I
Sewaktu terbangun pada dini hari, kau merasa dunia begitu sepi. Tak tahu harus melakukan aktivitas apa. Merasa menjadi satu-satunya manusia yang masih terjaga, kau lantas mengambil ponsel sekaligus earphone, serta memutar musik di aplikasi SoundCloud demi mengecoh kesepian itu. Dari sekian banyak lagu yang kaudengar, kau entah mengapa termenung pada lirik Banda Neira - Langit dan Laut:
“Langit dan laut dan hal-hal yang tak kita bicarakan.”
Kau ingin membicarakan sesuatu kepada seseorang, tapi kau takut sekali seandainya kejujuranmu itu bakal menyakitinya.
Begitu juga lirik setelahnya, “Biar jadi rahasia menyublim ke udara, hirup dan sesalkan jiwa.”
Kau sepertinya tak punya pilihan lain selain memendamnya sendirian. Atau menorehkan segala keresahanmu itu di memo. Biarlah menjadi rahasia. Biarlah berujung penyesalan.
Hampir setiap orang berkata komunikasi sangatlah penting dalam setiap hal. Masalahnya, ada situasi-kondisi di mana diam jauh lebih baik, sebab lisan maupun tulisanmu terasa sangat berbahaya. Itu senjata mematikan yang kauasah setiap hari. Yang bisa membunuh siapa pun, termasuk dirimu sendiri.
Ada beberapa teman yang berulang kali mengingatkanmu bahwa ucapanmu yang terlalu jujur atau blak-blakan itu suatu hari akan bikin dirimu celaka. Lebih halus atau direm lagilah, ujar salah satu dari mereka.
Kau sering tak mendengarkan dan cuek saja. Kau bahkan gemar memprotes, apa sih salahnya jujur? Kau memang membenci segala macam kebohongan, kecuali produk-produk fiksi yang digarap dengan ciamik. Namun, pada subuh yang berengsek ini kau mendadak kepikiran. Sudah berapa banyak yang terluka atas ejekan atau kritik atau keterusterangan dari apa yang pernah terlontar lewat mulut maupun teks itu?
Kau sungguh ingin minta maaf. Tapi tak tahu kepada siapa. Karena kau bingung siapa saja yang telah kausakiti tanpa kesadaran. Setidaknya, pikirmu, Sang Rahasia telah mendengar permintaan maafmu. Toh, sebagaimana larik puisi Subagio Sastrowardoyo: Rahasia membutuhkan kata yang terucap di puncak sepi.
Pada kesepian yang memuncak itulah kau benar-benar meminta maaf dalam hatimu. Sekalipun kau ingin berkata ini dan itu, tapi kau cuma bisa terus-terusan menahan diri. Karena selalu ada probabilitas bahwa kalimatmu bisa membuat siapa pun merana.
Sementara itu, melanjutkan larik puisi Subagio yang tadi: Ketika daun jatuh tak ada titik darah, tapi di ruang kelam ada yang merasa kehilangan dan mengaduh pedih.
Berarti jika kau memendamnya sendirian di kamar gelap dan busukmu itu, kau juga bakalan terluka, meraung kesakitan. Dilema Landak memang tai. Kau jelas membutuhkan seseorang sebagai pendengar, tapi selalu ada perasaan takut bahwa ceritamu nanti membebani mereka, bahkan melukai mereka.
Apakah tak punya tempat berbagi itu sangat menyedihkan? Kau sepertinya paham betul bagaimana perasaan terkutuk itu. Ingin bercerita, tapi tak tahu harus menghubungi siapa. Sampai-sampai membiasakan diri bercerita lewat tulisan saja agar tak usah merepotkan orang lain.
II
Sewaktu terbangun pada dini hari, kau tiba-tiba seperti mengigau, anehnya kesadaranmu tetap aktif sebagiannya karena mampu mendengar suara itu. Suara saat kau bergumam: Rani, tolong selamatkan aku. Aku butuh kamu, Ran. Sekarang juga. Aku enggak mau kesepian dan menderita sendirian.
Suaramu bagaikan hendak menangis, tapi pada akhirnya tentu tak ada setetes pun air mata. Yang jelas, begitu kesadaranmu sepenuhnya pulih, kau mengerti, sangat mengerti, bahwa manusia bernama Rani yang kaupanggil itu tak akan pernah ada. Rani hanya karakter fiksi bikinanmu. Begitu pula perempuan bernama Ayu, Gina, Winda, dan entah siapa lagi karena kau lupa nama-nama mereka. Cuma nama Rani yang paling sering kaupakai.
