Pertanyaan
Belum ada satu pun orang yang saya kenali di pernikahan Wahyu Hermanto dan Irma Anjani selain sang mempelai perempuan itu sendiri. Irma adalah teman kuliah saya. Kami sempat sekelas saat semester 1-4. Berhubung saya ini anaknya malas kalau langsung salaman kepada pengantinnya, lebih-lebih sendirian begini, saya pun memilih berjalan ke stan sate ayam, kemudian makan di dekat situ seraya memperhatikan tamu-tamu yang hadir. Barangkali ada kawan kuliah yang datang pada jam-jam awal seperti saya. Ini bukan karena saya tak ingin kehabisan makanan di gedung yang jadwalnya hanya dua jam—dari pukul 11 sampai 1 siang, tapi saya sengaja datang lebih cepat sebab setelah ini masih ada acara lain.
Seusai memakan sate, saya mulai mengantre bakso. Saya kurang berminat menyantap menu utama. Saya lebih suka makanan tanpa nasi setiap kali pergi kondangan. Ketika antrean tinggal dua orang lagi, lalu ada seseorang yang menepuk bahu saya. Tercium aroma parfum menyegarkan dan terdengar suara perempuan yang tidak asing di telinga. “Lu kondangan kok segala bawa tas, Yog? Habis ini sekalian berangkat kerja?”
Saya menoleh dan mendapati sosok Farah Kinanti—teman sekelas saya juga seperti Irma. Dia memakai dress panjang berlengan pendek berwarna biru admiral, sepatu kets putih, dan di bahunya tersampir tas selempang hitam khas wanita. Saya lantas menjelaskan kepada Kinan (saya lebih senang memanggilnya begitu ketimbang “Farah”) tentang ada urusan lagi sesudah kondangan. Saya pikir daripada bolak-balik ke rumah, toh lokasi pernikahannya searah dengan tempat yang saya tuju kelak, mendingan saya sekalian pergi membawa barang-barang yang dibutuhkan dan menyimpannya ke dalam tas.
Kami menggasak bakso seraya bertukar kabar dan bertanya kenapa datang sendirian. Saya seperti biasa menjawab basa-basi soal keadaan yang alhamdulillah baik sekalipun pada kenyataannya masalah hidup belakangan ini muncul bagai tak habis-habis, serta belum punya partner lagi yang bisa menemani sejak setahun silam; sedangkan Kinan mulanya juga menjawab baik, tapi kemudian bercerita sedikit kalau dia baru putus tiga bulan lalu sama cowoknya.
Sadar bahwa pembahasan ini kurang asyik dan mungkin bisa mendatangkan kesedihan, Kinan tiba-tiba mengalihkan topik dengan bertanya, “Eh iya, lu belum ganti-ganti tas apa, Yog? Terakhir kali kita ketemu, lu bukannya pakai tas yang itu juga?”
Masalah
Sekitar tiga tahun lalu, pada awal Oktober 2016, saya tak sengaja berjumpa dengan Kinan di acara bazar buku yang berlokasi di JCC Senayan, Jakarta Pusat. Saya melihatnya dari kejauhan ketika dia lagi memilih-milih buku di salah satu stan. Saya lantas menghampiri Kinan sekaligus menyapanya.
“Tuh, kan, betulan Yoga,” ujarnya.
“Hah, maksud lu?”
“Tadi gue udah sempat lihat lu pas lagi bayar buku di kasir. Tapi karena ragu, gue enggak jadi nyamperin. Habisnya tampang lu beda banget kalau gondrong. Gue kira orang lain.”
Saya otomatis tertawa. Tawa Kinan pun menyusul.
“Lu udah beli buku apa aja, Yog?”
Saya memperlihatkan isi tas yang terdapat buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara, A. S. Laksana; novel Norwegian Wood, Haruki Murakami; dan buku puisi Di Hadapan Rahasia, Adimas Immanuel.
“Lu belum berubah ternyata. Masih aja hobinya beli buku-buku fiksi. Dasar calon penulis!”
Saya cengengesan sembari mengamininya dalam hati, lalu gantian bertanya tentang buku yang dia beli.
“Gue baru dapat ini,” ujarnya sambil memperlihatkan buku Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar dan The Power of Habit.
