Tak perlu dimungkiri bahwa saya pernah takut mati. Saya takut mati sebagai manusia gagal. Karena kematian datang tanpa memandang usia manusia, dan saya merasa belum dalam keadaan bisa sedikit bermanfaat buat orang-orang yang saya sayangi.
Tadi pagi pada pukul 6, saya mendapat pemberitahuan tentang masuknya masa tenggang pada nomor ponsel lama saya—yang sudah jarang dipakai selain buat SMS maupun telepon, mendengarkan musik, serta menyetel alarm, sebab gadget iPhone 4 memang tidak lagi mendukung berbagai aplikasi, khususnya WhatsApp. Demi mempertahankan nomor yang sudah menemani saya sejak SMK, saya pun memutuskan beli pulsa. Saya memilih pembeliannya lewat m-banking karena berpikir konter-konter dekat rumah sepertinya belum pada buka. Kala itulah saya tertampar sama kondisi saldo yang memprihatinkan karena pemasukan terakhir sudah lewat dua bulan silam, sedangkan setelahnya malah banyak pengeluaran tak terduga.
Sewaktu di ambang krisis begini, saya tiba-tiba kepikiran hal ini: Kenapa pada masanya saya pernah langsung menghabiskan duit 500 ribu dalam tiga hari cuma buat voucer gim lantaran barang-barang di permainan itu lagi diskon 20%? Itu jelas hanya angka yang kecil buat potongan harga, tetapi mengapa tindakan spontan saya itu sampai segitunya? Belum lagi mengingat total biaya selama memainkannya yang kira-kira setahun (untuk bayar internet per bulan dan pembelian voucer), pastilah sudah habis jutaan.
Tololnya, saya sekarang enggak pernah memainkan gim itu lagi.
Sebagai mantan anak Ekonomi yang enggak mau rugi dan kepepet butuh duit, otomatis saya bertanya-tanya, itu karakter jika dijual bakalan laku berapa, ya? Namun, saya pun segera teringat dengan kondisi teman-teman yang sudah pensiun sejak 2 tahun silam, serta saat itu berkata bahwa harga jualnya tak sampai sejuta. Ketimbang menjualnya, saya mending membiarkan karakter itu jadi kenangan yang tak ternilai.
Lagi pula, suatu hari saya mungkin bisa memainkannya lagi buat bernostalgia sekiranya betul-betul luang. Kalaupun saya sungguh berhenti memainkan gim itu, toh tidak akan rugi karena pada masanya gim itu juga telah menolong diri saya, terutama dalam menyembuhkan depresi saya.
Dengan saling gantian bercerita kepada orang asing mengenai permasalahan hidup lewat kolom percakapan di gim, siapa sangka justru menjadi pelarian ampuh bagi diri saya. Ternyata memang ada beberapa orang yang di kehidupan nyatanya gagal dalam banyak hal, lalu mencoba menyenangkan diri sendiri di dunia maya. Mereka menyembunyikan kegagalannya dengan keberhasilan di dunia permainan konyol ini.
Salah satu kenalan saya, Vino, sempat bercerita kalau dia pernah putus kuliah saat sudah semester belasan karena bapaknya tak mampu lagi membiayai kuliahnya. Uang bapaknya habis buat biaya pengobatan ginjal dan cuci darah ibunya—yang dua minggu kemudian justru meninggal, padahal sudah keluar uang banyak dan seakan-akan terasa percuma.
“Andai waktu itu udah ada BPJS,” kata Vino. “Mungkin keadaannya bakal beda.”
Bangkit dari keterpurukan dan kegagalannya, dia bekerja serabutan sambil berbisnis online shop menjual pakaian-pakaian khas anak muda, yang sialnya hanya bertahan empat bulan. Kemalangannya pun tidak berhenti sampai di situ. Dia masih sempat ditipu kawannya sendiri senilai 10 juta, lalu saldo rekeningnya betul-betul terkuras habis demi membayar utang bapaknya yang tidak dia ketahui sebelumnya.
