Cerita sebelumnya: Mbak Manis Kemeja Kuning: Pemicu
--
Sampai hari ini saya mungkin masih memikul beban penyesalan karena tidak berani mengajak berkenalan Mbak Manis Kemeja Kuning. Terlebih lagi sewaktu melihat potongan gambar dari video yang Dian rekam. Kalimat karena momen gak bisa diulang, betul-betul menjotos hati saya hingga terasa sesak.
Paling tidak, jika saya hari itu mencoba menghargai perasaan si pacar dan takut kenalan, saya kan tetap bisa mencari tahu siapa namanya lewat meja registrasi ataupun bertanya sama temannya yang berjilbab itu. Cukup dengan sebuah nama, saya pasti dapat mengakses beberapa hal tentang orang itu lewat penelusuran Google. Meskipun ada sebagian manusia yang menggunakan fitur privasi agar tak dapat ditemukan, minimal di zaman digital seperti ini informasi tentang dia pernah sekolah atau kuliah di mana pasti bakalan ketemu. Lalu, buat orang-orang yang gemar berkata “apalah arti sebuah nama”, mereka mungkin belum paham akan kesulitan menelusuri seseorang cuma karena tidak tahu namanya. Seperti yang tengah saya alami saat ini.
Saya mulai lelah dengan rasa penyesalan terkutuk itu, lalu mencoba menghibur diri dengan membaca buku digital Essays and Aphorisms, Arthur Schopenhauer. Pada salah satu kepingannya, Schopenhauer menyampaikan sesuatu hal yang seakan-akan mewakilkan perasaan saya saat ini (diterjemahankan secara serampangan): “Kejadian dalam hidup kita serupa gambar mosaik kasar. Mereka tidak efektif dari dekat, dan harus dilihat dari jarak jauh jika ingin tampak indah. Itulah sebabnya untuk mencapai sesuatu keinginan, kita malah menemukan betapa sia-sianya hal tersebut; dan kenapa, meski kita telah menjalani seluruh hidup dengan harapan akan hal-hal yang lebih baik, kita tetap sering menyesali apa yang telah berlalu.”
Pada suatu malam menjelang tidur, saya pernah berpikir kalau saja hari itu saya berkenalan dengan gadis kemeja kuning dan memilih putus dengan si pacar, mungkinkah kisah percintaan saya hari ini akan terasa lebih manis? Namun, ketika itu saya justru berpikir sebaliknya: apakah kehadiran perempuan manis berkemeja kuning ini adalah suatu godaan buat saya yang sedang dilema—mau putus atau bertahan dengan hubungan beracun?
Entah pilihan saya hari itu tepat atau tidak, seenggaknya setelah Februari berakhir saya dan pacar sedikit-sedikit mulai belajar dari konflik-konflik tersebut. Kami berdua mungkin sama-sama keras kepala, sehingga salah satunya perlu mengalah—khususnya saya yang harus lebih menahan diri supaya tidak mengeluarkan kalimat-kalimat ambigu saat lagi marah karena ketikan saya bakal berantakan. Misalnya, kala saya mengetik, “Udahlah, aku lama-lama capek begini terus!” Maksud saya sebenarnya: Udah dong, Sayang, enggak usah ribut-ribut lagi. Aku tuh betul-betul capek bertengkar cuma karena hal sepele begini; sedangkan dia menafsirkannya bahwa saya sudah lelah sama hubungan itu dan ingin mengajak putus.
Biarpun saya dan pacar akhirnya putus-putus juga pada caturwulan pertama 2018, intinya kan tetap ada hal-hal manis yang pernah terjadi di antara kami. Saya tak perlu menyesali pilihan kenapa kami memilih bubar jika memang sudah melewati banyak suka-duka bersama selama 1,5 tahun; ataupun mengapa saya enggak putus saja dari Februari 2017 itu, agar bisa berkenalan dengan Mbak Manis Kemeja Kuning, bahkan siapa tau saja menjalin hubungan.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan tentang dia mungkin malah menjadi suatu godaan pada saat saya memiliki pacar, kini ketika saya sudah putus dan tidak terikat hubungan apa pun dengan seseorang dan bisa bebas mencari sosoknya di media sosial, datanglah godaan baru: Tasya—perempuan manis yang mengenakan sweter kuning di Warunk Upnormal.
