Saya sedang tengkurap di kasur sambil menonton konser Asian Kung-Fu Generation di Youtube ketika terdengar teriakan “banjir” berulang-ulang kali dari luar rumah. Saya lekas mengintip dari jendela kamar dan mendapati air di selokan sudah luber. Pada Senin (21/09) malam, kira-kira sehabis Isya, saya benar-benar merasa tak siap untuk menghadapi banjir karena di rumah hanya ada saya dan Adik—yang apesnya sudah terlelap lantaran kemarinnya tidak tidur seharian hingga siang tadi. Ayah saya masih bekerja, sedangkan Ibu ada urusan di rumah temannya.
Sewaktu air cokelat itu perlahan-lahan mulai masuk ke rumah dan saya juga sudah kewalahan memindahkan barang-barang di ruangan depan ke tempat yang lebih tinggi, saya akhirnya membangunkan adik saya. Masa bodohlah dengan dia habis begadang. Saya sangat membutuhkan bantuan.
“Emangnya Ibu ke mana sih, Mas?” ujarnya memprotes.
Belum sempat saya menjawab pertanyaan itu, pintu depan terbuka dan sosok beliau muncul. Saya menyuruhnya coba tanyakan sendiri. Adik saya merongseng, kenapa hujan-hujan malah kelayapan? Saya ikut menambahkan, sudah tahu lagi pandemi dan masa PSBB jangan keluyuran seenaknya.
“Ya Allah, tadi kan perginya belum hujan,” katanya sembari mengangkat karpet dan menaruhnya di atas lemari. “Lagian Ibu cuma habis dari rumahnya Bu Tuti.”
Biarpun saya tahu Bu Tuti masih satu RT dengan kami, tetap aja saya berkata mending tak usah keluar rumah kalau bukan perkara penting. Beliau pun menjelaskan kepada kami bahwa niatnya ke sana hanya untuk keperluan mengantar dokumen penting, lalu sekalian mengobrol sebentar. Saat kepengin pulang rupanya hujan mulai turun, sehingga Bu Tuti menyarankan buat menunda kepulangannya. Lebih baik melanjutkan perbincangan.
“Tadi Ibu kira hujan biasa doang. Enggak banjir. Makanya Ibu pikir sekalian pulangnya nanti aja biar reda dulu. Syukur tadi ada yang teriak ‘banjir-banjir’, terus Ibu langsung buru-buru pulang deh.”
Kenapa kami masih sempat-sempatnya ribut saat sedang menggotong perabotan, ya? Entahlah. Lantas, bukankah berkat ada teriakan bocah itu akhirnya saya juga bisa menyadari kondisi air yang meluap? Jika saya masih asyik menonton konser di Youtube, pastilah barang-barang di depan bakal terendam semua. Baiklah, terima kasih wahai gerombolan anak kecil yang memberikan informasi tentang banjir. Lebih baik saya sudahi kemarahan bodoh yang membuang-buang energi ini.
Selepas urusan memindahkan barang-barang selesai dan banjir pun telah masuk ke kamar saya, seorang kawan mengirimkan sebuah tautan di salah satu grup WhatsApp tentang banjir kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor. Pantas aja hujannya baru sebentar kok bisa banjir secepat ini.
Sehabis menerbitkan Sebuah Kisah Banjir, Keluhan, dan Abreaksi yang Harus Muncul pada Februari silam, saya sudah kehilangan minat buat mengeluhkan air bah lagi. Jelas tak akan menarik kalau isi tulisannya lebih banyak menggerutu. Namun, lantaran banjir ini saya jadi teringat akan tulisan yang sempat saya tulis pada Maret lalu. Efek rumah kebanjiran pada hari itu ternyata membuat saya mengisahkan benda-benda yang bernilai sentimental.
PlayStation 2 dan Memory Card 8 MB
Saya pikir benda keramat ini sudah dijual oleh adik saya karena tak pernah melihatnya lagi dalam waktu 7 tahun. Jika bukan karena banjir kemarin dan terpaksa membongkar kardus di bagian lemari paling bawah, sepertinya keberadaan PlayStation 2 beserta MC-nya bakalan tetap menjadi misteri.