Vino terkejut akan fakta bahwa dia tadinya termasuk golongan orang berada, kok dalam sekejap menjadi kere begini. Dia pun tak bisa mempertahankan gengsinya lagi dan terpaksa bekerja menjadi OB alias pesuruh demi memenuhi kebutuhan hidupnya, sampai-sampai dipandang rendah oleh teman-teman di sekitarnya. Tapi, dia tak peduli lagi. Masa bodoh dengan perkataan orang lain yang berkata seenak udel dan cuma doyan mencibir. Dia hanya ingin terus bertahan hidup sembari mencari kebahagiaan-kebahagiaan sederhana. Maka, pada waktu luang itulah dia iseng bermain berbagai gim sehingga bisa berjumpa dengan saya di salah satu permainan virtual tersebut.
“Ternyata jual barang langka di gim bisa jadi cuan, ya,” ujarnya. “Main gim selain menghilangkan stres bisa jadi sampingan juga.”
Saya tak tahu kisah Vino itu cuma bacot kosong agar saya merasa iba atau benar adanya. Tapi satu hal yang dapat saya pahami: saya merasa tidak sendirian lagi.
Wajar bagi seseorang untuk menyangkal kegagalannya sebagai manusia. Makanya dia mencari seseorang yang lebih menyedihkan ketimbang dirinya. Itulah kenapa ada begitu banyak permusuhan di internet. Mereka yang enggak bisa menemukan orang lain yang lebih menderita, lantas beralih ke internet dan menyebut orang itu sebagai pecundang, sekalipun mereka belum pernah berjumpa. Itu semata-mata untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. Bukankah itu menyedihkan?
Saya tak bermaksud memandang Vino sebagai orang yang lebih gagal daripada saya. Lagi pula, di permainan virtual itu karakter Vino jauh lebih keren. Perbedaannya kentara jelas. Jika diibaratkan, saya beraroma minyak wangi sepuluh ribuan yang belinya di pasar malam, sedangkan dia parfum Hermes 24 Fauborg yang asli. Saya hanya berpikir kehadiran internet yang semakin lama terasa buruk itu masih tetap bisa menjadi eskapisme tanpa harus memandang rendah ataupun merugikan orang lain.
Selain menyembuhkan depresi, terbukti pada suatu waktu gim itu juga sangat mujarab untuk mengobati patah hati saya ketika awal-awal putus sama pacar. Jadi, saya bisa terhindar dari rasa nelangsa dan kesepian, terbebas dari berbagai asumsi kenapa hubungan kami gagal (apakah benar dia diam-diam menemukan kasih sayang pada diri orang lain?), lebih-lebih tak usah repot-repot mengutuk mantan pacar. Setelah hubungan itu berakhir, saya kudu berhenti menyakiti diri sendiri buat mencari tahu kabar tentangnya. Andaikan benar dia telah jatuh hati kepada orang lain, ya sudah. Semoga mereka bahagia. Enggak usah membuang-buang energi memikirkan hubungan yang telah kandas.
Biarpun main gim tampak tolol dan remeh, efeknya dalam menawarkan kegembiraan, apalagi dapat menyelamatkan hidup saya dari pikiran-pikiran jahat, sungguh benar adanya. Saya sebetulnya sih belum terlalu paham mengapa sebuah gim bisa menyelamatkan jiwa yang lagi berputus asa, yang memandang hari esok tak ada kebaikan lagi, dan cuma berpikir pengin mampus aja. Sampai-sampai orang itu kelewat depresif dengan menamakan karakternya: TakutMati.
