“Kamu kena gangguan psikosomatik?”
Pesan via WhatsApp itu datang dari Firda Susanti setelah saya curhat tentang gejala-gejala yang tengah saya alami. Peristiwa itu terjadi sekitar dua minggu lalu, sewaktu saya merasa cemas yang amat berlebihan. Hampir setiap hari saya pasti bangun tidur dengan kepala berat, kondisi kaos lepek lantaran keringat dingin, sekujur tubuh pegal-pegal, dan sering bermimpi buruk. Saya juga sulit berkonsentrasi saat membaca buku ataupun menulis cerita.
Saya masih belum bisa menjawab pesan Firda, sebab pertanyaan dia tiba-tiba bikin saya merasa deja vu. Sekitar empat tahun silam, saya juga pernah mendapatkan pertanyaan tersebut dari teman yang berkuliah di Jurusan Kedokteran. Saya menerima pertanyaan yang begitu mirip selepas mengobrol bersama Dara Agusti mengenai penyakit yang terasa janggal di tubuh. Kala itu, kepala bagian belakang hingga leher saya suka terasa berat dan sakit, lalu terkadang sampai mual, padahal kondisi tubuh saya sepertinya baik-baik saja.
Saat Dara tahu bahwa saya lagi banyak masalah dan justru memendamnya sendirian, dia bilang itulah yang memicu kesehatan mental saya terganggu. Kepala saya katanya terlalu tegang karena menumpuk banyak beban pikiran. Dia lalu menjelaskan kalau fisik saya mungkin baik-baik saja atau cuma sakit ringan, tapi karena psikisnya bermasalah, saya seolah-olah merasakan tubuh lagi sakit parah.
“Tapi kalau mau lebih pasti, coba langsung periksa ke dokter, Yog,” ujarnya.
Saya akhirnya mengunjungi klinik di dekat rumah dan hasilnya sama percis dengan yang Dara bilang. Tubuh saya sesungguhnya sehat. Sayangnya, pikiran dan mental saya yang sakit ini menimbulkan gejala psikosomatik. Jika tak salah ingat, itulah pertama kalinya saya mengetahui tentang gejala psikosomatik yang bisa membuat tubuh sehat jadi tampak sakit, bahkan memperparah penyakit yang mulanya cuma ringan.
Ketika itu, saya memang lagi stres, terpuruk, dan depresi karena terpicu oleh persoalan-persoalan hidup yang bagi saya teramat krusial. Saya putus asa dan kehilangan harapan sampai-sampai menarik diri dari lingkungan. Sekitar dua bulan lebih saya hanya mengurung diri di kamar, meratapi dan menyesali pilihan hidup, serta berharap bisa mengulang waktu ke momen sebelum segalanya menjadi pelik.
Kondisi empat tahun lalu itu rupanya agak serupa dengan apa yang terjadi belakangan ini. Saya sudah terlalu lama tak keluar rumah dan lebih sering mengurung diri di kamar sejak pemerintah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) supaya mencegah penyebaran virus Corona. Meskipun saya hanya berdiam diri di rumah, lalu sekalinya keluar rumah dalam keadaan mendesak selalu mengenakan masker, dan setelahnya langsung mencuci tangan dengan sabun, tetap saja saya masih kesulitan mengurangi rasa cemas di dalam diri.
Setiap kali membaca maupun mendengar berita tentang jumlah pasien Corona yang bertambah—khususnya di Jakarta, saya otomatis merasa takut. Belum lagi ditambah kekhawatiran akan kondisi keuangan yang kian memprihatinkan. Intinya, saya stres akibat kelamaan di rumah dan kurang hiburan. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan saya jadi sering bermimpi buruk akhir-akhir ini.
“Jadi kalau habis dari luar rumah terus mendadak batuk atau tenggorokan rasanya enggak enak tuh termasuk psikosomatik, ya? Itu akibat dari rasa cemas yang berlebihan? Soalnya tubuh saya juga langsung normal lagi, sih. Tapi ini betulan wajar kan, Fir? Saya masalahnya juga susah produktif nih.”
“Aku rasa hal itu wajar dalam kondisi pandemi begini, Yog. Siapa sih yang enggak cemas ketika kehidupannya berubah drastis? Soal produktif, menurutku pelan-pelan aja, jangan memaksakan diri. Aku awal-awal juga pernah kayak begitu, kok. Mimpinya sering aneh-aneh. Mungkin enggak separah kamu yang sampai kaosnya lepek karena keringat dingin. Alhamdulillah sih keadaanku sekarang juga membaik.”
