau nanti naskah itu tak ada yang mau menerbitkannya? Apalagi mengenang setiap kali mengirimkan karya ke media daring yang berujung penolakan. Mungkin masih ada penerbit indie jika saya ingin tetap dicetak menjadi buku. Sayangnya, saya tetap butuh modal. Menengok diri saya yang lagi bokek, saya akhirnya membuang gagasan tersebut. Di tengah-tengah perasaan putus asa, lantas muncul pertanyaan: Saya selama ini menulis buat apa, sih? 

Terkadang saya berpikir menulis ini dapat menyembuhkan diri saya. Berkali-kali menulis terbukti ampuh bisa menjadi terapi jiwa. Tapi, di lain waktu entah kenapa justru bikin saya hancur. Konklusi semacam itu kemudian membuat saya menengok tulisan-tulisan yang ada di blog. Saya tentu memilih tulisan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis maupun bloger. Lalu saya iseng menyuntingnya supaya lebih enak dibaca. 

Saking asyiknya mengurung diri di kamar dalam seminggu dan berkutat di depan laptop, kegiatan iseng-iseng ini justru berubah menjadi serius tanpa saya sadari. Akhirnya, saya berniat mengumpulkanya menjadi sebuah buku kumpulan cerita dalam format digital. Saya ambil benang merahnya: tokoh-tokoh yang mempertanyakan, “Menulis ini sebetulnya menyembuhkan atau justru menghancurkan dirinya? Maka, jadilah sebelas cerita tentang tokoh-tokoh yang bergelut di dunia tulis-menulis.

Setelah buku itu selesai dibuat, kini muncul masalah baru. Saya bingung buku digital itu mau dibagikan gratis atau dijual. Tapi mengingat perkataan Joker, “If you’re good at something, never do it for free,” tentunya saya jadi ingin menghargai diri saya. Toh, buku ini memang perlu saya jual agar bisa menyambung hidup sementara ini sebelum mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Barangkali saja banyak yang berminat. Meskipun sebenarnya ada kecemasan di dalam diri, siapa coba yang mau baca cerita-ceritamu, lebih-lebih membelinya, setidaknya saya sekarang ini telah berusaha dan mencoba. Saya sudah berhasil mewujudkan mimpi untuk bikin buku kumpulan cerita. Saya melakukan semua ini karena benar-benar gemar menulis. Lagi pula, saya tahu bahwa rezeki juga sudah diatur. Jadi, saya mah bersikap santai saja. Tapi syukur-syukur, sih, betulan bisa laris manis. Aamiin.

Sekarang saya tinggal memutuskan berapa harga jualnya. Saya tak tahu berapa harga yang pantas untuk karya saya. Buku ini cuma proyek pelarian dari proyek yang sesungguhnya. Apalagi sebagian ceritanya juga sudah pernah tayang di blog.

Jika saya kasih harga 50 ribu, kok takutnya kemahalan. Kalau 20 ribu, merasa terlalu murah. Berhubung saya menyelesaikannya pada bulan Agustus, saya lihat saja tanggalnya yang sampai 31. Ya udah, saya tentukan itu sebagai harganya: Rp31.000

Lalu, sebagai anak Jurusan Pemasaran yang pernah belajar cara promosi, saya ingin memberikan diskon selama bulan Agustus ini menjadi Rp24.524—angka ini merupakan tanggal lahir dan usia saya saat ini. Bagi yang ingin mengunduh Fragmen Penghancur Diri Sendiri secara gratis (versi ini hanya tersedia sedikit cerita), silakan klik gambar buku berikut. Bagi yang ingin memesan versi utuhnya, silakan hubungi: ketikyoga@gmail.com. Terima kasih.


29 Comments

  1. "Saya selama ini menulis buat apa, sih? "

    Ah rasanya seperti berkaca pada dinding cermin. Persis kaya apa yang saya rasain saat ini, nulis novel tapi berhenti di tengah jalan karena ragu sama hasil sendiri. Nnanti kalo udah jadi ; nggak percaya diri kalo naskah akan diterima sama penerbit. Bingung harus gimana :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menurut saya selesaikan aja dulu, Bel. Rasa lega setelah berhasil merampungkannya itu nikmat banget. Beban berat yang kita gendong selama ini di pundak pun menghilang.

      Kalau tahu bakal seasyik ini prosesnya, saya kayaknya waktu itu enggak perlu kebanyakan menunda.

      Delete
  2. Hingga pada akhirnya sampai di titik; memberi sendiri harga pada karya sendiri.
    Itu bukan hal mudah (tentulah!), karena seperti memberi harga pada harga diri.

    Saya ucapkan selamat atas kelahiran proyek pelarian ini. Semoga sampai tepat waktu pada pembacanya yang tepat :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekalipun ada yang menganggap harganya murah, semoga harga yang saya berikan ini tidak merendahkan diri saya sama sekali.

      Makasih, Zahra. Aamiin.

      Delete
  3. Waduhhh selamattt

    Seneng rasanya kalo punya temen blog yang bisa mewujudkan keinginannya jadi penulis buku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Saya bakal lebih senang lagi kalau banyak yang beli dan baca. Ehehe.

      Delete
  4. Semoga laris!