Tak perlu dimungkiri bahwa saya pernah takut mati. Saya takut mati sebagai manusia gagal. Karena kematian datang tanpa memandang usia manusia, dan saya merasa belum dalam keadaan bisa sedikit bermanfaat buat orang-orang yang saya sayangi. Jika saat bocah saya pernah berpikir kalau manusia bakalan menutup usianya ketika sudah bangkotan dan renta, pemikiran itu segera terpatahkan kala saya berusia 18 tahun dan dikejutkan oleh kematian Aulia Barbara, adik bungsu saya, yang meninggal dalam kandungan. Baru diberikan kehidupan selama sembilan bulan di dalam rahim, dia bahkan langsung dipanggil lagi sama Tuhan sebelum sempat melihat bentuk dunia dan paras ibunya.
Kasus lainnya, kurang lebih setahun kemudian, Ajeng—kawan sekolah saya—ikutan menyusul kepergian adik saya. Dia tewas dihantam metromini yang supirnya ugal-ugalan. Cara pandang saya terhadap kematian pun kian bergeser.
Omong-omong soal mati, memori pada tahun 2016, percisnya di mana saya pernah merasa takut mati lantaran ditelan oleh depresi yang terkutuk, tak tahu kenapa masih terus mendekam di kepala ini sedalam apa pun saya menguburnya. Ketika saya mulai putus asa memandang dunia dan menghadapi kenyataan ini, pikiran-pikiran buat bunuh diri jelas mendatangi saya pada masa kelam itu. Bagusnya, ketakutan akan tercekiknya leher, pedih dan perihnya sayatan pisau di urat nadi, getirnya racun, pertanggungjawaban akan dosa-dosa, dan seterusnya, dan sebagainya, bisa mencegah saya untuk melakukannya. Meski begitu, sepertinya ada sedikit perasaan distimia yang masih tertinggal di dalam diri saya, sebab kadang-kadang saya sempat berharap bisa tertidur pulas, lalu tak usah bangun-bangun lagi.
Terlepas dari semua luapan kesedihan yang tertulis barusan, saya akhirnya senang karena bisa sembuh dan kembali menjalani rutinitas seperti biasanya berkat pertolongan seorang profesional dan salah satu orang terdekat. Saya sungguh berterima kasih kepada mereka. Selain bantuan dari mereka, saya tentu mesti mengucapkan terima kasih pula pada gim yang berkesan di hati saya ini. Gim yang mulanya saya mainkan saat kelas 1 SMP dan servernya masih Indonesia, lantas beberapa tahun berikutnya muncul yang server internasional.
Saya sampai hari ini terus berusaha untuk memahami kenapa suatu permainan dapat menyelamatkan pemainnya. Mungkinkah karena gim itu berjenis Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG), sehingga saya bisa memilih mau menjadi karakter yang seperti apa? Ada lima jenis profesi di permainan itu, yakni Pendekar Pedang, Ninja, Penyihir, Gladiator, dan Pemburu. Jalan hidup karakternya dapat kita tentukan sendiri. Kita bisa memilih sendiri status (STR, DEX, VIT, INT) yang ingin ditingkatkan, serta jurus apa yang mau ditambah dan dipergunakan.
Barangkali saat menjalankan misi-misi di gim itu saya juga bagaikan sedang menyelesaikan masalah-masalah hidup. Jadi, pikiran saya yang sempat keblinger dan memandang hidup dengan mata maupun hati gelap otomatis tercerahkan begitu saja. Simpelnya begini: meskipun misi yang saya hadapi dalam permainan itu sulit sekali, tapi saya pasti bisa mencari jalan keluar dan saya tak punya pilihan lain selain menuntaskannya demi memperoleh misi-misi baru. Contohnya, saya harus membunuh 500 monster beracun. Semburan racun dari monster itu sangatlah kuat dan berbahaya, maka sebelum bertempur saya mesti menyiapkan baju yang memiliki pertahanan luar biasa, senjata dengan serangan mematikan, mengombinasikan jurus-jurus maut, dan tentunya pintar-pintar menghindar dari serangan monster maupun rutin mengisi darah agar tidak lekas mati.