Sejak saya mulai kuliah dan memiliki laptop pada 2013, saya sudah malas main PS lagi. Apakah karena kehadiran perangkat baru itu bikin saya lupa sama benda lawas, atau permainan-permainan di laptop tampak lebih mengasyikkan ketimbang PS? Saya kurang tahu jawaban tepatnya. Yang jelas, begitu melihatnya lagi sekarang, saya mendadak kangen memainkan gim Harvest Moon: A Wonderful Life Special Edition, Bully, Sengoku Basara 2, Mortal Kombat: Shaolin Monks, SmackDown Here Comes the Pain, One Piece: Grand Adventure, The Warriors, Tekken 5, dan Tony Hawk’s Underground 2.
Sayangnya, kedua stik beserta kabel-kabelnya sudah lenyap entah ke mana. Adik saya bilang sih sudah putus digigit tikus, kemudian dia buang. “Lagian optiknya juga rusak, Mas,” katanya lagi. Saya kira cukup dengan membeli stik dan kabel-kabelnya saja sudah bisa main lagi. Tapi setelah mengetahui fakta akan kondisinya yang tidak bisa lagi membaca kaset, saya mau tak mau juga perlu memasang flash disk ataupun hard disk demi bisa memainkannya. Rencana buat bernostalgia itu pun musnah dalam sekejap.
Meski demikian, paling tidak saya sudah cukup gembira bisa menyentuh benda ini lagi. Kenangan-kenangan saat asyik bermain gim bersama adik dan teman sekolah pun muncul begitu saja di benak saya. Bahkan ingatan sewaktu memutuskan membeli PlayStation 2 ini juga ikut-ikutan mengambil tempat. Sewaktu Lebaran 2010, saya iseng mengusulkan kepada Adik untuk patungan beli PS dari sebagian uang amplop hasil keliling. Uang tabungan saya dan duit amplop dia kalau ditotal bisa menyentuh 800 ribu, lalu nanti sisanya tinggal minta tambahan sama orang tua.
Ibu saya tumben sekali pada hari itu berbaik hati dalam perkara beginian, padahal biasanya suka memarahi kami jika uangnya habis buat main PS di rental. Beliau bilang, “Daripada kalian duitnya habis buat main PS di rental atau main warnet, ya mending punya sendiri dan main di rumah.”
Mantap.
Mengingat zaman SMK dulu saya pernah dimusuhi oleh tetangga sendiri dan jumlah kawannya cuma sedikit, saya jadi ingin berterima kasih sama perangkat yang pada masanya telah menyelamatkan saya dari rasa kesepian. Walaupun tak punya sahabat baik pada masa itu, saya mungkin telah menganggap PlayStation 2 menjadi sohib yang menemani saya dalam suka dan duka. Misalnya, kalau saya lagi jengkel sekali dengan orang-orang yang suka merisak saya, saya tinggal memainkan gim Bully atau GTA atau The Warriors, lalu melampiaskan kemarahan dengan menjotos ataupun menembak orang-orang di permainan tersebut. Tampak tolol dan pengecut sekali, bukan? Syukurlah saya tak kelewat goblok buat menerapkannya di dunia nyata.
Kulkas
Berbeda dengan benda sebelumnya yang jelas-jelas memiliki makna, kulkas semestinya tidak memiliki nilai spesial. Namun, saya ingin mencoba mengisahkan barang yang awalnya tampak remeh ini bisa berubah menjadi cukup berarti bagi diri saya.
“Kok tumben airnya kurang dingin, Mbak? Minumannya baru pada masuk, ya?” ujar salah seorang pembeli kepada ibu saya.
Saya mendengar komentar tersebut dari kamar dengan perasaan janggal. Sebagai orang yang bertugas memasukkan aneka minuman ke dalam kulkas pada siang harinya, sementara sekarang sudah menjelang waktu Isya, saya menduga ada yang tak beres dengan kulkasnya jika pembeli sampai komplain demikian. Berhubung kulkas itu telah terendam dua kali saat banjir tahun baru dan 18 Januari, barangkali kurang dinginnya minuman yang ada di kulkas merupakan tanda-tanda mau rusak.