    Keren bang, langkah awal step by step, menginspirasi saya juga biar bikin buku juga. Tapi entahlah. Soalnya tata bahasa dalam tulisan saya, itu kacau buat dibaca orang lain, hanya bisa dinikmati diri sendiri wkwk.

    Intinya selamat bang yoga!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya, Rabb.

      Kan masih ada proses mengedit. Nanti juga jadi bisa dipahami sama pembaca. Bikin aja dulu, Sep. Haha. Yooo, makasih. :D

      Delete
  5. Hi Mas, selamat ya atas kelahiran karyanya. Semoga laris manis dan pastinya banyak yang apresiasi. Segala sesuatu yang dimulai dengan niat tentu akan berakhir dengan baik. Sekali lagi selamat dan sukses! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Semoga demikian, ya. Terima kasih, Creameno, krim yang kalimatnya lumayan manis~

      Delete
  6. Selamat untuk ebook keduanya, Yog!—Kafe Wirdy pertama, 'kan? Semoga sukses terus dan bisa tetap menulis. Minimal, jangan berakhir seperti Ernest Hemingway. Xoxo~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nuhun, Gip. Kalau untuk proyek solo, ini yang pertama. Itu kan keroyokan. Haha.

      Hmm, mati dengan cara Hemingway terlalu mahal.

      Delete
  7. Gimana kalau sebenarnya Tuhan ngasih lu sakit itu karena pengen tau seberapa besar keinginan lu untuk mendapatkan pekerjaan itu? Kadang-kadang itu jadi dua hal yang bikin dilema sih. Hahaha.

    Btw gue suka Joker juga. Wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha. Bisa juga, sih. Tapi gue sementara ini lebih percaya bakal keterimanya di tempat lain.

      Kalimatnya Joker mantap emang.

      Delete
  8. aduh ini juga aku banget
    kadang klo badan udah memberikan early warning ya udah deh kayak mau nyerah aja
    tapi balik lagi kadang masih belum puas. belum ikhlas, masak sih mau nyerah?

    eh btw selama buat bukunya aku juga launching di agustus ini

    semoga sukses

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selama enggak memaksakan diri mah pasti bakal saya lakukan. Tapi ya kalau firasat udah enggak enak gitu, kayaknya lebih baik tunda dulu perjuangannya.

      Makasih, Mas. Selamat dan semoga sukses juga!

      Delete
  9. Tertohok sih, pas baca bagian "ini udah bulan Juni dan belum menghasilkan apa-apa". Kalau kamu mungkin lebih ke karya dalam bentuk buku atau lolos ke media gitu, ya, Yog. Kalau saya kepikiran ke masalah (menang) lomba blog. Hahaha. Yang setiap awal tahun menjadi resolusi, tapi tak pernah tereksekusi.

    Project'an yang bareng opeeator merah itu udah selesai, Yog? Tak kira di kontrak setahunan atau lebih?

    Terakhir, SELAMAT!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya baru ingat, belum ikutan lomba juga untuk tahun ini. Wahaha. Parah banget nih. Kurang fokus ke situ lagi, sih, karena keseringan kalah. XD Habis ini mau berburu lomba, ah.

      Iya udah, itu proyeknya kan satu paket tulisan, Wis. Bukan jangka waktu.

      Matursuwun. :D

      Delete
  10. Senang rasanya mendengar teman-teman yang berhasil membuat karya, apalagi mendengar cerita proses dibaliknya. Btw selamat ya dan semoga terus berkarya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Prosesnya malah seperti saya ini orang yang gemar menunda-nunda. Hahaha. Terima kasih, Hanna.

      Delete
  11. salut pada seseorang yang bisa menulis novel untuk nulis di blog saja say begitu susah palagi novel

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu bukan novel, itu kumpulan cerita. Novel saya juga masih belum mampu. Mandek terus.

      Delete
  12. Wdih, baru brkunjung kesini lagi stelah terakhir tahun lalu kayaknya.

    Mantap yog, tulisan ini mnurut gw cukup memicu smangat gw buat menulis dan menghasilkan karya-karya di tahun 2019. Kemarin wktu tahun 2018 gw juga smpet nulis karya kumpulan cerita pertama di wattpad. Blom berani ngasih harga sih wkwkw. Kalo ada yang mau baca aja, syukur2.

    Kalo ditanyain "Saya selama ini menulis buat apa?" jawabannya ngga bakal cukup kalo cuman satu sih. Yang pasti gw menulis untuk mencari teman dan berbagi keresahan. Selain itu, menulis juga adalah salah satu cara gw untuk tetap mengunci ingatan. Sama kyak nama header lo dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukannya awal tahun lu sempet main? Yah, gue enggak mainan Wattpad sih, Rey. Tiap orang pasti beda-beda jawabannya. Ada yang pengin terkenal dan buat cari duit.

      Hahaha. Masih ingat aja. Gue udah ganti nama karena malas dianggap penggemar garis keras Barasuara. Takut juga kena kasus soal hak cipta, sekiranya hal semacam itu termasuk pelanggaran. Meski penggunaan judul blog itu konteksnya berbeda banget sama judul lagu.

      Delete
  13. Congrats,yog. Gila ya lo udah bikin buku.
    keren abis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Rin. Beli dan baca juga kalau mau ikutan keren. Wqwq.

      Delete
  14. Selamat ya mas atas karyanya.
    Semoga sukses.

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.