Sebagaimana masalah hidup yang ketika itu kudu saya hadapi dan bebannya terasa sangat berat seolah-olah memikul neraka di pundak, lalu bikin saya tiba-tiba yakin kalau problem hidup juga bisa dijalani kayak sedang bermain gim karena menyerah bukanlah jawabannya, saya pun mampu bangkit dari perasaan terkutuk sekaligus ganjil bernama depresi itu.
Di dalam suatu permainan, semakin tinggi level karakternya, maka monster-monster yang dihadapi pun kian berat, serta mengumpulkan EXP juga butuh usaha keras dan waktu yang teramat lama. Itu berarti dalam kehidupan nyata supaya bisa terus naik level juga tak mudah dan memerlukan proses.
Kalau sebelum-sebelumnya saya mampu mengatasi berbagai persoalan hidup hingga bertahan sejauh ini, lantas saat masalah krisis identitas, finansial, atau apa pun itu kembali menghampiri saya pada hari ini (begitu pun pada hari yang akan datang), tentu saya cuma perlu bertahan sembari mencari solusinya lagi, kan? Jadi, ya, santai aja seperti lagu Koil - Nyanyikan Lagu Perang: Pasti ada cara untuk mencari uang, pasti ada cara untuk bersenang-senang.
Jika dipikir-pikir ulang, saya telat menyadari bahwa nama permainan yang saya mainkan dulu itu begitu diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi: Penyelamat Jiwa. Mungkinkah sejumlah uang yang pernah saya habiskan dalam gim itu secara tak langsung sebagai pembayaran untuk kesehatan dan keselamatan jiwa saya? Barangkali permainan itu memang telah memberikan efek plasebo buat saya agar terus bertahan selayaknya pesan Hamlet kepada Horatio: Untuk menunda kematian yang menawarkan kelegaan, dan teruslah hidup di dunia yang bajingan ini supaya dapat mengisahkan pelbagai cerita.
Dengan tetap menulis, siapa tahu kisah-kisah nestapa yang kerap saya anggap sampah ini bisa berguna bagi diri sendiri (syukur-syukur juga buat orang lain) pada suatu hari nanti. Alangkah eloknya lagi kalau cerita sedih itu bisa berubah menjadi kegembiraan. Semoga saja cara saya menulis ke depannya, entah kapan, tidak lagi menerbitkan kesedihan melainkan menjadi pengundang tawa.
--
Kumpulan jurnal pada bulan Maret, Mei, dan Juli yang diolah menjadi satu tulisan ampas yang boleh kamu anggap sebagai cerita fiksi.
12 Comments
Selamat kembali!
ReplyDeleteNggak mau berkata-berkata karena semuanya akan terdengar bullshit.
Terimakasih sudah berjuang😇😇
Terima kasih juga sudah menahan diri untuk tidak berkata-kata.
DeleteSemoga para teman bloger yang berkunjung ke sini pada sehat dan baik-baik aja.
smpai sekarang gue masih menganggap sebuah gim sebagai pelarian aja sih. yang setelah usai, malah bikin kefikiran lagi hal-hal yang selama ini dikhawatirkan.
ReplyDeletetapi, yaudah lah ya.
gue udah masuk tahap, yaudah lah. bodo amat.
kadang saat gue udah mulai memikirkan hal yang aneh, gue sering melihat orang-orang yang ada di bawah gue. emang enggak bener juga sih. tapi, kalo untuk memberikan sedikit rasa bahagia di hati sendiri, kayaknya enggak apa-apa juga. tetap mencari pembenaran.
dan sosial media emang toxic.
harus pinter milah-milih yang dikonsumsi.
yuk bisa yuk
Dengan pelarian itu, seenggaknya bisa menyelamatkan gue ketika kondisi lagi darurat. Sebuah gim bisa jadi pengecoh pikiran-pikiran jahanam. Mengurangi kecemasan berlebih.