“Lu emang lebih suka buku-buku motivasi kayak gitu, ya?”
“Enggak juga sih, Yog. Gue niatnya lagi cari buku-buku Manajemen SDM (Sumber Daya Manusia) buat skripsi. Eh, malah ketemu dua buku ini. Mumpung diskonnya gede.”
Saya sudah lupa apa saja judul buku Manajemen SDM yang Kinan beli setelahnya. Saya hanya bisa mengingat Kinan sempat menitipkan buku-buku itu ke dalam tas saya. Kala itulah saya merasa bawaan jadi lumayan berat dan agak terganggu akan kondisi tas yang seolah-olah miring. Saya pun memastikannya dengan bertanya kepada Kinan, apakah tas saya betulan miring?
“Iya, miring. Itu kan tinggal diatur aja talinya, Yog.”
Jawaban Kinan membuat saya sadar bahwa kondisi tas tersebut memanglah kurang baik. Lima bulan sebelumnya, buckle alias gesper tas saya ada yang patah lantaran keberatan beban. Tapi berhubung saya masih menyukai tas itu, biarpun sudah tidak bisa diatur lagi panjang-pendeknya, saya memilih menyiasatinya dengan mengikatnya saja. Pokoknya tas itu masih bisa berfungsi dengan baik untuk menyimpan berbagai macam benda.
Begitu saya beri tahu masalahnya, Kinan segera menyarankan saya untuk mencari tas baru. Saya dengan entengnya menjawab lagi bokek. Buat sementara pakai yang ada saja. Nanti kalau ada rezeki berlebih, barulah membeli yang baru.
“Makanya duitnya ditabung, Yog, jangan boros beli buku melulu,” ujar Kinan.
Pilihan
“Enak aja. Gue udah sempat beli, tau,” kata saya kepada Kinan. “Tasnya ada di rumah. Tapi rusaknya lebih parah dari yang ini. Jadi, mending gue pakai yang ini lagi.”
Tidak lama sehabis mendengar ledekan dari Kinan pada acara bazar buku, saya langsung memutuskan untuk membeli tas di salah satu ITC seharga 130 ribu. Sebuah tas ransel berwarna abu-abu yang mereknya tidak saya ketahui. Saya entah kenapa tergoda karena suka modelnya dan kebetulan lagi diskon dari harga awalnya: 250 ribu. Sialnya, baru memakainya sekitar 10 bulan, ritsleting tas itu justru rusak. Ternyata masih lebih kuat tas lama saya yang umurnya bisa mencapai tahunan.
“Betah ya lu pakai tas itu hampir empat tahun,” kata Kinan. “Enggak merasa bosan apa?”
Saya meralatnya bahwa tas itu sudah menemani saya selama lima tahun terakhir. Saya bukan tipe orang yang gampang bosan sama barang-barang fesyen, bahkan kemeja hitam yang saya kenakan saat kondangan hari ini juga berumur sama dengan tas tersebut. Ada bagusnya juga punya badan yang konsisten kurus. Saya jadi tidak perlu boros membeli pakaian sebagaimana orang-orang yang tubuhnya gampang melar.
“Lah, berarti tas itu udah lu beli dari semester 2? Gila, lama banget. Gue ingatnya semester 3 atau 4 gitu.”
“Nan, lu daripada komentar terus, mending kasih gue saran gitu beli tas yang bagus di mana.”
Mendengar kalimat barusan, Kinan entah mengapa tampak seperti bocah yang sedang ditawari es krim oleh ibunya. Dia pun langsung menyebutkan nama-nama toko online, salah satunya Urban Icon. Karena saya baru mendengar nama itu, saya pun bertanya apa kelebihannya.
“Yang pasti mah barang-barangnya original, Yog. Banyak brand ternama. Setiap bulannya juga pasti ada produk terbaru.”
“Terus?”
“Bisa bayar pakai kartu kredit dan cicilannya nol persen.”
“Lu kan tau gue orangnya enggak suka pakai kartu kredit. Sampai sekarang ini belum punya juga, sih.”
“Teman gue yang satu ini masih belum berubah, ya,” ujarnya. Kinan lalu tertawa dengan menutupi mulutnya.