Rani merupakan seorang karakter yang kau ciptakan entah buat apa. Masih tak jelas tujuannya selain kebutuhan suatu cerita. Tapi di lain sisi, jauh di lubuk hati, kadang kau berharap Rani benar-benar ada. Menjadi teman mengobrolmu ketika dirimu benar-benar tersiksa oleh rasa sepi. Bahkan ada juga keinginan goblok agar dia menjadi kekasihmu.
Hingga pikiran-pikiran bodoh itu akhirnya kautorehkan dalam bentuk tulisan tanpa arah. Kau tahu, dirimu perlu memunculkan Rani lagi—entah yang sifat dan penampilannya kayak apa—ke dalam sebuah cerita demi bisa mengecoh kesepian tersebut. Namun, adakalanya energimu tersedot habis dan tak mampu menuliskan kisah-kisah yang sudah tergambar secara acak di kepala. Karena jika diteruskan, hanya akan membuat dirimu semakin nelangsa.
Rani bagaikan fragmen dari setiap perempuan yang pernah kautemui, khususnya yang tak bisa kaudapatkan cintanya karena persoalan-persoalan pelik. Kau mengambil hal-hal baik dari perempuan yang pernah kautaksir, begitu pula dengan sifat buruknya—tapi kau memilih watak yang masih bisa ditoleransi.
Itu jelas ketololan akut, sebab mana ada manusia sesempurna itu. Biarpun bodoh dan menyedihkan, anehnya kau kadang-kadang tetap memunculkan Rani. Minimal untuk berdialog pada dini hari. Kau menghadirkan Rani buat menegur si lelaki pecundang yang merasa hidupnya gagal itu.
Kata-kata Rani kerap membuatmu merasa lebih baikan, meski sesekali bikin kau ingin mengutuk hidup. Sialan, sudah tiga hari berturut-turut suara dia muncul setiap kali kau terbangun pada dini hari. Jika nanti malam masih terulang kembali, berarti kau memang perlu menuliskannya dalam bentuk cerita.
III
—Apa kau menyayanginya?
—Aku tak tahu, Ran. Aku bingung perasaanku terhadapnya ini seperti apa.
—Kau tak bisa melupakannya, kan? Sekalipun ia telah berulang kali berusaha menghindar dan mengabaikanmu, kau tetap saja peduli. Kau diam-diam masih memikirkannya. Berapa kali kau memimpikannya? Kau bahkan selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Itu pasti cinta.
—Aku sudah lupa jatuh cinta itu seperti apa. Yang aku tahu, dia selalu mendapat tempat tersendiri di hatiku. Sampai kapan pun.
—Nah, berarti kau memang menyayanginya. Sampaikanlah perasaanmu itu.
—Aku tak yakin.
—Mengapa? Kau takut?
—Iya, aku tak mau kehilangan dia sebagai teman dekat. Barangkali aku menyayanginya karena dia pernah menyelamatkan hidupku. Menggeser cara pandangku melihat dunia. Walaupun dunia terasa begitu berengsek, ternyata hidup masih layak buat dijalani. Aku begitu lemah sama orang-orang yang sangat baik kepadaku.
—Bagaimana kalau ternyata dia menyukaimu? Sayangnya, dia seorang perempuan. Dia gengsi buat menyampaikannya terlebih dahulu. Dia menunggu kejujuranmu.
—Aku kira sistem patriarki sudah usang. Kalau dia memang memiliki perasaan terhadapku, dia tentu akan bilang. Jadi, kupikir dia hanya menganggapku teman juga. Lagian, bisa saja dia sudah memiliki kekasih.
—Kau tahu dari mana? Dia tidak pernah mengunggah foto bersama laki-laki.
—Hanya menebak-nebak, sih. Lagi pula, dia manis. Masa iya, dia tak memiliki pasangan? Mungkin dia sama sepertiku. Tidak terlalu suka memamerkan pasangan.
—Bukankah kau juga memiliki paras lumayan? Kenapa kau sendiri juga memilih lajang? Itu prinsipmu, kan? Mungkin dia juga berprinsip seperti itu, atau dia memilih menunggumu. Jangan asal berasumsi dia telah memiliki pacar.
—Aku tidak sepercaya diri itu. Aku bajingan pembenci diri sendiri. Seandainya dia masih sendiri, dia tak perlu menungguku. Dia bisa mendapatkan yang lain. Yang lebih baik. Yang lebih pasti.