Belum sempat saya menanggapinya, dia sudah membalas lagi, “Yang terpenting sih jangan kebanyakan mikirin yang aneh-aneh, supaya kesehatan mental kamu tetap terjaga.”
“Lima hari lalu pikiran saya justru pernah liar banget, Fir. Gara-gara diare (ini kayaknya kebanyakan makan sambal kacang), terus malah jadi melebar ke mana-mana. Mulai dari berasumsi kalau saya keracunan makanan, tifus, sampai ada teman yang bilang itu salah satu gejala Corona.” Di akhir kalimat, saya menambahkan emoji tertawa yang keluar air mata sebanyak tiga buah.
“Eh, seriusan? Terus kamu sempat ke dokter? Sekarang udah sembuh, kan?”
Dalam situasi pandemi begini jelas bikin saya takut untuk datang ke rumah sakit ataupun klinik. Mengingat kondisi tubuh saya yang lagi lemah, seandainya nekat datang bisa-bisa malah terpapar virus lainnya. Maka, saya memilih untuk memperbanyak minum air putih agar terhindar dari dehidrasi, dan memperbanyak istirahat di rumah demi mencari aman. Syukurlah sekarang juga sudah pulih, kecuali perasaan ganjil setiap bangun tidur.
Mendengar cerita saya barusan, Firda lantas memberi tahu saya tentang Halodoc. Salah satu layanan kesehatan online yang dapat diakses melalui aplikasi maupun web. Mereka menyediakan berbagai artikel mengenai kesehatan dan penyakit. Selain itu, mereka juga menjual aneka obat dan vitamin, terdapat fitur untuk mencari rumah sakit yang ingin dikunjungi dan membuat janji dengan dokter, serta dapat berkonsultasi dengan dokternya (baik itu dokter umum maupun spesialis) hanya lewat chat.
“Berhubung kondisinya lagi pandemi begini, menurutku pelayanan di Halodoc membantu banget, sih,” kata Firda. “Kemarinan aku juga habis tanya-tanya soal keluhanku di sana tuh. Dokternya bilang, mungkin aku kena gejala psikosomatik. Karena aku kan sempat kurang tidur, kecapekan, dan stres. Beliau akhirnya kasih aku beberapa saran seputar kesehatan, dan menyuruh aku konsumsi salah satu vitamin gitu buat membantu pemulihan.”
Saya lalu mengucapkan terima kasih atas informasi itu.
Sebagaimana yang sudah saya ketahui tapi kadang-kadang suka terlupa, Firda menjelaskan ulang tentang kebanyakan penyakit yang bermula dari pikiran. Jika pikiran kita buruk, otomatis kondisi tubuh bakal ikutan memburuk. Kata Firda, belakangan ini dia sebisa mungkin menghindari berita tentang virus, lalu membisukan kata-kata yang terkait dengan wabah di media sosialnya. Dengan begitu, pikirannya mulai jernih kembali. Kalau untuk menyiasati rasa jenuhnya saat berdiam diri di rumah, dia menghibur diri dengan menggambar, menonton film, dan main gim.
“Kayaknya saya perlu menulis jurnal lagi nih biar energi negatifnya pada kebuang. Atau minimal curhat sama orang deh. Hitung-hitung latihan menulis biar bisa lancar lagi cerita di blog.”
“Nah, bisa juga tuh. Cara orang kan beda-beda, jadi sesuaikan aja sama diri kamu.”
Dia menutup pembicaraan itu dengan mendoakan saya, “Pokoknya sehat-sehat terus ya, Yog.” Saya mengamininya dan gantian mendoakannya dalam hati.
Hari ini, saya sudah jauh lebih baik ketimbang dua minggu lalu. Berkat mengobrol sama Firda dan beberapa kawan, kecemasan di dalam diri saya semakin berkurang. Saya tak pernah lagi bermimpi buruk, apalagi terbangun dengan kaos basah yang dipenuhi keringat dingin. Saya juga mulai kembali menulis jurnal di buku catatan. Siapa sangka, kegiatan menulis dan curhat ini masih sangat ampuh sebagai terapi saya dalam menyembuhkan psikis yang lagi kacau. Mudah-mudahan sih saya bisa terus mempertahankan kondisi baik ini. Akhir kata, semoga teman-teman sekalian juga sehat sentosa dan bisa merawat kesehatan mentalnya agar tetap baik-baik aja.
--
Gambar saya ambil dari Pixabay dan Halodoc.