“Yog, itu ternyata betulan si Tasya,” ujar Haw begitu dia kembali dari musala sehabis salat Magrib. “Tadi aku dengar temannya manggil dia kayak begitu.”
Saya masih tak percaya jika belum mendengarnya dari kuping sendiri. Mungkin saja Haw sedang berkelakar sekaligus ingin membuat saya senang bisa dipertemukan dengan orang yang saya kagumi prestasinya di media sosial belakangan ini. Sepuluh menit setelahnya, ketika saya dan Dian menuju musala, kami ternyata bertemu juga dengan seorang gadis—yang diduga mirip Tasya—bersama rombongannya di depan wastafel samping toilet. Mereka lagi asyik becermin dan bercakap-cakap.
Kami lalu mencopot sepatu di bangku yang tersedia di depan musala. Kala itulah saya tak sengaja menguping kawannya menyebut nama cewek itu dengan panggilan “Sya”. Saya refleks menoleh ke Dian, saya mendapati dia langsung menyengir. Sebuah isyarat kalau saya tidak salah mendengar nama itu. Baiklah, saya kali ini amat yakin bahwa gadis ini bukan lagi mirip dengan Tasya, tapi memang dialah orangnya. Maaf, Haw, saya sempat meragukan kalimatmu dan mengira cuma lagi bercanda.
Begitu kembali ke meja untuk bergabung lagi bersama kawan-kawan yang lain, mungkin wajah saya sesudah salat Magrib terlihat lebih semringah. Selain karena terbasuh air wudu dan tak sengaja melihat beberapa perempuan berwajah meneduhkan di musala (yang kerap disertai pujian: mukanya adem bener kayak ubin masjid), tentu saya merasa gembira bisa kebetulan bertemu langsung dengan Tasya. Saya pun mulai merenung, mungkinkah pertemuan ini semata-mata kebetulan atau memang ada yang mengatur?
Tapi, lagi-lagi saya memilih tak mau mengajaknya berkenalan. Urusan sama Mbak Manis Kemeja Kuning aja belum rampung, kok sudah belaga menargetkan perempuan baru yang seolah-olah merasa jodohnya. Hal ini pun mengingatkan diri saya pada saat remaja. Saya pernah memarkir motor sebelahan sama cewek yang cantiknya kebangetan serta penampilannya modis di mal Taman Anggrek. Ketika itu saya bisa-bisanya berpikir seraya berharap dialah jodoh saya. Betapa tololnya saya hari itu yang mungkin lagi kekurangan afeksi. Barangkali di luaran sana juga ada cowok-cowok yang berpikiran goblok semacam saya. Contohnya, kalau nomor absensinya di perkuliahan bisa atas dan bawah sama seorang gadis manis, bisa jadi mereka akan menganggap dialah jodohnya.
Maaf, saya malah melantur.
Lagi pula, saya dan Tasya baru dua kali bersua secara tidak sengaja. Apa sih yang spesial dari hal itu? Enggak ada, kan? Biasa saja. Kebetulan-kebetulan sejenis itu juga lazim terjadi di dunia nyata. Kalau kami sudah berjumpa sebanyak tiga kali, barulah saya percaya Tuhan telah merancang garis pertemuan itu. Lantas, saya akan berjanji sama diri sendiri bakal menyapanya atau mengajaknya berkenalan. Namun dari kejadian yang sudah-sudah, biasanya setelah janji itu terucap dalam hati, saya enggak akan ketemu lagi sama cewek itu. Jadi, mari lihat saja nantinya bakal bagaimana.
Berkat video maupun screenshot dari Dian tentang gadis berkemeja kuning yang mulai menumbuhkan sedikit harapan buat saya dan meyakinkan mbaknya benar-benar manis, sepulang dari kafe itu saya kembali mencoba menyusuri sosoknya di media sosial. Saran dari Haw pun saya terapkan buat mencari teman di sebelahnya yang berjilbab itu. Maka, pencarian Mbak Manis Kemeja Kuning secara serius pun dimulai.