Saya mengingat ucapan tukang servis kulkas pada tempo hari yang sempat bilang bahwa kulkasnya tak perlu diperbaiki. Yang penting jangan dinyalakan dulu selama sepuluh hari, tunggu sampai benar-benar kering. Apakah dia betul-betul berbaik hati ketika memberikan saran agar kami tak perlu buru-buru mengeluarkan uang, atau sesungguhnya lagi malas menyervis pada musim hujan yang rawan banjir ini? Tapi, bukankah tukang servis seharusnya gembira jika banyak orang yang meminta jasanya? Siapa sih orang yang enggak suka duit?
Apa pun alasan tukang servis mengatakan hal itu, kini ibu saya sudah tak berminat menyervisnya dan justru ada pikiran untuk menjualnya saja lantaran Ayah kerap mengeluh soal iuran listrik per bulan yang melonjak naik sejak kami berjualan minuman dingin.
Ide menjual minuman dingin ini sebetulnya datang secara dadakan. Sebulan sebelum bulan Ramadan 2019, ada salah seorang tetangga yang terlilit utang sampai-sampai terpaksa menjual perabotan-perabotan di rumahnya, lalu menawarkan boks pendingin (freezer) kepada ibu saya. Dia memberikan harga yang terbilang murah untuk barang seken. Tak tega melihat paras tetangganya yang muram dan memohon-mohon, ibu saya pun lekas membelinya dan menaruhnya di pojokan rumah.
Saya dan Ayah baru sempat bertanya mengenai barangnya dan belum memprotes tindakannya itu, tapi ibu saya langsung melempar gagasannya, “Nanti bulan puasa kita mulai jualan es batu.”
“Cuma sebulan doang jualannya, Bu?” tanya saya.
“Ya, sampai seterusnya kalau bisa. Nah, kamu nanti sama Sadam (adik saya) yang ngisi air ke plastik. Keuntungannya nanti dibagi juga ke kalian deh.”
Meskipun status saya saat ini masih pekerja lepas yang lebih banyak waktu santainya serta membutuhkan pemasukan tambahan, saya tetap tak tertarik dengan tawaran itu. Berapa sih keuntungan menjual es batu? Lebih-lebih ayah saya pun berkata, “Duit dari keuntungannya aja nih saya jamin enggak akan bisa buat bayar listrik.”
“Belum apa-apa kok udah ngomong begitu.”
Tahu kalau sebentar lagi akan terjadi perdebatan sengit, saya langsung pindah ke kamar.
Alih-alih menjual es batu, kami jadinya malah menjual minuman dingin, sebab ibu saya lagi-lagi menolong tetangga lain yang datang ke rumah seminggu setelah membeli boks pendingin. Tetangga itu mulanya cuma iseng berkomentar tentang benda baru ketika sedang mampir ke rumah kami, lalu begitu mendengar cerita ibu saya tentang membantu tetangga dan ide menjual es batu, si tetangga ini dengan mantapnya ikutan menawarkan kulkas bekas yang sudah tak terpakai dengan iming-iming harga murah dan bayarnya pun boleh dicicil.
“Lumayan banget sih keuntungan dari jualan minuman pas saya masih buka warung, Mbak,” ujarnya.
Ibu saya tergiur begitu saja bagaikan anak kecil yang membeli ciki karena di dalamnya ada hadiah tazos. Sepertinya ibu saya mudah sekali kasihan sama orang yang jago memasang tampang melas. Saya sampai sempat berpikir, jangan-jangan beliau ini merupakan tipe-tipe manusia yang gampang dikibuli.
Pada suatu malam sepulangnya dari bekerja, ayah saya mendadak kesal melihat kehadiran kulkas baru yang konon mau dipakai jualan minuman ini. Perdebatan pun kembali terjadi. Saya lagi-lagi kabur ke kamar dan menyetel musik dengan volume kencang menggunakan penyuara kuping agar tak mendengar keributan itu.