16 Comments
Cepat sembuh ya, Yog. Aamiin.
ReplyDeleteYang penting tetap berfikiran positif aja.
Sudah sembuh, kok. Tapi tetap saya aminkan biar semakin bagus kondisi mentalnya. Aamiin. Makasih ya, Nurul. Semoga kamu juga baik-baik aja.
DeleteMemang pandemi ini bikin kita jadi parno, sakit dikit pikirannya udah negatif aja, saya aja yang cuman cegukan dicurigai sama kakak saya kalo itu gejala baru Corona. "Jangan2 itu corona, kan bisa aja gejalanya beda2 sesuai kekebalan tubuh" pada akhirnya dia sibuk menyuruh saya meminum minuman serbuk jahe, air rebusan jahe sama sereh, sampai mau bikin jus apel malah harus ditambah serbuk jahe lagi. Saya sungguh muak. Gak boleh lagi minum yang dingin2 2 bulan gak dikasih minum es. Semua orang jadi parno, padahal ya itu juga gak baik.
ReplyDeleteNgomongin kesehatan mental, coba deh gak bukak sosmed dulu, mungkin aja salah satu penyebab stress dan keparnoan itu karena ke trigger sama berita2 yg ada dimedia. Jujur semenjak virus SARS-Cov-2 ini melanda saya sudah tidak main sosmed lagi, karena gak menikmati lagi , dan itu membantu sih.
Trus selama tagar #dirumahaja digalakkan banyak banget yg bahas2 produktifitas, mereka bilang kita tetap bisa produktif walau dirumah aja, memang itu tidak salah sih, tapi kebanyakan dari kita mengira produktifitas itu artinya melakukan banyak pekerjaan dalam sehari, mengurangi waktu rebahan, pokoknya gimana caranya biar sibuk terus itu adalah produktifitas. Saya ada baca sebuah artikel tentang "hustle culture" dimana lifestyle ini mendorong seseorang untuk tetap terus produktif, katanya mindset ttg harus terus produktif itu juga mempengaruhi kesehatan mental mulai dari gangguan tidur, anxiety bahkan depresi.
Okedeh segitu aja, tetap sehat terus yaa.
Eh, sampai segitunya? Kakakmu kelewat panik juga ya. Tapi mau bagaimana lagi, memang sulit mengontrol pikiran dari hal-hal negatif pas pandemi begini. Ibu saya juga sempat menyuruh rutin minum temulawak tuh waktu beritanya awal-awal muncul.
DeleteSekarang saya juga udah jarang buka media sosial. Lumayan membaik ini pikiran.
Hahaha. Iya, memaksakan diri buat produktif justru jam tidur atau waktu rebahannya terganggu. Yang ada semakin stres. Mending sewajarnya aja dan jaga kesehatan.
Makasih, begitu juga buat kamu ya. Aamiin.
Beruntung punya supporting system Firda sama Dara. Karena lulusan keperawatan, saya juga sering ditanyai temen kalau ada penyakit (biasanya nanya soal nama penyakit dan kudu pake obat apaan), dan emang kebanyakan asalnya gara2 dari pikiran, meski mereka awalnya pada ngeyel, ga percaya stres bisa bikin sakit fisik.
ReplyDeleteYang jadi masalah, saya juga tipe tukang pendem perasaan. Meski punya temen2 yg suportif juga, tapi susah banget buat ngeberanian diri minimal buat curhat. Bisa nolongin orang tapi sendirinya sakit.
Semangat buat sama2 menjaga kewarasan di masa pandemi ini.
Alhamdulillah ada yang bersedia saya curhatin, dan dia menjawab pertanyaan seputar kesehatan dengan baik.
DeleteDulu kayaknya saya juga mirip temanmu, Rif. Suka ngeyel. Syukurlah sekarang udah sadar betapa pentingnya mengontrol pikiran biar enggak stres.
Repot ya, padahal sang pendengar kan butuh didengarkan juga. Kalau memang susah buat curhat, semoga dengan menulis bisa jadi alternatif. Risikonya, curhatan itu jadi banyak diketahui orang. Tapi yang penting mah bisa lega. Haha.
Yoi, semangat juga dan tetap sehat.
Stay safe, Yog!
ReplyDeleteKayakny memang banyak org yg terkena psikosomatik akhir2 ini Yog. Aku sendiri jd gampang panik kok. Sakit flu dikit lgs kepikiran, batuk dikit apalagi. Kemarin bdnku sempet agak meriang itu udh hampir mau batalin puasa supaya bisa minum obat. Untungnya ga jd.