Pencarian pertama, 9 September 2019
Saya menelusuri ulang tagar acara Blogger Day di Instagram beserta foto-foto yang menandai akun Sun Life Indonesia. Saya memfilternya dengan langsung memilih para perempuan berkerudung. Saya perhatikan secara cermat satu per satu foto tersebut. Sayangnya, tetap tak ada satu pun wajah yang mirip dengan cewek di sebelah gadis berkemeja kuning. Pada saat itu pula, Haw memberi tahu saya tentang foto mbaknya yang terpampang pada akun Sun Life di Twitter. “Yah, yang ini juga kelihatan belakangnya doang, Yog,” katanya.
Walaupun di foto itu belum terlihat juga wajah manisnya, seenggaknya pencarian ini sedikit-sedikit membuahkan hasil. Saya diam-diam meyakini sembari berdoa bahwa pencarian ini nantinya tidak akan sia-sia. Nanti pas betul-betul luang saya bakal mencarinya kembali.
Saya tak sanggup menahan godaan buat melihat-lihat foto Tasya di Instagram (saya mulai mengikuti akunnya sejak pulang dari kafe itu). Saya juga tumben banget sampai ikhlas menonton setiap cuplikan-cuplikan hidupnya di InstaStory yang terlalu sering memakai fitur Boomerang. Padahal sebelumnya saya nyaris enggak pernah menonton punya siapa pun, termasuk kawan-kawan sendiri.
Kenapa si Tasya lucu dan manis banget, sih? Gila, begini amat godaan hidup. Saya kan jadi sedikit lupa tentang Mbak Manis Kemeja Kuning itu. Terus, di kepala saya malah muncul sebuah gagasan: Lupakan mbak manis kemeja kuning, mending pilih si sweter kuning yang sosoknya ada di depan mata dan nyata. Mau bagaimana lagi, senyum manis Tasya yang memesona itu sungguhlah racun pikiran. Memang ya, kalau lagi enggak punya pacar kita bisa bebas mengagumi ataupun naksir siapa pun tanpa rasa bersalah.
Ah, tai, masa iya saya selemah itu? Meskipun ini juga sah-sah saja karena baru ketertarikan pada fisik yang baru sebatas kagum, tapi tolong jangan gampang menyerah dulu, Yog. Perasaan saya untuk mbaknya, biarpun kami cuma punya momen manis sebentar, tentu kenangannya sudah lama melekat di ingatan. Saya pun terbawa pada hari membahagiakan itu.
Mata kami bertabrakan kala saya dan perempuan berkemeja kuning itu berpapasan di dekat meja registrasi acara Blogger Day. Saya baru saja datang untuk mendaftar sebagai peserta, sedangkan dia kayaknya sudah datang terlebih dahulu dan berjalan menuju toilet. Selama memandanginya, mata saya seakan-akan tak bisa lepas dari parasnya yang manis itu, sampai-sampai tersenyum kikuk. Entah bagaimana, dia justru meresponsnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Ya Tuhan, saya mendapatkan hadiah berupa senyum dari ciptaan-Mu yang aduhai, sehingga langsung merasa suka pada pandangan dan senyuman pertama.
Bicara soal pertama, ini juga baru pencarian pertama, bukan? Artinya masih ada harapan. Saya pun kini kembali meneguhkan hati buat fokus sama mbaknya.
Kalau bisa kuulangi cerita, aku tak akan berada di tempat pertama kita berjumpa. Ku di sini dan mencari. Kau di sana menunggu untuk ditemukan. Untuk ditemukan.