Pendek cerita, seminggu sebelum bulan puasa kami mulai mengisi kulkas dengan air putih botolan, teh gelas maupun botol, minuman rasa jeruk, minuman bersoda, dan susu. Ibu telah membuat kesepakatan dengan Ayah bahwa akan ikut membayar 100-200 ribu buat tambahan iuran listrik bulanan sekiranya betulan melonjak naik.
Air putih botolan dingin adalah minuman yang paling banyak diminati dan cepat ludes, sehingga saya mesti ke agen saban 2-3 hari sekali. Saya sudah tak memikirkan keuntungannya yang bakal dibagi dengan diri saya. Bisa ikut meminum minuman yang tersedia ketika lagi kepengin pun sudah lebih dari cukup. Saya diam-diam juga berharap agar uang penjualannya memang bisa untuk bayar listrik yang sudah pasti naik, kalau perlu sekalian memperoleh keuntungan besar.
Terus, bagaimana dengan nasib boks pendinginnya? Ujung-ujungnya barang keparat tersebut dijual lagi ke tetangga lain yang lebih niat berdagang es batu serta es krim. Nah, yang saya tak habis pikir, mengapa harga jualnya sudah turun 150 ribu sekalipun kami belum pernah menggunakannya? Jika dia memang berniat berjualan, bukan cuma ide iseng sebagaimana yang muncul di kepala ibu saya, kenapa enggak dari awal dia saja yang menolong tetangga yang terlilit utang itu? Uang segitu kan lumayan juga buat kami. Keluarga kami selalu berusaha merasa berkecukupan, tetapi saya tahu betul bahwa kondisi kami masih jauh sekali dari kata tajir. Ibu saya semestinya lebih bisa menahan diri untuk melihat situasi.
Kembali ke persoalan kulkas yang menunjukkan tanda-tanda rusak, selain suhunya jadi kurang dingin, kini tepat di bawah lemari pendingin itu mulai banyak genangan. Ada kebocoran entah di bagian mananya pada kulkas itu. Sampai-sampai kami kudu mengepel beberapa jam sekali ataupun meletakkan kain gombal supaya bisa menyerap airnya.
Semenjak Maret datang, kulkas itu sudah tak beroperasi lagi. Ia hanya menjadi pajangan di sudut halaman rumah. Mungkin setelah terendam banjir untuk yang ketiga kalinya pada 23 Februari, benda itu kehabisan daya tahan dan tak lagi mampu mengeluarkan hawa dinginnya.
Sebagai orang yang rutin membeli minuman ke agen, hingga mulai terbiasa menghirup aroma tubuh para kuli pekerja keras yang mengangkat beban berat dan upahnya tak seberapa, lalu memasukkan minuman-minuman itu ke kulkas sekaligus menatanya dengan rapi, serta melayani berbagai macam pembeli, entah kenapa timbul kesedihan di dalam diri sewaktu sadar bahwa kegiatan yang sudah saya jalani hampir setahun ini terpaksa dihentikan. Tapi mau bagaimana lagi, selepas enam bulan berdagang, khususnya begitu memasuki musim penghujan, daya jualnya memang mulai berkurang. Saya yang tadinya terbiasa membeli air putih botolan ke agen sebanyak tiga kali dalam seminggu, kini cuma seminggu sekali. Itu pun lebih sering diminum sendiri oleh adik saya untuk bikin sirup.
Belum lagi sejak kami menerapkan kalau kulkas itu tak perlu dikunci pada malam hari karena beberapa pembeli adalah manusia-manusia yang hobi begadang. Saya sih mencoba percaya sama mereka yang mengambil produknya duluan, kemudian membayarnya belakangan sesuai dengan jumlah minuman yang mereka konsumsi. Namun, itu tak menutup kemungkinan adanya pembeli gelap alias pencuri, kan? Terbukti waktu itu saya baru mengisinya pada siang hari, dan keesokan paginya beberapa minuman berkurang, sedangkan uang yang masuk hanya sedikit.