Entah tawa Kinan itu sebagai bentuk pujian atas diri saya ini termasuk tipe manusia yang suka berhemat, atau sebuah ledekan sebab hemat itu beda tipis dengan pelit. Daripada pusing memikirkannya, saya memilih ikutan tertawa.
“Yang penting di sana ada diskonnya kan, Nan?” tanya saya.
“Tenang aja, setiap bulan pasti ada diskon. Terus gratis ongkos kirim dan ada garansinya juga. Lu mending langsung cek sendiri di webnya dah, Yog.”
Saya pun mengucapkan terima kasih.
Singkat cerita, pada pukul 12 saya memutuskan pergi dari pesta pernikahan itu, lalu menjemput salah seorang kawan, dan menuju ke Perpustakaan Nasional—yang ternyata acaranya malah berlanjut dan pindah ke sebuah kafe di sekitaran sana hingga malam hari.
Dalam perjalanan menjemput teman, saya kembali mengingat percakapan bersama Kinan sebelum berpisah. Kami saling mengejek siapa yang berikutnya menikah. Apakah Kinan atau saya duluan? Saat itulah saya iseng berkata, “Gimana kalau ternyata kita barengan nikahnya, Nan?
“Kita bakal jadi suami-istri maksud lu? Enggak, ya! Jangan ngarep!”
Saya langsung terbahak-bahak. Walaupun kalimat yang saya lempar itu murni lelucon, saya akui Kinan sebetulnya manis juga.
“Udah sana pergi, katanya lu ada acara lagi, Yog. Nanti pas kita ketemu lagi, awas aja lu kalau masih pakai tas yang itu.”
“Iya-iya, Nan, ini gue udah mau cabut kali. Habis ini gue bakal cari tas baru juga. O iya, kalau lu kangen nanti WhatsApp aja.”
Kinan menjulurkan lidahnya bermaksud meledek saya atau dengan kata lain: amit-amit dah gue kangen sama Yoga.
Sepulang dari acara kumpul-kumpul bersama kawan, saya mulai membuka laptop dan menelusuri web yang Kinan sarankan tadi untuk mencari tas backpack baru. Pada salah satu tas yang saya taksir modelnya, saya terkejut dengan harganya sembari mengucap, “Wow, tas doang harganya tiga juta nih?”
Sadam—adik saya—yang berada di kamar sebelah mendengar kalimat itu, lalu menanggapinya, “Norak dah lu, Mas. Harga segitu wajar kali. Apalagi kalau tas original dan mereknya terkenal.”
Ada benarnya juga sih perkataannya. Lagi pula, mahal atau murah kan tergantung siapa yang menilai. Bisa jadi sayalah yang terlalu miskin. Tapi daripada saya berdebat soal harga, alangkah baiknya saya bertanya kepada Sadam yang lumayan paham mengenai merek-merek bagus dan tidak pasaran.
“Coba lu cari ‘Fjallraven Kanken’.”
Saya baru mengetahui merek yang disebutkannya itu. Saya mencoba mengetiknya di pencarian. Kelihatannya tas branded itu oke juga. Harganya juga lebih murah ketimbang yang tadi. Tidak apa-apa harga sedikit lebih tinggi dari harga tas biasanya, yang penting kan barangnya awet dan tepercaya. Jika tas yang diledek Kinan ini dulu saya beli seharga hampir 400 ribu dan kuat selama lima tahunan, paling tidak saya memperkirakan tas ini bisa bertahan sampai sewindu atau lebih.
Baiklah, pilihan sudah ditetapkan. Berarti tugas saya tinggal mencari proyek-proyek pekerjaan lepas dan mengumpulkan uang semaksimal mungkin sambil menabung demi bisa membelinya tanpa mengutak-atik simpanan utama. Seandainya nanti saya kembali bertemu dengan Kinan, semoga dengan menggendong tas itu tingkat kekerenan saya bakal meningkat di matanya.
30 Comments
*baca pelan-pelan
ReplyDelete*mengedipkan dua mata berkali-kali
*eng...
..
...
..
.
lupa tadi mau komenin apa tentang bahannyaaaaaa......
Aduh, berat juga ya ini perbandingannya. Tapi saya sepakat, sih. Ehehe. Apalagi bacaan itu sudah menjadi kebutuhan. Bedanya, kali ini saya juga perlu tas baru buat menyimpan buku-buku yang dibeli ketika main ke bazar buku.