—Kenapa kau terus-menerus meragukan dirimu? Berapa banyak perempuan yang kau sakiti akibat kecemasanmu, bahwa kau tidak bisa membahagiakannya? Kau memilih mundur karena tak yakin dengan dirimu sendiri. Bagaimana kalau mereka sebetulnya sudah menyayangimu yang apa adanya itu?
—Kenapa jadi melebar ke perempuan-perempuan lain? Kau ingin agar aku tak menyesal seperti sebelum-sebelumnya? Melepaskan seseorang yang sebetulnya masih aku cintai, tapi aku sengaja membiarkan keraguan memudarkan rasa itu? Aku sungguh tak menyesal membuat pilihan itu. Aku bahkan tak pernah punya keinginan untuk kembali. Kini, kutegaskan kepadamu, Ran: sampah sepertiku ini tak pantas mendapatkannya. Aku cuma seorang manusia yang banyak gagalnya. Biar kuberi tahu sedikit soal kisahku yang tetap berusaha menjaga silaturahmi dengannya. Pada akhir tahun lalu, aku membuatkannya tulisan. Aku pun memberi tahunya tentang teks itu sekaligus mengaku kangen kepadanya. Aku tak mengerti, kenapa dia berulang kali masuk ke dalam mimpiku. Meskipun aku sempat lupa akan sosoknya, tapi alam bawah sadarku pasti masih memikirkannya. Segala tentangnya mungkin telah menetap di suatu sudut otakku. Aku sempat bercerita kepadanya mengenai masalahku. Dia lalu meminta maaf kalau belum sempat menepati janji untuk bertemu denganku. Dia sedang sibuk mengerjakan tugas akhir. Lalu tak ada kabar lagi darinya. Waktu terus bergeser. Sampai suatu hari, dia menemuiku di dalam mimpi. Sayangnya, setelah terbangun aku justru menahan diri buat tidak mengontaknya. Tak lama, dia menyebutku di kolom komentar salah satu post Instagram yang membahas sebuah film. Aku pernah merekomendasikan film tersebut. Sialnya, Instagram milikku eror. Aku tak bisa membalas komentarnya. Mungkin karena ponselku ketinggalan zaman. Aku pun mencari alternatif: menghubunginya lewat Line. Tak ada balasan hingga berbulan-bulan. Lantas, kemarin aku mengontaknya lagi setelah sekian lama via WhatsApp sehabis mendengar kabarnya yang baru saja wisuda. Dua atau tiga hari sebelumnya, aku sengaja menyibukkan diri untuk menggambar ulang salah satu foto dirinya dengan coret-coretan. Aku ingin memberikan dia gambaranku yang jelek itu sebagai hadiah atau ucapan selamat.
—Kau sungguh berani ya.
—Enggak, aku ini sebetulnya pengecut banget. Aku perlu menunggu momen semacam itu hanya untuk berkomunikasi dengannya. Lalu aku tak menyangka dia masih menyambutku. Kami pun bertukar kabar, mengobrol, dan seterusnya, dan seterusnya, hingga kami sepakat buat ketemuan. Dia nanti akan segera mengabariku ketika dirinya luang. Pada siang harinya, aku menuliskan sedikit perasaanku. Aku memujinya manis di salah satu foto Instagram dia dengan kalimat bertele-tele. Namun, sehabis itu dia langsung berhenti mengontakku. Sampai sekarang. Mungkin dia menangkap kalimat itu mengandung sebuah makna atau perasaan. Sejujurnya, aku tak tahu apakah yang kuketik itu memiliki pesan tersirat. Aku cuma menumpahkan apa yang ada di kepala dan hatiku. Mungkin dia sengaja mendiamkan pesan-pesanku karena tak mau menyakitiku. Atau itu sebuah pertanda: dia memberikan penolakan. Sungguh, aku sedih tidak mendapatkan kabar darinya secara langsung. Aku cuma bisa mengetahui kehidupannya lewat InstaStory. Jika boleh jujur, aku tidak menyukai fitur itu. Tapi dari sekian banyak teman, cuma Story dia yang rela kutonton. Sebatas menemukan dia masih hidup dan baik-baik saja, entah mengapa sudah cukup. Begitulah.
—Gila, kau mencerocos tak ada hentinya. Ini mah tandanya jelas sekali.
—Tanda apa?
—Tanda bahwa kau mencintainya, bodoh.