Terlepas dari kenyataan mereka lupa membayar ataupun yang dengan sengaja mengambilnya diam-diam, intinya kami tetaplah rugi. Apalagi Ayah juga mulai mengeluarkan kalimat pamungkasnya, “Kalau udah enggak menghasilkan keuntungan, buat apa maksain diri tetap jualan?” Hal itulah yang meyakinkan ibu saya untuk tidak menyervisnya dan berhenti berdagang minuman dingin. Hilangnya kegiatan belanja ke agen dan menyusun aneka minuman ke dalam kulkas itu seolah-olah bikin diri saya habis kena pecat tanpa pesangon.
Rak Buku
Saat lagi asyik rebahan seraya merenung pada waktu menjelang tidur, saya terkejut mendengar bunyi buku-buku yang ambruk dari rak di sebelah kanan saya. Saya mendapati kayu pada rak yang posisinya nomor dua dari bawah terlepas dari pasaknya. Begitu mau saya coba pasang kembali, rupanya lubang pada kayu itu sudah jebol. Efek terendam banjir pada awal tahun itu kayaknya bikin kayunya jadi lapuk. Saya masih tak percaya kalau rak ini harus kehilangan salah satu bagiannya. Saya spontan mengutuk banjir yang bikin rak buku saya jadi cacat.
Sewaktu saya berumur 22 tahun, ibu saya memberikan kado berupa rak buku yang tengah saya maksud. Semua bermula ketika saya sedang menemaninya ke Carrefour daerah Permata Hijau untuk belanja bulanan. Ketika semua produk yang pengin dibeli sudah masuk tas keranjang, ibu saya tiba-tiba bertanya, “Kamu katanya mau beli rak buku, Yog?”
“Kerjaan yang waktu itu belum dibayar, Bu.”
Sejak mengambil beberapa tawaran kerja lepas pada Mei 2017, saya memang bermaksud menggunakan salah satu bayarannya yang bernilai 300 ribu untuk dibelikan rak buku setelah invois itu cair. Sialnya, bayaran yang datang terlebih dahulu justru berbentuk voucer belanja di salah satu toko daring. Bayaran yang saya tunggu-tunggu dalam bentuk uang masih tak jelas kapan ditransfernya. Jadilah saya terpaksa menunda hasrat buat membeli rak buku.
“Enggak usah nunggu dibayar, beli aja sekarang mumpung kita di sini.”
“Entar aja. Toh, tabunganku di rekening juga enggak seberapa.”
Ibu pun bilang mau membelikan saya rak buku tersebut. Tentu saja aneh saat saya mendengarnya. Bukannya gengsi atau ada hal lain, tapi saya memang tak suka meminta hal-hal yang saya inginkan kepada siapa pun. Saya lebih senang membayar pakai uang pribadi. Apalagi sejak usia 17 juga sudah terbiasa bekerja dan mencari uang sendiri.
“Anggap aja hadiah ulang tahun kamu. Kamu kan anaknya enggak pernah minta apa-apa. Sesekali biar Ibu beliin.”
Sejak kecil saya nyaris tak pernah mendapatkan kado ulang tahun dari orang tua. Mereka hanya sempat membuat syukuran kecil-kecilan dengan memasak nasi kuning, lalu mengantarkannya kepada tetangga. Kadonya palingan berbentuk sepatu atau tas baru buat sekolah. Itu pun kalau tak salah waktu saya masih SMP. Selebihnya tak pernah.
Sekali-sekalinya saya mengadakan syukuran atas kemauan sendiri saat saya menginjak usia 19. Saya menyisihkan sebagian gaji dan memberikannya kepada Ibu, bermaksud meminta tolong supaya dibuatkan berbagai macam makanan. Saya berniat mengundang 20 teman kantor yang paling akrab ke rumah saya untuk makan-makan sebagai pengganti mentraktir mereka di restoran. Tujuannya agar lebih hemat dan seandainya ada makanan lebih bisa diantarkan ke tetangga.
Namun sejak usia 20-an, saya perlahan-lahan benci dengan perayaan ulang tahun semacam itu. Tak ada lagi traktir-traktir pada hari kelahiran dan merayakannya bareng teman. Saya lebih suka menikmatinya dengan kesendirian, lalu muhasabah diri.
