“Mari bermain mengenang suatu momen. Apa yang sedang kau lakukan pada setahun silam di tanggal yang sama? Apakah hari itu kau merasa sedih atau bahagia?”
Dia baru saja membaca cuitan yang aslinya berbentuk bahasa Inggris lewat di lini masanya, dan dia jadi ingin mencoba untuk menelusuri ingatannya pada tanggal 17 November setahun lalu. Ingatan itu pun membawanya pada momen ketika dia sedang membaca ulang epigraf buku Between Parentheses karya Roberto BolaƱo demi bisa mengembalikan energinya untuk mengisi buku jurnalnya lagi, yang sebelumnya dibiarkan tak terurus selama dua bulan terakhir. Kalimat yang dia maksud itu berbunyi: “Dari apa yang hilang, kehilangan yang tak bisa diperoleh kembali, semua yang ingin kupulihkan adalah ketersediaan tulisan harianku, kata-kata yang mampu menjambak rambutku dan mengangkatku ketika aku kehabisan tenaga.”
Sebelumnya dia memang selalu tertatih-tatih selama menjalani kesehariannya, lantas dalam dua minggu belakangan ini dia benar-benar kehabisan tenaga. Sejak mengambil berbagai tawaran kerja lepas sejak awal bulan hingga pertengahan bulan, terutama pekerjaan terakhirnya yang belakangan diketahui bayarannya sangat gelap, atau dengan kata lain: dia sempat mendengar kabar bahwa kemungkinan besar pekerjaannya itu tak memperoleh bayaran apa pun selain satu buah kemeja batik yang dikenakan selama bertugas, ucapan terima kasih, serta doa semoga kebaikannya dibalas dengan pahala, dia seolah-olah selalu kehilangan energinya kala beraktivitas.
Dia pun mencoba melarikan diri dari kenyataan sekaligus mengistirahatkan diri sementara ini dengan mengurung diri di kamarnya. Realitasnya kini hanya diisi dengan menonton aneka film di laptopnya dan bermain gim, sedikit upaya yang bisa dia perbuat untuk mengobati perasaan kecewa berat yang sulit terjelaskan. Saking kecewanya akan sebuah pekerjaan melelahkan yang tidak memperoleh bayaran, dia jadi belum berminat lagi mencari tawaran pekerjaan serabutan baru maupun melamar kerja tetap sekalipun dia sangat membutuhkannya.
Dia mencoba bangkit dari kesedihan dengan memikirkan tulisan harian yang dimaksud oleh BolaƱo itu, tetapi dia tak yakin bahwa jurnal harian yang sempat dia coba tuliskan mampu mengisi energinya kembali. Bagaimana mungkin tulisannya itu bisa memulihkan tenaga, jika kalimat awal di jurnal miliknya malah berisi keluhan dan makian tentang hidup: “Hidup begitu anjing dan cuma bertahan yang saya bisa.”
Dia mungkin bingung harus memakai kalimat seperti apa lagi, sebab hanya kata-kata itulah yang mampu meringkas perasaan letihnya. Rasa capek pada tubuh, pikiran, dan hati bercampur menjadi satu, bukankah memang terasa bajinganjing?
Dia mengingat lagi kejadian malam itu pada pukul sembilan, sepulangnya bekerja mengangkat piring-piring kotor di sebuah acara perkawinan seorang tetangganya—kira-kira dia telah bekerja seharian dari pagi hingga malam selama 11 jam, dia bagaikan mau ambruk saat itu juga, dan ingin sekali mengeluh capek sebelum mengistirahatkan diri. Entah memang sebelumnya psikis dia telah membaik atau dia hanya berpura-pura dengan maksud membohongi diri (meyakinkan kondisinya selalu dalam keadaan baik), yang jelas seluruh energinya tersedot habis tak bersisa. Malam itu dia rasanya mau tidur seharian penuh hingga satu tanggal terlewati begitu saja sewaktu dirinya berada di alam mimpi, atau kalau perlu dia ingin berhibernasi selama beberapa hari seakan-akan dirinya seekor tupai.
Sudah empat hari terlewati begitu saja. Dia tak ada hasrat sama sekali dalam menjalani aktivitas yang kelak bisa menghasilkan uang. Dia cuma ingin bermalas-malasan tanpa memikirkan hidup ke depannya. Dia tentu pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Biasanya karena dia kurang tidur, aktivitasnya dalam sebulan belakangan sungguh padat-merayap dan rasanya dia butuh libur sejenak, serta lupa menuliskan keluh kesahnya di buku jurnal sebagai terapi jiwa. Anehnya, kali ini dia terbiasa tidur cepat dan bangun lebih pagi, kegiatan-kegiatannya juga termasuk normal selain bekerja sebagai tukang angkat piring kotor di acara pernikahan yang lebih dari 8 jam (merujuk jam kerja normal pada umumnya), dan dia juga mulai mengisi buku jurnalnya selama tiga hari terakhir ini.