Deletetos dulu yoook! semangaaatttsssss, terima kasih sudah berbagi lewat tulisan ini Mas Yoga, pun terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Bisa dibilang beruntung memiliki rasa takut mati jadi nggak berani melakukan self harm ya mas, meskipun pasti rasa demikian cukup mengganggu. Akupun kalau lagi butuh jeda suka berpikir dan berharap bisa tidur pulas selamanya. ahaha
ReplyDeletetp abis fase itu auto semangat membara, yuk semangat yuk
Tos untuk apa? Sama-sama telah bertahan sejauh ini dari kenyataan yang terasa getir? Ahaha. Baiklah, terima kasih untuk semangatnya, Mbak Ella.
DeleteAkhirnya ada tulisan baru lagi.
ReplyDeleteG ada yang bullshit, because this is a thing that helps you. Kalau game bisa membantu kenapa g? Semua orang punya caranya masing-masing untuk bertahan hidup. Terima kasih banyak karena sudah berusaha sampai di tahap ini!
Cheers!!
Ingin kembali menulis biar bisa mengelabui kesepian, kecemasan, ketakutan, dan kematian. Iya, pada dasarnya selalu ada cara masing-masing buat bertahan. Selama itu enggak merugikan orang lain.
DeleteAngkat gelasmu yang berisi air putih dan cheers!
Game kesayangan: The Sims 😅
ReplyDeleteItu biasanya bisa bikin lupa waktu, bisa seharian main dan tentu aja melupakan segala masalah yg aku punya. Asik deh. Di situ aku bisa berpura-pura menjadi orang lain, menjalani hidup yg aku suka. Tapi ya kalo di The Sims itu mainan dhewek nggak bisa online bareng pemain lain. Seru kali ya kalo The Sims bisa online pemain lain.
Aku sering sedih dan mikirin hal-hal yg gak seharusnya aku pikirkan, tapi aku gak gak sampai mikir untuk mengakhiri hidup karena pada dasarnya aku takut sakit. Takut disuntik karena aku gak suka rasanya jarum menusuk kulit, takut muntah karena saat muntah aku gak bisa bernafas, takut luka karena dulu waktu kecil aku sering jatuh dan luka di kaki-kakiku rasanya sakit lah tuh, takut gelap😁
Itu kamu main di PS atau PC, Ran? Dulu kayaknya pas SMK saya sempat coba main The Sims juga di PS 2, tapi kurang paham tujuan karakternya apa. Ahaha.
DeleteYang menarik kalau permainannya online, ya bisa berinteraksi sama orang lain. Selama dapat temannya yang baik juga mah menyenangkan.
Soalnya banyak manusia kayak tai juga kan di gim. Banyak yang doyan drama. Masalah kayak turnamen duel PvP aja ketika kalah banyak yang suka enggak terima. Teriak-teriak di server fitnah lawannya lag, jadi enggak bisa dipukul. Ada-ada aja. :(
Syukurlah kalau enggak pernah memikirkan hal yang sampai seputus asa itu. Semoga ketakutannya bisa mereda ya seiring berjalannya waktu.
Seneng bacanya Yog :D. Setidaknya kamu masih ada semangat untuk trus berjuang .. Gapapa kalo itu harus melalui game, toh ga ada yg pernah bilang game berbahaya buat tubuh :D. Selama pandemi ini, hiburan kesayangan dan slalu aku lakuin, apalagi kalo ada lawannya, ya game juga hahahaha. Rasanya jenuh , bosan bisa hilang, walo ga permanen. Pikiran fokus pengen ngalahin si lawan :D.
ReplyDeleteSemangaaat yogaaa ^o^
Kebanyakan duduk dan kurang tidur bisa berbahaya, sih. Hehe. Tapi saya jelas tahu main gim cuma buat pelarian aja. Setelah merasa lebih baik dan capek, ya tidur.
DeleteSemangat juga buat Mbak Fanny.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.