Oleh sebab itulah, saya merasa aneh ketika ibu saya ingin memberikan kado ulang tahun. Ibu saya tetap mengotot mau membelikan sekalipun saya sudah bilang tak usah. Ditambah lagi saya juga rada takut menolak pemberiannya itu justru kelak melukai hatinya. Jadi, saya tak ada pilihan lain selain menerimanya. Sebagaimana tujuan awal saya yang kepengin rak buku seharga 300 ribu, kami pun membeli yang kisaran segitu.
Sayangnya, rak buku 340 ribu yang umurnya baru berjalan tiga tahun itu kini mulai cacat akibat terendam banjir. Kayunya termasuk lemah terhadap air, kemudian lapuk. Kado ulang tahun saya telah rusak. Sialan, sedih juga ternyata melihat kondisi rak buku malang itu.
Saya memandangi dua puluhan buku yang sementara ini saya letakkan di kasur dengan berpikir: kalau rak bukunya jebol, lantas buku-buku ini mau taruh di mana lagi? Kala itulah muncul gagasan untuk memfilter buku-buku yang sepertinya sudah tidak dibaca lagi. Satu jam berselang, saya akhirnya berhasil memisahkan buku-buku berikut ini dan berniat menjualnya dengan harga (yang semoga) terjangkau.
Paket Sastra
Paket Hemat
Adriana, Fajar Nugros: 17.000; Digitalove, antologi kumcer: 16.000; Spora, Alkadri. 15.000. Sepaket harganya Rp40.000.
Paket Haris Firmansyah
Paket Ratih Kumala
Paket Bukune
Paket Gagasmedia
Untuk pemesanan silakan hubungi surel saya: ketikyoga@gmail.com. Harga itu belum termasuk ongkos kirim.
--
Pembaruan: buku yang dicoret berarti sudah laku.
PS: Pertimbangan harga saya buat berdasarkan tahun rilis maupun kapan belinya, ketebalan dan kondisi buku, serta nilai sentimental. Terkadang miris juga kalau dipikir-pikir ataupun diingat, bahwa mayoritas buku itu saya beli di atas 50 ribu, dan kini dijual tak sampai setengahnya. Tapi ya sudahlah, namanya juga kepepet dan butuh uang. Sekiranya di antara kamu ada yang pernah merasa memberikan beberapa buku dalam daftar itu kepada saya, terus kecewa begitu mengetahui saya menjualnya, saya cuma bisa meminta maaf. Alasan mengapa saya menjualnya mungkin bisa kamu temukan di kisah Menghargai Pemberian yang pernah saya tulis pada 2017 dan diterbitkan ulang oleh Loop pada 2019.
Orang yang membeli buku paketan akan lebih diprioritaskan. Seumpama kamu cuma tertarik 1-2 buku di paket-paket itu, saya akan menunggunya selama tiga hari. Jika memang tak ada yang berminat membeli paketan dalam jangka waktu itu, barulah saya jual secara satuan. Terima kasih.
Sumber gambar boks pendingin:
https://www.pricebook.co.id/article/market_issue/2018/08/14/8719/freezer-es-terbaik-dan-termurah
22 Comments
Sekalipun tulisan ini mungkin sangat emosional untuk saya, beberapa orang mungkin akan menggerutu,"sial, teknik marketingnya bagus juga."
ReplyDeleteHubungan saya dan banjir juga banyak dan beragam, kayaknya asik dan seru juga kalo ditulis. Hitung-hitung merawat ingatan.
Awalnya enggak ada niat jualan, cuma mau cerita benda-benda. Tapi waktu rak buku jebol jadi kepikiran memfilter buku yang enggak saya baca lagi. Siapa tau buku-buku itu lebih cocok di tempat baru.
DeleteDaerahmu kena banjir juga, ya? Monggo ditulis kalau begitu. Haha.
banjir memang bikin anu
ReplyDeleteantara kulkas dan mesin cuci selalu jadi korban keganasan
eh sekarang penjualan es batu rumahan memang engga menguntungkan
ibuku juga udah engga jualan lagi semenjak warung lebih milih beli di pabrik es yang jualnya lewat truk besar
katanya lebih lama cairnya...