ReplyDeleteWajar sih memng yaaa. Apalagi wabah ini ceept banget sampe bikin sesak napas nya. Siaap yg ga serem :(...
Cm aku jd belajar dari situ utk slalu mikir positif. Skr tiap malam ga pernah lupa vitamin, ga prnh lupa minum minimal 2 liter. Krn vitamin2 ini pasti bikin kerja ginjal jd berat. Makany air 2 liter udh wajib banget.
Bagus tuh kalo kamu bisa ngalihin lwt tulisan. Kdg2 saking stressnya aku juga kok larinya ke blog. Setidaknya nyiapin 1 draft untuk bekal postingan. Berasa bgt pikiran jd agak ringan kalo udh nulis.
Apalagi orang sekitar yang dengar suara batuknya, Mbak. Ikutan panik pastinya.
DeleteBetul, air putih sungguhlah cara sehat paling mudah dan murah.
Setiap berhasil kelar satu tulisan, hati jadi plong, kepala lebih enteng.
Sempat dua bulanan lalu ngerasain flu dan pegel-pegel. Ngga parah, kayak yang udah-udah aja. Tapi karena tuan Corona ini, apa-apa jadi dikaitkan dengan beliau. Mikirnya; wah ini kayanya corona sih, cuma karena (alhamdulillah) kita kuat, ga jadi parah.
ReplyDeleteSaking apanya mikir kaya gitu. Mana gak keliatan kasat mata lagi. Beberapa waktu lalu malah
sempat ga peduli lagi dengan corona. Benar, capek hidup seperti ini. Tidak bebas, terkekang. Kemudian ingat pola gelombang flu Spanyol. Mau gak mau ngalah akhirnya.
Semoga psikomatik itu tidak muncul lagi, supaya jadi lebih bisa menikmati hidup, hidup bahagia :) Eid mubarak!
Alhamdulillah bisa kuat, Zah. Semoga semakin kuat dalam bertahan pada situasi pandemi begini.
DeleteYoo, selamat Lebaran~
Bintang kamu : Gemini, 27 Mei 2020
ReplyDeleteHindari makan makanan sembarangan. Kesehatan tetap jadi prioritas yang utama.
Keuangan: pemasukan hari ini cukup bagus, tinggal bagaimana kamu mengaturnya saja.
Asmara: cukup mesra dan harmonis, walaupun di minggu-minggu lalu kalian terlibat pertengkaran yang sengit
Kata bijak untuk inspirasi kamu:
Turn your face to the sun and the shadows fall behind you.
tuh, yog, ramalan ala ggemintang untuk hari ini. moga terus, sehat. jangan paksakan meninggalkan asupan senyum penghilang gundah~
Ini yang asmara pertengkaran apaan dah? Bertengkar sama perempuan dalam suatu mimpi sih pernah emang minggu lalu. Di realitas mah boro-boro. Gebetan aja masih belum berniat mencarinya. Hahaha.
DeleteKalau yang kamu maksud senyum penghilang gundahnya si gadis yang baru berusia 17 tahun itu, saya mah tinggal cari pengganti kan. Ada banyak perempuan manis yang bisa digemari. Lagian, senyuman mbaknya masih terkenang jelas biarpun wajahnya sudah buram.
Kelamaan di rumah aja emang bikin kesehatan mental terganggu, ya. Apalagi belum terbiasa.
ReplyDeleteBtw, pas tanya-tanya gejala sakit itu ternyata keracunan makanan ya, Yog? Tapi alhamdulillah kalo udah sembuh.
Jangan sampai stres pokoknya, Yan. Dilepaskan aja itu energi negatifnya. Kalau lagi banyak pikiran dan mumet, coba cerita-cerita aja sama gue dan Haw.
DeleteIya, Yan. Bukan tifus. Wqwq. Alhamdulillah.
Saya juga sering mimpi buruk sampai ketindihan, ngingau, kalau otak lagi stress dan banyak masalah, sampai takut mau tidur lagi. Jadi kalau lagi merasa nggak nyaman banget, saya juga suka nulis di buku, ngeluarin uneg-uneg yang dipendam dan rasanya bikin plong juga ternyata. Dengerin musik atau pergi ke alam buat cari angin sambil denger suara sungai juga bikin tenang, karena rumah saya di kampung jadi dulu kalau pulang kerja ada masalah saya berhenti dulu di pinggir sawah. Ngademin pikiran😁
ReplyDelete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.