Tempat pulang paling damai, katamu, berada di pelukan maupun pangkuan ibu. Kebanyakan lelaki berusaha untuk sepakat sekaligus mengamininya. Mereka malu menunjukkan sisi rapuh di samping kekasih, tetapi ingin selalu dimanja dan rela bermuram durja di hadapan ibu yang penuh welas asih.
Namun, aku ini tampaknya seorang minoritas. Aku kerap berada di rumah, tapi tak pernah merasa pulang. Tak ada pelukan maupun pangkuan dari ibuku. Ibu telah berubah abu. Ibu sudah hangus dilahap api cemburu dan meninggalkanku bersama ayah payah yang gemar melontarkan sajak-sajak jahanam. Tempat ini tak pantas lagi disebut rumah, lebih cocok bernama neraka versi murah.
Dunia maya konon bisa menjadi tempat melarikan diri. Siapa pun bebas meracau atau berkicau demi melenyapkan kacau dari dalam diri. Tapi, manusia-manusia digital itu tanpa sadar justru menyakiti kau, aku, atau siapa pun. Mereka berlomba-lomba mencari seseorang yang lebih menderita. Mereka hobi berdusta setiap bercerita demi angka-angka, sebab impresi terbanyak akan menjadi juara. Tapi aku tak butuh gelar juara. Aku cuma memerlukan pelipur lara. Jadi, kubunuh jaringan internet dan lekas kembali ke dunia nyata.
Lantas, bagaimana aku bisa menemukan tempat pulang paling damai jika kehidupan dalam setiap harinya selalu bertambah ramai? Aku mendengar tangisan bayi yang baru lahir—ia bagaikan terkejut melihat dunia yang tak senyaman rahim ibu. Kudengar suara klakson kendaraan bersahut-sahutan pada jam pergi/pulang kerja, jeritan hutan yang dibakar, pidato palsu para pejabat, ujaran kebencian pendukungnya, keluhan rakyat miskin, nada-nada lagu cengeng, raungan gosip tetangga. Semua perpaduan itu sungguh mengusik. Bahkan bunyi sialan itu masih terdengar kala aku sedang sendiri: berasal dari isi kepalaku yang sangat berisik.
Suatu waktu, ketika keheningan akhirnya bisa kutemukan, tiba-tiba kesepian mulai berbisik di telingaku: bunuhlah diri. Apakah tempat pulang paling damai bisa dicapai dengan menjemput maut? Shakespeare bilang setelah mati cuma sunyi. Sialnya, aku ini orang yang kenyi. Aku juga masih ingin bernyanyi. Barangkali yang kubutuhkan hanya tempat bersembunyi. Lagi pula, kematian adalah kepastian. Buat apa terburu-buru dan mempercepat mati yang datangnya pasti, sebab santai juga bagian dari hidup yang diberikan oleh Gusti.
Damai, jika kata itu kurenungkan kadang terdengar seperti desah para perempuan aduhai yang kutonton di film-film dewasa asal Jepang. Sebuah ruang menghibur diri yang kauanggap menyimpang.
Tempat pulang paling damai untukku mungkin berada di hati setiap insan yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Mereka jujur dan tak banyak bacot. Saat kumasuki kamarnya, mereka lebih sering membisu. Mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk melukis atau menulis. Mempertanyakan angan dan ingin sambil sesekali menangis. Segelas air mata yang mereka suguhkan telah menjadi minuman favoritku. Rasanya menyegarkan dan dingin. Bagai menyelam ke dalam diri sendiri. Mengingatkanku pada tangisan sendiri yang kini stoknya sudah habis. Aku selalu bergembira tiap singgah di hati yang patah. Aku bisa numpang tidur-tiduran di ranjang puisi seraya membaca buku-buku fiksi tanpa perlu peduli ada apa di luar sana.
/2020
--
Ada salah satu paragraf yang saya ambil dan modifikasi dari tulisan dua
tahunan lalu. Saya bingung kenapa memakainya kembali di tulisan ini.
Mungkin karena perasaan itu cukup mewakilkan. Masalahnya, mewakilkan saya pada masa kapan? Karena ketika saya membaca ulang tulisan itu, saya tidak merasa untaian-untaian kata tersebut menggambarkan perasaan saya. Apakah itu untuk diri saya yang lain? Seseorang di dalam diri yang pernah memiliki trauma dan kesedihan mendalam? Entahlah.
Saya tak tahu apakah yang barusan itu termasuk puisi atau prosa, tapi saya pernah nekat mengirimkannya ke sebuah sayembara. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang mana saya akan jengkel, ingin protes, bahkan murka sewaktu tulisan-tulisan saya itu tak muncul di daftar juara atau nominasi pemenang atau 10-100 besar, kali ini saya merasa biasa saja. Sangat kalem. Barangkali saya sudah terbiasa dengan kegagalan. Sudah tak mengharapkan apa-apa dalam hidup. Saya cuma mau bikin tulisan ketika lagi kepengin menulis tanpa ada beban dan keterpaksaan, lalu sesekali mengikutinya dalam perlombaan yang menarik minat, dan teramat cuek sama hasilnya. Saya mungkin juga tak keberatan lagi jika ada yang menghina tulisan saya. Sebagaimana judul yang saya buat secara spontan itu, saat ini saya hanya ingin mencari tempat pulang paling damai. Tahukah kamu di mana tempat itu?