Mesin cuci udah rusak sejak 3 tahunan lalu, cuma bisa dipakai pengeringnya. Setahun lalu diloakin. Haha. Kulkas utama kami alhamdulillah ditaruh di tempat yang lebih tinggi. Jadi sampai hari ini terbilang aman.
DeleteTapi bukannya es batu balokan gitu airnya enggak terjamin bersih ya?
Wahh speechless sama pengalamanmu dengan banjir, jujur saya belum pernah kebanjiran dan jangan sampai, tapi sahabat saya pernah, katanya setelah dipasang beton entah apa gitu di parit sama pemerintah di daerahnya banjirnya udah nggak pernah masuk ke rumah lagi.
ReplyDeleteNgomongin ulah tahun saya juga nggak pernah dirayain sama keluarga, paling pas kuliah selalu dirayain sama para sahabat itupun seadanya, pakai kue lilin dan ngak ada acara traktiran, hehe. Paling setelah potong kue dan tiup lilin, waktunya kami habiskan bercerita sampai tengah malam sambil tiduran berjejer kayak ikan asin, dibanding momen ultahnya saya lebih berkesan sama waktu yang kami habiskan dengan begadang, ya walaupun di suprise-in kue dan balon juga seneng. Setelahnya saya sisihkan waktu untuk menulis surat cinta untuk diri sendiri.
Oh, ya itu rak bukunya emang udah nggak bisa diperbaiki lagi ya?
Aamiin. Semoga tidak mengalami.
DeleteKalau kejutan dari teman-teman atau pacar, 3 tahunan lalu masih dapat, sih. Haha. Soal traktir itu, semacam gantian membalas kebaikan mereka yang udah repot-repot bikin kejutan.
Enggak bisa, Sov. Betulan udah jebol kayunya.
Jadi inget rumahmu yang "berundak" Yog, pas baca part mindahin barang ke tempat yang lebih tinggi.
ReplyDeleteLumayan ya, uang dari muter lebaran bisa dapet 800ribu. Ya anggap dibagi rata, per orang dapet 400. Saya, paling banyak kayaknya dulu cuma 200an. Pas ditabung dan ditambah sama uang tabungan awal-awal, nggak buat beli PS. Tapi beli hp. Dan, yah, tetep minta uang tambahan dari orang tua.
Warung buka 24 jam Yog? Apa cuma kulkas aja yang khusus buka 24 jam.
Iya, kisah itu ada di tulisan yang banjir awal tahun.
DeleteMungkin karena adik saya saat itu masih SD, jadi dia dapat banyak. Kalau saya enggak sebanyak itu, karena ditambah tabungan pribadi juga. Mantap, uang THR bisa beli HP. Saat itu saya baru punya HP Esia Ngoceh kayaknya. Haha. Masih belum terlalu butuh yang canggih. Anaknya lebih doyan main gim di PS maupun sewa warnet.
Warung nasi uduk mah cuma pagi aja. Paling jam 10 udah tutup. Itu khusus kulkasnya yang dibiarkan terbuka 24 jam.
Oh, tak kira buka warung kelontong, Yog. Biasanya kan warung kelontong juga sering nyediain kulkas buat minuman dingin.
DeleteGue setuju sama poin ulang tahun itu. Pengen ngetik panjang tapi belum sarapan, jadi gak usah deh. Intinya lu pasti udah ngerti hahahaha.
ReplyDeleteINI KENAPA RUMAH LU JADI SERING BANJIR GINI SIH. ANIES BASWEDAN KERJANYA NGAPAIN AJA SIHHHH
Ya ngerti dong, Man. Kan itu udah gue tulis dan sepertinya beberapa pembaca yang seumuran punya pemikiran yang sama termasuk lu. :p
DeletePemerintah lagi mumet sama Corona. Lupa sama aspek lain. Tapi kok bisa-bisanya ingat sama pilkada, ya? Ajaib betul.
