Catatan 10 November 2018. Disalin dari buku harian Novita Andini, Berjuang dengan Rendah Hati.
--
Aku habis membaca ulang novel The Catcher in the Rye, karya J. D. Salinger, dan menemukan kalimat bagus berikut: “Mereka yang belum dewasa adalah yang bersedia mati demi memperjuangkan satu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia hidup dengan rendah hati memperjuangkan hal itu.”
Setahun yang lalu berarti aku belum pantas disebut dewasa, sebab aku terlalu idealis dan bisa dibilang bersedia mati untuk menggapai satu hal: bekerja di bidang tulis-menulis atau menghasilkan pemasukan utama dari sana.
Sekarang ini aku sebetulnya juga masih belum tahu apakah sudah pantas disebut dewasa atau belum. Usiaku sudah 23 tahun, tapi aku masih saja tinggal bersama orang tuaku. Menyusahkan mereka. Belum lagi aku termasuk jarang membantu membayar tagihan air maupun listrik. Aku ini terbiasa menggunakan penghasilanku untuk kebutuhan pribadi saja.
Namun, jika patokan dewasanya hanya berdasarkan kalimat bagus di novel itu, aku kini tentu sudah bisa dikatakan demikian. Aku telah berdamai dengan diri sendiri. Sudah mencoba bersikap realistis saja jadi manusia. Aku berusaha untuk bekerja apa pun yang dapat menghasilkan uang. Lagi pula, diam-diam di dalam diriku itu masih ada impian yang tetap terjaga agar suatu hari nanti dapat mencapainya.
Sebelumnya sih aku sudah pernah berjanji kepada diri sendiri buat bekerja di mana saja, asalkan itu tak berhubungan dengan akuntansi, asuransi, bank, pajak, staf keuangan, dan sejenisnya. Jujur saja, aku termasuk payah dalam menangani angka-angka. Tapi sialnya, sewaktu aku sudah coba melamar ke beberapa bidang lain selain tulis-menulis dan pengecualian barusan, aku masih saja gagal.
Terakhir kali aku mencoba melamar sebagai resepsionis hotel pun tak diterima. Rasanya ditolak mentah-mentah, padahal seleksinya belum sampai proses wawancara. Setelah mengirimkan surat lamaran lewat email, mulanya para calon karyawan disuruh datang ke perusahaan untuk interviu, lalu disuruh menunggu di sebuah ruangan, hingga nama-nama mereka disebutkan buat pindah ke ruangan lainnya, sedangkan nama yang tak dipanggil dipersilakan pulang. Namaku, Novita Andini, tak diucapkan oleh staf HRD itu. Aku disuruh pulang tanpa pernah diberikan penjelasan. Tapi aku sadar diri, aku kurang cantik alias pas-pasan, bahkan barangkali jelek.
Biarpun aku tahu bahwa diriku ini kurang tinggi dan menarik buat dipandang, tapi kan aku masih bisa memakai sepatu hak tinggi dan merias diri secara maksimal demi menyiasati kekuranganku itu. Toh, aku masih bisa berkomunikasi dan melayani tamu dengan baik. Aku mampu membuktikannya. Naasnya, aku tak diberi kesempatan buat wawancara dan mempraktikkan bagaimana ramahnya diriku dalam melayani tamu.
Mengapa syarat menjadi resepsionis harus berparas cantik, sih? Apakah si pengunjung hotel akan batal menginap seumpama dia menemukan resepsionis yang kecantikannya tak memenuhi standar? Sebetulnya apa yang dijual oleh sebuah hotel? Mereka itu ingin memesan kamar beserta fasilitas pendukungnya, kan? Yang dibutuhkan tentu pelayanan dan kenyamanan saat menginap. Apakah ada hal lainnya? Atau jangan-jangan ada pelayanan hotel khusus, yang mana resepsionisnya bisa sekalian dipesan? Entahlah.
Lantaran pengalaman buruk itu pun aku bersedia mengambil kerjaan apa saja tanpa gengsi. Menurutku memang tidak ada yang salah dengan suatu pekerjaan, selama itu halal dan tidak merugikan orang lain. Aku tak malu bekerja sebagai pencuci piring di suatu rumah makan. Aku tak keberatan juga menjadi petugas kebersihan. Aku bahkan tak perlu malu dipanggil pekerja serabutan. Kalau enggak begitu, aku mau memperoleh pemasukan dari mana?