ReplyDeleteSaya juga pernah bilang lagi pas di cerpen, "Kalo hambatannya besar, dan lampu jadi redup, bukan lapunya yang diganti, tapi rangkaiannya yang dibuat jadi paralel, biar terang."
ReplyDeleteNamun, ada kalanya lampu tersebut memang harus diganti, bukan karena tidak menghargai, hanya saja mungkin kerjaan detail yang dilakukan sudha bertambah. Misal untuk mengerjakan kerjaan jam tangan pada malam hari, nggak bis akalo hanya dengan lampu baca.
Untuk kasus tas, juga bisa jadi sama, memang bisa diperbaiki, tapi ada konteks lain yang dinilai oleh temannya Yoga yang masuk akal menurut Yoganya. Kalo pengalaman saya sendiri soal tas, nggak sampe rusak, tapi ukuran tasnya kecil, tidak cocok untuk membawa barang besar/banyak yang tiap hari dibawa ke mana-mana.
Lalu, saya tidak tau ini arahnya jadi metafora apa gimana, pokoknya, perihal apa yang terjadi dengan kehidupan manusia, tidak akan benar-benar serupa dengan analogi kebendaan. jadi kalo mau dibawa pada hubungan manusia, sepertinya tak akan menmukan titik yang saling memuaskan.
BTW, saat saya ditinggalkan (saya dikatai dengan umpatan anjing, bangsat) atas dasar kecurigaan saya padanya. Padahal, dua minggu kemudian, dia benar2 mewujudkan kecurigaan tersebut. Langsung jadian dengan lelaki yang saya tanyakan "dia siapa?".
Maksud saya, kita bisa memberitahu atau menasihati bahwa sikap seseorang itu salah, terlebih saat bertengkar, berpisah. Namun, keputusannya tetap ada di orang tersebut. mau berkata apa pun, kita sudah tak punya kuasa lagi. Tinggal sikap kita lagi, mau terus bergantian memaki atau menyudahi.
Btw, kamu mirip bapak saya, yang kalo punya apa-apa sampek warnanya pudar, atau betul-betul gk bisa di pakek lagi, haha..
ReplyDeleteSaya selalu ingat cerita kapal Going Merry di One Piece. Ia sudah babak belur, tapi masih ingin menemani kawan-kawannya bertualang. Seandainya tas itu hidup, bisa jadi ia juga ingin meringankan saya membawa beban-beban hidup. Alah, ngetik apa coba ini.
DeleteAnjir tasnya mahal banget. Gak kuat gue belinya :(
ReplyDeleteNgomong-ngomong gue juga termasuk orang yang kalau pake barang itu awet-awet. Gue ingat sepatu futsal yang gue beli tahun 2011, itu baru rusak tahun 2016, dan rusaknya juga bukan karena gue melainkan karena dipinjanm sama temen. Jadi gue rutin futsalan tuh, bisa seminggu dua kali, dan gak pernah rusak sama sekali. Eh pas 2016 itu, dipinjam sama temen gue gara-gara waktu itu gue cedera, eh habis dipake, dibalikin, langsung rusak tailah. Habis itu gue gak pernah lagi mau minjemin barang-barang gue ke orang. Kapok. Hahaha
Yang satu jutaan buat gue masih normal sih, Man. Itu juga tas branded. Wajar harganya lebih tinggi. Waktu itu lu juga pernah ikut GA Adis tas harga sejutaan, bukan?
DeleteEmang gitu kan. Enggak semua orang bisa merawat barang pinjaman. Syukurnya selama ini belum ada yang pinjam sepatu gue. Kaki gue termasuk kecil, ukuran 39-40. Beberapa kawan biasanya 41-43. Wqwq.
Tasnya Adis itu seingat gue 500rb deh.
DeleteHaw: Memang susah sih menerapkan analogi benda semacam itu ke dalam kehidupan manusia. Terkadang kita bisa merasa relevan, tapi menyamakan makhluk hidup dengan benda mati sungguh tidak adil. Toh, manusia jauh lebih kompleks. Apalagi urusan hubungan itu. Tidak semua manusia dapat memanusiakan sesamanya.