Pencarian kedua, 12 September 2019
Berhubung saya tidak tahu namanya, patokan untuk mencari mbaknya tentu bakal keterlaluan sulit jika saya cuma mengandalkan fotonya saat dia mengenakan kemeja kuning, serta temannya yang berjilbab itu dengan baju kembang-kembangnya. Saya pun mencoba menganalisis, kalau dia bukanlah bloger ataupun buzzer dan hanya seorang mahasiswi biasa, kenapa dia rela datang ke acara itu? Hal yang paling masuk akal buat saya: dia ingin menikmati acaranya sebab pengisi acaranya menarik, yakni idberry alias Om Ded (pembuat konten video, khususnya mainan Lego), Arbain Rambey (fotografer), dan Endah n Rhesa (musisi yang tampil sebagai penutup acara).
Saya pun membuka akun Om Ded, lalu melihat foto-foto yang menandai dirinya. Dari puluhan foto itu, saya akhirnya menemukan satu perempuan berjilbab pada acara Blogger Day. Saya inisiatif mengecek foto-fotonya yang lain. Sialnya, tidak ada satu pun foto lainnya, apalagi yang berdua dengan mbaknya, pada acara itu. Sepertinya saya salah orang.
Saya lantas beralih ke akun Arbain Rambey. Jumlah orang yang menandai akunnya jelas berkali-kali lipat ketimbang Om Ded. Tapi atas nama rasa suka, saya rela meluangkan waktu buat menjelajahinya. Setelah jempol saya lumayan pegal efek kebanyakan menggulir layar, tibalah saya pada foto-foto acara tersebut. Kebanyakan fotonya bersama bloger yang sebagian saya kenali karena pernah bareng dalam suatu acara lain. Kemudian, saya pun menemukan satu foto gadis manis. Yang setelah saya perbesar, rupanya dia berwajah oriental. Jelas itu bukan mbaknya. Lagian bajunya dia kan merah, bukan kuning. Goblok banget ini si Yoga segala salah fokus dan di-zoom mentang-mentang cewek itu tampangnya lumayan ketika dilihat dari jauh.
Baiklah, dugaan terakhir saya, dia memang penggemar Endah n Rhesa. Tapi saya sudah tak sanggup lagi buat mencarinya hari ini. Saya akhirnya memilih rehat. Lebih baik melanjutkannya besok.
Pencarian ketiga, 13 September 2019
Mencari seseorang lewat foto yang menandai akun Arbain Rambey mungkin sudah amat melelahkan bagi saya. Namun, itu jelas belum ada apa-apanya dibandingkan dengan foto-foto di akun Endah n Rhesa yang jauh lebih gila. Instagram saya bahkan sampai macet alias berhenti bekerja dan langsung kembali ke menu utama ponsel, padahal penelusuran saya sudah sampai bulan Mei 2017. Tiga bulan lagi itu Februari, tahu! Tai banteng. Sontoloyo. Sobat gurun. Minyak jelantah. Berak siluman. Asli, saya jengkel bukan main.
Seandainya Instagram juga bisa melakukan pencarian lewat Twitter yang tinggal memasukkan kata kunci, pasti enggak akan sesusah ini. Sudahlah, saya capek buat scroll-scroll dari awal lagi. Kurang kerjaan banget. Mending baca buku yang jelas-jelas bermanfaat daripada melakukan hal bodoh begini.
Lucunya, sembilan jam berselang, saya kembali berusaha menemukan Mbak Manis Kemeja Kuning itu di foto-foto yang menandai Endah n Rhesa. Bagusnya, kali ini saya berhasil sampai ke bulan Februari 2017. Mungkin karena saya mencarinya via iPhone 4—yang mana belum ada fitur InstaStory, Boomerang, Live, dan sebagainya—sehingga terasa lebih enteng. Beberapa perempuan berhijab yang menandai Endah n Rhesa pada acara itu, memotret penampilan konser mereka dari pinggir sebelah kiri di bagian depan. Seingat saya, posisi duduk mbaknya itu di deretan belakang dan agak ke tengah. Jadilah saya menyimpulkan itu bukan teman mbaknya.
Hingga akhirnya, saya mulai menemukan satu foto konser yang dipotret dari tengah. Begitu saya klik pada nama akunnya, perempuan ini tampak manis. Saya membatin, mungkinkah ini mbaknya? Kalau dilihat dari foto profilnya, sih, bisa dibilang cewek ini lumayan mirip. Dia berambut lurus dan panjangnya sebahu lebih sedikit. Saya pun menggulir layar ke bawah. Pada sembilan foto pertama, jantung saya langsung berdebar tidak keruan selama memandangi foto-fotonya yang menampilkan pernikahan.