Mengingat kan pengalaman pribadi saya mas, rumah dengan pondasi yang rendah, setiap kali hujan pasti kebanjiran. Salam kenal mas.
ReplyDeleteApakah enggak coba dibangun lebih tinggi, Mas? Salam kenal juga.
DeleteBanjir bentar airnya langsung bertamu, repot sekali jadi orang Jakarta. Haha
ReplyDeleteBtw, saya juga udah lama mau jualin buku-buku yang sekiranya emang cukup sekali baca, tapi kayaknya emang males aja, yang baru dimasukin ke shoppe baru satu doang.. :D
Semoga laku, lumayan kan buat beli buku baru atau ya kebutuhan lainnya yang kebetulan gara-gara pandemi ini nyari duit lagi rada susah banget.
Air banjirnya juga butek dan bau pula. Sungguh merepotkan.
DeleteSelama ini gue dagang di blog doang, Yan. Belum pernah jualan di toko online gitu. Ahaha.
Aamiin. Makasih.
Yogaaaaaaa, aku mau beberapa buku.. ntr aku wa ya. Eh yg 0070 belakangnya msh aktif?
ReplyDeleteDuuuh banjir itu memang sangaaaat nyebelin. Aku udh was was kalo ujan mulai lebat. Memang sih rumahku ga kebanjiran. Tp bagian depan jalan makin lama makin naik. G nutup kemungkinan kalo makin kesini jadi masuk.
Trakhir ngalamin banjir pas aku di Aceh. Trauma sampe ngeliat ular di air.. makanya aku takuuut bgt kalo udh banjir. :(
Ngomongin rak buku, aku lgs inget hari ini rak bukuku roboh wkwkwkwkkw. Dari plastik sih, makanya ga kuat. Mana bukuku ratusan :D. Memang hrs diganti Ama rak yg LBH strong :D.
Terima kasih sudah membeli, Mbak. :D
DeleteDataran semakin merendah karena tanahnya mengikis, kan?
Oh iya, Aceh perbatasan juga dengan laut tuh. Lebih mengerikan kalau ada-apa. Kayak kejadian tsunami waktu itu. :(
Sepertinya rak yang kuat kudu pesan sama tukang gitu, Mbak. Kata kawan saya yang raknya bertahan lama sejak dia masih sekolah, hingga hari ini. Sepuluh tahunan. Beli jadi di toko mungkin kurang awet. Ehe.
Yahh... barusan saya mau e-mail dong,mau Tabula Rasa dkk, duh bukan rejeki kali 😂😂
ReplyDeleteKemarenan mau e-mail tapi saya baru sadar ATM-nya gabisa sipakai buat transaksi, karena udah habis masa berlaku wkwk.
Yah, sayang sekali keburu laku. Mungkin suatu hari bisa membelinya jika saya memfilter lagi buku-buku di rak. Hehe.
DeleteOalah, enggak pakai m-banking, ya?
Enggak Yog, hahaha. ATM nya ATM mahasiwa jadi kalau udah nggak mahasiswa harus ganti baru kartunya wkwk.
ReplyDeleteAman aman ya Yog, udah mulai musim ujan lagi ini. Semoga gak ada banjir banjir lagi.
ReplyDeleteSoal lemaru pendingin, ada satu lemari pendingin yang udah nggak berfungsi di rumah malah dijadikan lemari spreu sama ibu gue. Kata beliau sayang kalo dibuang. Ya emang bisa dipake sih buat naro barang tapi hadi menuh2in tenpat.
Soal ulang tahun, gue kayaknta dari dulu selalu dikasih kado. Padahal gue jarang minta. Kalo skrg biasanya nggak dikasih apa apa tapi suka dikasih mentahnya aja haha. Entahlah, meski gue juga ga pengen ulang tahun dirayain. Cukup dinikmati sendiri aja.
Iya, semoga aja enggak kejadian lagi. Haha.
DeleteLemari pendingin yang kehilangan fungsi dinginnya jadi lemari biasa gitu? Ada-ada saja.
Masih dikasih mentahnya? Wah, mantap itu mah.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.