—Aku kan sudah bilang, aku tak tahu soal perasaan semacam ini. Yang aku rasakan sekarang, aku mendadak ingin menangis karena tak mampu jujur kepadanya tentang semua racauan sinting ini. Tolong tinggalkan aku sendiri, Ran. Jangan ganggu aku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang cinta. Aku sedang muak dengan kata cinta. Biarkan aku menikmati kesepian. Biarkan aku menangis seorang diri. Aku ingin segera terlelap. Siapa tahu aku bisa berjumpa dengannya lagi di dalam mimpi.
—Maafkan aku, ya. Aku tak bermaksud membuatmu bersedih.
—Kau tak perlu meminta maaf, Ran. Biar bagaimanapun, terima kasih sudah membuatku lebih lega.
2019-2020
12 Comments
Biarpun ada sesosok bayangan "Rani" yang ceritanya jadi temen si pencerita, ttep aja si pencerita nyerocos sendiri yak, macem monolog haha. Okeh mantablah, palagi pake sudut padang org ke 2. Masih agak keder kyaknya klo gue nulis sndiri. Emosinya dapet sih ini. Kyaknya sayang banget klo dibaca dalem hati. Gue bacain kenceng asik banget, terutama pas bagian dialog dan nyerocos itu yak, brasa lebih mendalami peran sbg karakter tsb klo smbil dibacotin hhahaay.
ReplyDeleteKenapa meski bentuknya dialog tetap seperti monolog? Karena dia hanya butuh didengarkan aja. Jadi nyerocos aja udah biar lega. Haha.
DeleteYa ampun, segala dibaca dengan suara. Makasih lho~
Setuju Ama komen di atas, emosinya dapet, dan aku jadinya coba juga baca dengan suara :D. Jadi makin dapeeet feel nya.
ReplyDeleteBtw Yog, ini sbnrnya ingetin aku Ama zaman kecil SD sampe smu, aku srg punya temen khayalan begini, yg biasanya jadi temen 'ngobrol' di buku harian. Aku ksh nama Jane dan Harris. Kayaknya aku ksh nama itu Krn dulu ada tokoh buku cerita yg bernama itu dan aku suka banget Ama karakternya. Jd aku pake di dalam ceritaku sendiri :D.
Buat org lain mungkin aneh, bisa disebut gila kali. Tapi buatku, yg ga terlalu suka berbaur Ama org lain dulunya, punya temen imaginasi ini justru bikin aku g kesepian :).
Woah, terima kasih, Mbak.
DeleteNamanya dari karakter orang luar ya. Haha. Saya lokal banget. Seingat saya Mbak Fanny juga sempat menyinggung hal ini di tulisan saya lainnya. Bedanya sekarang dijelaskan lebih detail dan disebutkan nama karakter imajinasinya.
Bagi orang yang menulis fiksi, sebetulnya sangat wajar sih. Dia mendengarkan suara-suara semacam itu di kepalanya. Hingga terlahir berbagai karakter.
Saya sendiri enggak peduli kalau dibilang gila cuma karena begini. Buat saya malah normal. Sebetulnya enggak beda jauh sama self talk. Ini versi lebih jauhnya, makanya semacam dibayangkan orang lain, bahkan suaranya juga cewek.
mas, sudut pandang orang kedua yang sering kau ceritakan selalu membuatku suka
ReplyDeleteaku coba buat kok ya engga pas huhu
oh ya, teman imajinasi saya juga punya
ada cewek ada cowok
apalagi sejak coba belajar metode jessica kadang lumayan nyata juga
bisa jadi teman di kala bingung mau ngapain
Makasih, Mas Ikrom. Cara saya menuliskan sudut pandang orang kedua itu menempatkan diri sebagai pembaca juga, sih. Gimana susunan kalimatnya dibikin lebih visual. Entah akan berhasil atau enggak bagi pembaca lain, tapi selama diri saya puas, saya kira itu cukup.
DeleteBanyak kok sebetulnya yang begini. Orang-orang yang menciptakan alter ego juga ada kan. Mungkin enggan buat menyatakan diri aja. Hahaha.
Ah, Shit.
ReplyDeleteknp nih mas Firman???
DeleteMungkin terbawa suasana saat baca ceritanya.
DeleteRan Ran... kamu tuh ya...
ReplyDelete:D
kira2, ada kelanjutannya gak nih mas?
Enggak ada, Mas. Sudah berhenti sampai di sini.
DeleteSalam kenal kak, ini koment perdana saya semoga bisa menjadi teman yang bisa saling berbagi informasi
ReplyDelete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.