Gambar diambil dari: https://pixabay.com/id/photos/alam-pegunungan-switzerland-1547302/
11 Comments
Deep sekali tulisannya, mas Yoga 😍
ReplyDeleteMungkin pada waktu mas Yoga menulis tulisan di atas, perasaan yang dirasakan demikian adanya. Rasa bingung, atau hopeless pada kehidupan yang dipunya. Bisa jadi sekarang mas Yoga sudah baik-baik saja, jadi ketika membaca kembali tulisan tersebut, yang mas rasakan beda 😆
Saya nggak begitu pandai soal puisi atau prosa, tapi saya sangat menikmati apa yang mas tuliskan 😁 hehehe. Kalau ditanya tempat pulang paling damai, mungkin setiap dari kita jawabannya akan beda. Saya pribadi saat ini tempat pulang paling damai selain pangkuan orang tua tentunya pelukan pasangan 🙈
Semoga one day, mas Yoga bisa temukan jawaban dari pertanyaan di atas 😍
Saya jadi ingat film Fight Club. Jangan-jangan, yang nulis itu adalah Tyler Durden versi Yoga. Yang depresi dan kehilangan arah. Tapi kalau dalam film Fight Club, yang sebenarnya merasa depresi itu kan sang naratornya sendiri. Kepribadian ganda itu terbentuk karena dorongan rasa kesepian.
ReplyDeleteKalau belum nemu tempat paling damai, mending melarikan diri ke tempat atau kegiatan lain
Kadang rasanya saya cuma ingin baca tulisan-tulisanmu aja tanpa komen apa-apa, karena keseringan sehabis baca puisi, prosa atau apapun namanya di sini, saya hanya pingin diam aja, nikmatin aja. Maunya sih bilang "Wahh ini bagus" tapi kalau setiap puisi kamu saya komen begitu jadinya terdengar basa-basi banget nggak sih. Padahal nggak lagi basa-basi, beneran ini bagus.
ReplyDeleteI love this one Yog!
ReplyDeleteApalagi ada beberapa kalimat yang aku merasa, ini aku.
Kadang suka mikir, kenapa aku terlahir berbeda ya? Berbeda dalam cara pikir orang kebanyakan. Waktu disentil pas bagian apa itu pulang, yes I feel that too.
Aku kadang ngerasa g pulang walaupun ada di rumah. Akhirnya aku bingung sendiri, aku harusnya pulang ke mana?
Saya kaget waktu membacanya, jujur. Sampai nanti mau komen apa saya bingung. Kalau dilihat dari tulisannya sangat jujur, sederhana tapi mengena. Saya yakin tulisan itu dari hati Mas Yoga, entah sekarang bagimana hanya MAs Yoga yang tahu. Semoga semakin bahagia dan menemukan apa yang membuat Mas Yoga nyaman. Saya gak kenal secara personal, tapi teruslah menulis mas. Tulisan ini sangat bagus
ReplyDeletebetul sekali, saya setuju kalo mas yoga ini menuliskan kata katanya begitu baik, jarang jarang nemu tulisan begini
Deletewah keren sekali cara penulisannya mas, sajak sajak yang dirangkai menjadi cerita yang enak dibaca.
ReplyDeleteSaya cuma mau bikin tulisan ketika lagi kepengin menulis tanpa ada beban dan keterpaksaan, lalu sesekali mengikutinya dalam perlombaan yang menarik minat, dan teramat cuek sama hasilnya.
ReplyDelete....
aku pun mas. mulai berpikir seapadanya. lagi lagi ikut mas adjie santosoputro
aku mencoba mengerti apa yang kamu rasakan mas dan mungkin sebgian juga aku rasakan
kalau aku boleh kasih petikan dari Karina Nadila, Puteri Indonesia Pariwisata 2017
"Kalu sukses membuat aku dibenci orang karena sombong dan lupa akan sama kulitnya, lebih baik aku biasa-biasa aja dan sering mendapat kegagalan. Yang penting orang masih sayang sama aku orang masih kasih doa baik buat aku"
itu aja sih mas yang aku pegang juga
Bolehkah sekarang saya memanggil Anda, "Tuan Sastrawan?"
ReplyDeleteAku paling suka fiksi puisimu yg ini :D. Kata2nya berima, berasa baca fiksi dan puisi dalam 1 tulisan memang :D. Dan yg terpenting, aku bisa ngerti dan nangkep maksud yg mau disampaikan. Terasa juga kegalauan si tokohnya tentang hidup yg dia rasain.
ReplyDeleteKalo ada yg bilang, makin rumit , deep tapi susah dimengerti adalah ciri puisi bagus, aku mah emoh baca yg begitu. Sakit kepala soalnya :p. Ngapain baca sesuatu yg aku ga ngerti maksudnya :D.
Paragrafnya yang paragraf awal bukan?
ReplyDeleteSoalnya pas aku baca cerpenmu kayak pernah baca sebelumnya (di blog mu tentunya).
Btw, pas bagian ada bisikan bunuh diri, swag!!
Pas baca bagian itu aku langsung terkesima, kalimatnya itu loh, berima, terus ngalir kek aliran sungai, ikutan hanyut.. Kuereeenn!!
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.