Anjing, masa iya dia udah menikah? Enggak mungkin, ah. Seingat saya tuh wajah dia pada 2017 masih kayak mahasiswi semester awal atau pertengahan. Setelah dua tahun berlalu sejak acara itu, kemungkinannya palingan sekarang-sekarang ini dia lagi menggarap skripsi atau baru lulus. Apa iya dia lulus kuliah langsung menikah? Please, akun ini bukan mbaknya. Ya Allah, semoga bukan dia. Memang saya akui diri ini kurang taat beribadah, tapi kali ini saja tolonglah kabulkan doa hamba-Mu yang sedang bersedih. Aamiin.
Pada foto-foto berikutnya, saya akhirnya langsung sadar bahwa dia jelas-jelas bukan mbaknya, sebab perempuan ini memiliki tahi lalat di wajah. Di memori saya, paras Mbak Manis Kemeja Kuning tidak ada nodanya sedikit pun. Mukanya betul-betul mulus.
Menengok jam di ponsel yang sudah menandakan hari telah berganti, saya pun menyudahi kegiatan melelahkan itu dan beranjak tidur. Pencarian panjang ini mungkin seakan-akan tidak membuahkan hasil. Tapi buat saya pribadi justru ada. Saya semakin yakin kalau mbaknya masih muda dan belum menikah. Seburuk-buruknya probabilitas, paling-paling dia baru sebatas punya pacar. Lagi pula, saya enggak berniat merebutnya seandainya dia sudah memiliki pacar. Saya hanya ingin memberi tahunya tentang cerita-cerita pencarian goblok ini jika bisa menemukan atau dipertemukan suatu hari nanti. Terlepas dari apa respons dia nantinya (mengira saya aneh, tidak mau mengenal saya lagi, lebih-lebih menuduh saya psikopat, mengumumkan pada khalayak ada orang sinting, atau apalah) saya pokoknya sudah siap dengan kemungkinan paling pahit itu.
Pencarian terakhir, 26 September 2019
Bosan dengan pencarian di Instagram yang belum juga ada perkembangan, saya memutuskan pindah ke Twitter. Saya lagi-lagi menelusuri tagar acara itu. Sudah pasti kali ini saya mencarinya dengan lebih teliti. Saya bahkan memperhatikan siapa saja orang-orang yang memencet tombol suka dan retwit di setiap twit dari akun Sun Life Indonesia. Saya pun menemukan seorang perempuan yang postur tubuh dan kurusnya sama sebagaimana mbaknya. Namanya Sandra. Jenis rambutnya juga mirip. Apakah Sandra adalah orangnya? Wajahnya juga oke, sih (enggak jelek). Tapi, saya ragu itu bukan mbaknya karena foto profilnya tampak kurang manis. Dia ternyata juga seorang buzzer saat saya simak dari beberapa twit terakhirnya.
Namun, daripada terus-menerus penasaran, saya akhirnya mengeklik pilihan media, lalu memperhatikan satu per satu fotonya. Saya enggak sreg melihat setiap gayanya saat berfoto. Saya masih ingat betul kalau Mbak Manis Kemeja Kuning tidak seekspresif dan lebay seperti orang ini dalam berfoto. Mbaknya sungguh kalem dan elegan sewaktu saya perhatikan sepanjang acara itu.
Saya pun terus mencoba meneruskan penelusurannya hingga Februari 2017. Muncul gambar saat dia memotret Endah n Rhesa dari bagian tengah. Saya lagi-lagi berharap Sandra bukanlah orang yang saya cari selama ini. Apakah ini berarti saya mulai kecewa seandainya Mbak Manis Kemeja Kuning ini tidak semanis di ingatan atau jauh dari gambaran saya? Syukurlah ketakutan itu terjawab dengan foto berikut.