ReplyDeleteMayang: Saya sejauh ini hampir enggak pernah membuang barang. BlackBerry Gemini yang udah rusak dan layak buang pun masih saya simpan. Entah saya ini tukang mengoleksi kenangan, atau sebagai bentuk menghargai karena pada masanya ponsel itu berjasa banget menemani saya. Apalagi dibelinya sewaktu awal-awal bekerja. Banyak nilai sentimental yang terkandung di dalamnya.
Saya tidak pernah merasa dikotori oleh "sampah" yang dibuang oleh setiap pembaca di sini. Pembaca bebas berkomentar apa saja*. Siapa tau sampah itu juga bermanfaat menjadi pupuk kompos.
PS: *)kecuali yang menyisipkan tautan aktif, basa-basi enggak jelas, dan sangat kentara menginginkan kunjungan balik.
Kalo saya pun jarang banget ganti backpack, soalnya banyak kenangan juga saat traveling pake tuh backpack.
ReplyDeleteBetul, Mas. Tas backpack yang udah jadi kesayangan menemani banyak perjalanan akan sulit tergantikan.
DeleteSelera kamu mantap Yogs, merk fossil emang bagus-bagus wkwkwkwk.
ReplyDeleteJadi keinget kemarinan dikomen juga sama orang lain karena dia lihat postingan ig story ku, katanya : "fasy jangan beli buku terus, lusa aku ulangtahun loooh" yauda aku bilang aja "a-ku-ti-dak-pe-du-li" HIH!
Kusangat menyukai kalimat terakhir komentar ini atas tanggapannya terhadap kode orang lain. xD
DeleteTernyata emang bagus, ya? Wahaha. Beberapa kawan dekat saya bilang selera saya ini termasuk oke (biasanya soal bacaan dan tontonan, bahkan memilih lawan jenis). Sayangnya, kondisi keuangan dan nilai jual diri sendiri ini yang masih jauh dari kata bagus. Wqwqwq. Saya perlu memperbaiki kondisinya nih biar selera yang standarnya lumayan itu bisa sesuai.
DeleteKok percaya dirinya tinggi, ya? Saya belum pernah minta kado ulang tahun gitu, berharap pun jarang banget. Takut kecewa. Ada yang masih ingat saya ulang tahun dan didoakan udah cukuplah. Bahaha. Tapi kalau bercandain kawan soal buku, misalnya dia beli banyak tapi belum sempat baca, terus saya bilang "Itu buat saya aja atau dipinjam dulu, boleh?", itu pernah. Ehehe.
Respons yang sungguh aduhai, Teh Fasya.
Wah, kok tasnya murah sih? *Datang dengan kesombongan tingkat dewa
ReplyDelete*sembah Kresnoadi*
DeleteMurah buat Adi mah. Sekali menang lomba ngeblog bisa langsung kebeli sama dia.
DeleteBtw, biru admiral itu warna biru yang kayak apa ya, Yog? Hahaha. Gue taunya cuma biru muda, biru tua, biru langit, dan biru laut.
ReplyDeleteTapi anjit itu mahal bener tas doang 3 juta. Gue beli tas juga termasuk jarang sih. Karena awetnya bisa tahunan. Kalo rusak paling cuma di bagian risleting. Kalo masih bisa dibenerin ya tetep gue pake. Kecuali beneran udah jebol.
Tapi kalopun udah ga gue pake biasanya dihibahkan ke adek gue sih. Jadi tetep ga dibuang. Wkwk
Antara biru laut sama biru dongker kali, ya. Bingung juga sebetulnya mau nulis warna gitu. Yang paham kan cewek biasanya. Katanya Kinan itu warna admiral. Saya mah manut.
DeleteSeumur-umur mah saya belum pernah tas mengalami kejebolan gitu. Kalau ritsleting emang wajar.
Biru admiral tuh warna biru... tapi rada admiral admiral gitu.
DeleteYha bang adi~~
DeleteIngatan si Kinan ini tajem juga ya? Udah 3 tahun lalu dan masih inget sama tas yang terakhir dipakai sama kamu lho, Yog.