Apa aku harus mengemis? Aku merasa jauh lebih baik melonte. Meskipun hal itu pada akhirnya juga tak akan sudi kulakukan. Aku tahu bahwa mengemis dan melonte itu sama-sama mengorbankan harga diri demi uang. Namun, melonte itu termasuk bekerja yang memerlukan banyak usaha dan risikonya. Dosa, dipandang rendah sesama manusia, tertular penyakit kelamin, digerebek polisi biadab yang ujung-ujungnya minta jatah jika ingin bebas, dan seterusnya. Pekerjaan melacur itu enggak gampang. Tak seenak kelihatannya atau dipikir kebanyakan orang kalau kerjanya cuma mengangkang. Aku pernah mendengar cerita dari salah satu temanku yang menjadi pelacur, katanya ada situasi di mana dia kudu memuaskan berahi pelanggan dengan permintaan yang aneh-aneh. Disuruh goyang striptis dulu, misalnya. Belum lagi jika pelanggan itu bau badannya kayak comberan. Ingin protes dan menghina, itu berarti kehilangan uang. Siap-siap dimarahi oleh muncikarinya.
Aku rasa beberapa lonte mungkin sadar dengan apa yang dilakukannya itu salah, tetapi mungkin mereka sudah terjebak di dunianya. Atau justru mereka sudah kelewat bingung harus bekerja apa lagi demi sesuap nasi karena saat melakukan pekerjaan normal sebagai pramuniaga atau pramusaji juga tetap dilecehkan pembeli berengsek, terkadang juga rekan kerja sendiri, bahkan atasan.
Kasus terperangkapnya lonte dalam dunia gelapnya itu sesungguhnya mirip denganku yang juga terjebak di dunia tulis-menulis ini. Aku tahu jadi penulis di Indonesia benar-benar menyusahkan. Apalagi untuk bisa hidup dari sana. Terlebih lagi aku ini perempuan. Jangankan bisa menjadikannya profesi, dalam hal sebatas ingin belajar menulis lewat kelas menulis sama senior saja malah digoda oleh mereka—para penulis lelaki sialan.
Tapi aku tentunya saat ini sudah punya cara tersendiri untuk menyiasatinya. Aku tak perlu belajar kepada senior. Aku bisa belajar lewat buku-buku bacaan. Lalu, dengan rendah hati aku juga bisa mendapatkan uang dari kerjaan lain apa pun itu, tanpa harus meninggalkan dunia tulis-menulis yang berulang kali telah menyelamatkanku dari gangguan kecemasan. Seperti sekarang ini, saat aku terlalu khawatir harus cari kerja apa lagi, kudu dapat uang dari mana lagi, aku bisa merasa sedikit lebih baik dengan menuliskan keresahan-keresahan tersebut di jurnal busuk ini. Aku harap suatu hari diriku bisa menulis novel ciamik dan memenangkan sayembara. Mendapatkan sorotan dari banyak pembaca. Syukur-syukur penjualan karyaku juga bisa membiayai hidupku kelak. Aamiin.
Semoga doa tadi tidak terdengar menyedihkan. Tapi tak apalah berharap semacam itu. Tak akan ada yang tahu selain aku dan Tuhan.
--
Gambar dicomot dari: https://pixabay.com/id/photos/menulis-orang-dokumen-kertas-828911/
12 Comments
Dua tangan kita tidak cukup untuk menutup semua mulut orang, tapi cukup untuk menutup dua telinga kita. Sekarang saya juga sedang berada difase itu, fase masih berada diatap rumah orangtua namun belum berpenghasilan. Untungnya, saya masih bisa diselematkan oleh embel-embel mahasiswa. Saya mesti banyak berpikir setelah studi saya kelar, mau ditenteng ke mana ijazah saya
ReplyDeleteNikmati aja dulu masa mahasiswanya, Hul. Jangan terlalu memikirkan jauh ke depan. Ahaha. Tapi ya bagus banget sudah memikirkan tujuan setelah lulus. Semoga kelak berhasil mewujudkan impian.
DeleteRealistis dan idealis, itu saya banget akhir-akhir ini. Maunya cari kerja sesuai jurusan, karena suka jurusan saya saat kuliah, tapi melihat kondisi hari ini rasanya tipis sekali, sampai kemaren saya ditawari kerja dikantor kakak saya, bidangnya jelas melenceng jauh dari jurusan yang saya ambil, setelah lama berfikir, akhirnya saya memutuskan untuk relistis saja dan memasukan surat lamaran kesana. Nggak tahu deh hasilnya entah diterima entah enggak. Soalnya saya juga nggak punya pengalaman apa-apa dibidang itu, orang saya baru tamat, eh lansung Korona, miris banget. Hahaha.