Sandra pasti bukanlah orangnya. Buktinya, dia lagi memotret seseorang yang sedang bertanya kepada sang pembicara. Kebetulan sekali mbaknya masuk ke dalam foto itu. Ini tandanya Sandra cuma duduk di sebelah kanan mbaknya. Saya pun tiba-tiba jadi ingin bertanya sama dia, apakah kenal dengan gadis di sebelahnya? Tapi sesaat kemudian, saya mendadak malas dan sudah yakin sekali dia tidak mungkin kenal sama mbaknya. Teman mbaknya hanya perempuan berjilbab itu.
Masalahnya, sampai hari ini saya juga belum mampu menemukan mereka di media sosial. Apakah mereka berdua, mbaknya dan si jilbab, memproteksi semua akun medsosnya? Jika benar begitu, berarti harapan saya itu nihil untuk mencarinya di media sosial. Jadi, saya tak perlu mencarinya lagi sehabis ini. Bisa melihat wajahnya yang dari samping, entah mengapa sudah lebih dari cukup buat saya saat ini. Mungkin mukanya juga tampak biasa saja ketika tidak dilihat dari depan, yang penting saya masih percaya dialah Mbak Manis Kemeja Kuning yang sebulan terakhir ini sering hadir dalam mimpi. Saya pernah bermimpi bertemu dengannya. Dia juga memberi tahu namanya. Berhubung itu cuma bunga tidur, saya tidak memikirkannya lebih lanjut. Saya juga pasti bakal langsung lupa siapa namanya begitu terbangun. Berkat gambaran manis itu, saya kini juga sudah bahagia bisa berjumpa dengannya walaupun cuma di alam mimpi.
Sebetulnya masih ada satu cara lagi, yaitu menggunakan Twitter, please do your magic, dengan kata lain meminta bantuan sama netizen. Siapa tahu twit saya bisa sampai kepada orangnya. Bagusnya, saya bukan tipe manusia yang menghalalkan segala cara demi mencari seseorang. Saya malas merepotkan banyak orang. Saya tak ingin cerita ini tersebar ke khalayak. Biarlah kisah ini cukup diketahui oleh segelintir orang, terutama para teman bloger. Saya pun enggak peduli bakalan dihina, atau diledek, bahkan dianggap mengerikan oleh orang-orang di sekitar saya lantaran mengisahkan hal semacam ini.
Kalaupun kamu berpikiran saya orangnya obsesif, itu adalah hak kamu. Saya tak bisa melarangnya. Setiap orang bebas menilai. Syukurlah, saya sungguh mengerti bahwa diri ini enggak terobsesi sama mbaknya. Perasaan ini masih jenis suka yang wajar. Saya belum segila penggemar K-Pop yang fanatik itu, kok. Saya juga masih punya kesadaran buat menjalani hidup normal. Pencarian mbaknya ini tuh mungkin bagaikan suatu penyesalan telah menjatuhkan sebuah benda—yang bagi saya berharga, lalu berusaha memungutnya kembali. Itu saja. Jika kamu tidak suka dengan cerita ini, tak perlulah membacanya. Ya, sesimpel itu. Toh, saya sudah berjanji pada diri sendiri akan berhenti mencari, mulai mengandalkan doa, dan tawakal. Sekarang, setelah menuliskan segala cerita ini beserta teks-teks pendukung (berupa ocehan tolol, cerpen, dan puisi) yang telah saya jadwalkan selama bulan Oktober, saya akan memasrahkan diri.
Jika kita bertemu di sudut sesak itu, lihatlah di wajahku dan temukanlah wajahmu. Kutatap ke matamu dan ketemukan mataku. Dan kerumunan melindungimu, mengenakan wajah dan namamu. Kerumunan menjadi batu yang melesat dan menghancurkan.
Seumpama kami ditakdirkan bertemu kembali pada suatu hari, saya berupaya supaya tidak mengulang kesalahan yang sama, apalagi menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya mesti berkenalan dan mengobrol lebih banyak, mencari tahu beberapa hal tentang dirinya, mengisahkan cerita-cerita penelusuran saya. Sekalipun dia sudah punya pacar, seperti yang sempat saya tulis di atas, saya tak perlu menyesal pula. Bisa jadi justru nanti sayalah yang sudah menemukan kekasih baru. Setidaknya, tulisan ini akan menjadi sebuah bukti bahwa saya pernah menjadi pengagum rahasianya.