ReplyDeleteTasku malah udah 8 tahunan ini. Dulu yang warnanya hitam, sekarang udah berubah jadi warna hitam kemerah-merahan karena pudar. Hahaha. Pun dengan resletingnya yang udah ganti karena sempet rusak beberapa bulan lalu. Sebenarnya pengen ganti dan beli tas baru, tapi prinsipku juga selama barang itu masih bisa dipakai dan belum rusak-rusak banget, sementara bisa ditunda dulu lah. Siapa tahu uangnya bisa buat beli kebutuhan yg lain dulu--yang lebih penting--atau buat jaga-jaga nyumbang amplopan ke kondangan teman yang sering datang dengan tiba-tiba.
Tas 3 juta? Oke, lebih tinggi harga tas ini daripada gaji ku selama sebulan *INHALE--EXHALE--INHALE--EXHALE*
Mungkin dia ingat karena tas saya pernah beberapa kali berjasa buat dia. Ciyeee gitu.
DeleteTas saya yang dari SMA juga ada, Mas Wis. Udah delapan tahun lebih juga. Saya kasih adik, terus sekarang malah dipakai sama Ayah atau Ibu ketika beliau jalan-jalan. Hahaha.
Prinsip hemat dan pantang beli baru sebelum betul-betul tidak berfungsi lagi memang mantap. Itu emang biaya dadakan buat usia 25. Ada aja kawan yang nikah. Hadah-hadah.
Santai, Wis. Gaji pekerja lepas juga di bawah itu. :(
Tas ya.. Jadi ingat punya tas selempang yang ku kasih teman karena waktu bawa barang berat rasanya capek. Enak pake tas punggung.
ReplyDeleteKalo tas sedari SMA aku suka exsport karena awet dan harganya terjangkau. Tas yang sekarang di pake kerja aja usianya 4 th! 😃
Semoga jodoh sama kinan, semoga bisa segera kebeli tasnya. Aamiin ya Robb 😁
Berat sebelah kan itu. Pundaknya lama-lama miring. Ya kali. Wahaha. Kalau tas exsport punya saya juga masih ada sampai sekarang dari zaman SMK.
DeleteIni kenapa Arum doanya enak dan gampang banget, ya? Ehehe. Ya udah, saya amini. Aamiin ya, Rabb.
Yang kebayang pas baca ceritanya wajah kinan yosi terus nih haha
ReplyDeleteWah gila tasnya 3 juta. Jiwa miskinku bergejolak
Kinan Yosi siapa? Gue taunya Kinaryoshi.
Deleteaku sbnrnya tipe yg lamaaaa kalo pake tas :p. kalopun ganti tas baru, itu bukan krn rusak, tp lbh krn udh terlalu lama make itu :p. biasanya batas wkt yg aku ksh cm 2-3 thn yog. malu jg kalo itu itu muluuu wkwkwkkw...
ReplyDeletekalo soal merk, aku ga fanatik merk luar. justru aku lbh suka brg lokal. kayak kemarin aku sempet tergila2 ama mudagaya, jd aku beli banyak tasnya, dan ternyata memang aweeeet dan kuat bgt. bbrp udh aku pensiunkan krn keseringan.
kalo skr ini aku lbh suka custom yog. kebetulan kmrn itu nemu temen yg jd pengusaha tas. dan tas2nya itu custom dia buat based on model dari yg request. kalo di IG dan FB nya memang rata2 tas cewe. tp dia bisa kok bikin tas cowo semacam ransel. kmrn aku bikin ransel ama dia utk dibawa jalan2. hasilnya kuat, bahannya bagus, yg terpenting hrgnya dibawah 300rb. ga iklan ya ini ;D. krn puas aja ama hasilnya jd aku ga segan utk bantuin promosi mulut ke mulut :D. monggo kalo mau pesen ato chat ownernya, IG: aisyah_craft . FB : aisyahcraft.
lumayan, tas yg kita punya jd ga mungkin sama ama org lain :D
Berarti tingkat ketahanan saya menghadapi malu bisa lebih kuat. Karena ini sudah 5 tahun. Ehehe.
DeleteMakasih infonya ya, Mbak. Nanti coba saya lihat-lihat. Yap, enaknya custom tuh enggak mungkin ada yang kembarin, kecuali pasangan sendiri ketika diniatkan bikin sepasang. Haha.
Sungguh saya terpukau dengan penyelaman diri Haw melalui cerita yang menyayat pikiran.
ReplyDelete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.