ReplyDeleteSoal masih jadi beban orangtua juga sama, ya Allah, malahan masih dikasih uang jajan bulanan seperti saat kuliah dulu, meski nggak nolak wkwk, tapi saya nggak enak juga. Tujuannya cepat tamat biar nggak nyusahin lagi, eh sama aja tuh, tamat nggak tamat, uang jajan tiap bulannya tetap sama. Curhat-curhat 😂
Semoga lekas dapat kabar baik ya. Banyak kok yang kerjanya enggak sesuai jurusan kuliah dulu.
DeleteMemang mencengangkan ini Corona. Bisa-bisanya merusak berbagai rencana tiap orang.
Wah, betapa menyenangkannya masih dapat jatah bulanan. Selama orang tua masih sanggup memberi, terima aja. Tak baik menolak rezeki kan. Ehe.
Curhat di kolom komentar sepertinya sudah lumrah. :D
Terkait dream job dan realita, semua orang sepertinya mengalami ini, we can say 90% dari kita bekerja tidak sesuai idealisme. Karena aku adalah salah satu diantaranya.
ReplyDeleteSeperti mbak-mbak yang diceritakan di sini, aku bekerja mengelola angka selama 4 tahun terakhir. Jenuh? Pasti. Pernah kepikiran buat resign, oh jelas!
Tapi sebelum memutuskannya, aku memilih untuk menggali lebih dalam. Mengkritisi keinginanku sendiri. Dan yah.. keputusannya, mari tetap bekerja di sini, sambil bekerja mengumpulkan uang, lalu uang itu bisa digunakan untuk upgrade skill di bidang yang aku mau. Win win solution!
Iya, resign butuh banget pertimbangan kan. Selama bayarannya sepadan mah tak apa jalani itu. Uangnya bisa buat membiayai hobi atau hal-hal yang disukai.
DeleteSkr ini udh ga zamannya yaa idealis, dan berharap ilmu kuliah bisa kepakai di dunia pekerjaan :D. Pas msh kerja, anak2 dulu kebanyakan malah kuliah yg ga ada hub sama sekali Ama bank :p. Ada yg lulusan kesehatan masyarakat, farmasi, hukum, sastra Italy (yg ini malah lulusan dr Italy lgs :p) . Tetep aja pas kerja di bank, yg dipentingkan cm cara service nasabah, handle komplain dan jualan produk perbankan hahahahaha.
ReplyDeleteAku kdg heran, guna kuliah jd buat apa, kecuali kalo tuh jurusan emang diperlukan bgt di suatu bidang yaaa. Pernah nanya begini ke temen, dan jawaban dia klise lah, setidaknya ilmu yg didapet bisa kita amalkan di kehidupan sehari2. Sastra Italy mengamalkannya gimana coba :p.
Tapi ya sudahlaaah.... Intinya, kalo mau kerja, yg ptg niat dan kemauannya dulu aja. jgn lgs ngarep gaji tinggi, padahal kemampuan segitu2 doang :D.
Mungkin terlepas dari jurusannya apa aja, ada hal-hal yang bisa menambahkan soft skill. Tapi ya sastra Italia tuh termasuk langka sih. Apakah di sini kemampuannya kepakai? Lebih familiar sama yang Prancis dan Jerman.
DeleteIya, Mbak. Pokoknya sesuai kemampuan dan beban kerjanya, itu bayarannya. Selama enggak diupah rendah atau semacam penindasan, jalani saja.
Kata Leonardo da Vinci waktu mancing di sungai deket rumah Michelangelo, idealisnya nanti aja kalau udah kaya raya atau udah punya kerjaan yang established. Gatau deh itu Vinci ngomong ke siapa.
ReplyDeleteIdealis hanya membunuh diri sendiri. Ahaha.
Deletepernah kepikiran menjadi penulis dan meniatkan diri tapi saya sadar mas saya hidup di Indonesia dengan tingkat literasi rendah dan pekerjaan penulis yang engga begitu dihargai
ReplyDeletemakanya saya pun realistis nulis ya cuma hobi aja
tapi tentang kerja yang penting kasih yang terbaik aja si, masalah lain kalau bisa ya dibuat bodo amat, hehe
terlebih masalah sesuai jurusan.
Di Jepang yang minat literasinya tinggi pun saya sempat baca beberapa artikelnya, bahwa banyak juga penulis komik yang jam kerjanya berlebihan, tapi penghasilannya miris. Gimana ya, udah capek gambar dan menulis, eh penjualannya cuma laku sedikit. Belum lagi hinaan dari pembaca. Kudu bermental kuat.
DeleteMemang kalau karyanya laris manis tuh nikmat. Lihat betapa suksesnya penulis bisa hidup dari sana betapa enaknya. Tapi ya saya pikir itu puncak gunung es. Yang enggak laku tenggelam di lautan sampai ke dasar laut. :(
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.