Mungkin kau tak akan pernah tahu, betapa mudahnya kau untuk dikagumi. Karena hanya dengan perasaan rinduku yang dalam padamu, ku pertahankan hidup.
--
Kalimat-kalimat yang ditulis dengan miring itu merupakan lirik lagu dari:
Pee Wee Gaskins – Sebuah Rahasia
Melancholic Bitch – Noktah pada Kerumunan
Sheila On Seven – Pemuja Rahasia
sumber gambar: https://pixabay.com/photos/yellow-wall-girl-woman-people-926728/
14 Comments
Apakah ini tanda-tanda dari akhir sebuah pencarian?
ReplyDeleteHmmm.. masih misteri.
Iya, setelah tulisan ini muncul, gue enggak akan mencarinya lagi di medsos. Tapi bakal ada tulisan lain tentang dia yang udah telanjur gue jadwalin.
DeleteMemang kisah hidup Gemini begitu membingungkan. *lalu kabur naik naga
ReplyDeleteGue juga bingung sendiri kenapa seaneh ini.
DeleteHmmm sebuah pencarian yang panjang ternyata ya. Susah banget emang nyari orang kalo gatau namanya. :(
ReplyDeleteIni aja udah termasuk gue ringkas, Wi. Ternyata emang sepanjang itu pencarian gue selama sebulan. Haha.
DeletePas kursor gue gak sengaja ada di fotonya dan kebaca tulisan "pencarian ini mulai cerah", gue langsung lupa mau komen apa.
ReplyDeleteSengaja fotonya gue namain begitu. Karena itu hasil terbaik. Jika ketemu gambar wajah jelasnya, mungkin akan gue kasih nama: kuning terlalu menyilaukan.
DeleteAku saluuut sih Yog :D. kamu bisa sangaaaaat konsisten dan tekuuun begitu untuk cari tau ttg tuh cewe. masih sempet2nya cek di IG siapalah itu :D. kamu gemini yaa? walopun aku gemini, tp aku ga sedetil dan seulet itu kalo cari tau yg bikin penasaran :D. Tapi hal begini ga heranlaaah kalo utk gemini :D. dia bisa sangaat obsesif kalo udh punya tujuan :D. segala cara dilakuin :D. good luck, semoga kamu beneran bisa ketemu dgn cewe itu :). jgn lupa tulis lg ceritanya di sini kalo suatu saat kalian beneran bisa ketemu :)
ReplyDeleteSaya sendiri masih bingung soal sifat Gemini, tapi yang saya tahu sejak dulu diri ini sering banget kalau udah fokus ke satu hal, susah banget ganti haluan. Kalau udah menetapkan tujuan A, ya penginnya ke A, sesulit apa pun jalannya. Bahaha.
DeleteTapi enggak menghalalkan segala cara juga kok, Mbak. Masih ada aturan-aturan tak tertulis dalam menjalani hidup sebisa mungkin jangan menyusahkan orang lain. Selama diri sendiri sanggup melakukan sendiri, ya usaha semampunya.
Aamiin.
Oh, itu jelas. Bakal jadi kisah baru seandainya berjumpa lagi.
Kenapa gampang banget si nentuin jodoh cuma dari parkir motor sebelahan :(
ReplyDeleteMaklum, zaman jahiliyah. Umur masih belasan tahun, belum kepala dua.
DeleteBuset ini mah antara konsisten dan gak ada capeknya, bahkan bisa sampe berkali-kali dijadikan bahan tulisan. Aku menunggu... sampe Yoga lelah mencari, atau... akhirnya menemukan.
ReplyDeleteGatau tapinya, kapan~ hahahaha.
Dari September udah diniatkan buat menulis tentang dia selama Oktober. Makanya cukup banyak idenya. Haha.
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.