Jadi, apa yang sebenarnya membuat dia bagaikan manusia yang sangat kelelahan mental semacam itu? Mungkin karena banyak kekecewaan yang mengendap di tubuhnya. Penyebab utamanya pun bisa dipastikan lantaran yang satu ini:
Sekitar seminggu sebelum dia bekerja sebagai tukang angkat piring-piring kotor di pesta pernikahan, dia baru saja menerima kabar buruk dari Rangga, seorang kawan yang pernah menawarkannya sebuah pekerjaan, bahwa perusahaan yang dua bulan silam dia targetkan buat bekerja sebagai admin media sosial mendadak menunda perilisan cabang barunya entah sampai kapan, sehingga kemungkinan besar dia batal bekerja pada bulan November ini, bahkan tahun ini. Mungkin juga tak ada harapan lagi dari perusahaan itu karena mereka juga ikut terdampak krisis, pikirnya, terlebih lagi ada desas-desus tentang perusahaan utamanya akan bangkrut jika masa pandemi masih berlanjut hingga setahun ke depan.
Dia tak menyangka bahwa hidupnya bisa sesial ini. Kalau dia mengenang hari ketika tawaran pekerjaan itu datang, dia benar-benar gembira dan sangat semangat dalam menjalani kesehariannya. Sungguh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Dia masih ingat dengan jelas kala Rangga mengoper tawaran pekerjaan sebagai admin media sosial kepadanya. Sebetulnya Rangga lah yang mestinya mengisi lowongan pekerjaan itu, sebab si pemberi kerja adalah teman baiknya saat mereka kuliah dulu. Tapi berhubung Rangga telanjur diterima saat mengikuti tes CPNS dan tinggal menunggu waktu sampai pengumuman dia bakal ditugaskan di kota mana, maka harus ada orang lain yang menggantikannya. Oleh sebab itulah, Rangga memilih dia yang menggemari dunia tulis-menulis karena pekerjaannya nanti memang berhubungan dengan kata-kata semacam bikin cuitan maupun caption atau sejenisnya.
Dia sebenarnya sadar kalau belum menguasai bidang utama dari perusahaan yang akan dia ambil kelak, tapi dia terus meyakinkan diri untuk berusaha menyanggupi tugasnya itu selama ada data-data yang dapat diolah menjadi tulisan, begitu juga kemauan di hatinya untuk belajar hal-hal baru di luar dunia yang telah dia rasa akrab. Syukurnya pihak si pemberi kerja juga merasa oke ketika meninjau contoh-contoh tulisannya. Itu berarti dia memang dianggap memiliki potensi.
“Tapi karena ini anak perusahaan dan masih baru, mungkin gajinya belum sebesar perusahaan utama,” ujar Rangga. “Enggak apa-apa, kan?”
Dia pun menanyakan kisaran gaji tersebut kepada Rangga. Setelah memperoleh jawaban dari nominal yang amat penting ini, biarpun belum menyentuh UMR Jakarta, sewaktu dia pikirkan baik-baik dan renungkan, lalu mengestimasikannya dengan beban kerja ataupun biaya hidup, bagusnya masih sebanding dan lebih dari cukup. Toh, siapa tahu nanti bakal ada kenaikan gaji.
Paling tidak, dia cuma mau segera memperoleh penghasilan pasti di tengah krisis moneter ini. Tak baik menolak tawaran yang datang. Apalagi dia sendiri sudah kelewat bingung kudu bersiasat seperti apa lagi dalam menghidupi diri sendiri tanpa menjadi beban orang tuanya.
“Oke, nanti kelanjutannya bakal kukabari lagi, ya.”
Dia pun kembali mengucapkan terima kasih kepada Rangga.
Namun, seperti yang sudah-sudah, dia rupanya batal bekerja. Lagi, dan lagi, dan lagi. Hidup begitu anjing, umpatnya. Anjinglah hidup ini, ujarnya lagi, kali ini dengan teriakan yang lebih keras ketimbang sebelumnya.
Apakah dia sangat sedih akan kejadian satu tahun lalu itu? Dia tak benar-benar tahu. Sulit buat menjawab pertanyaan semacam itu, apalagi pada tahun 2021 ini juga banyak hal yang membuatnya kecewa. Konyolnya, dia kini tidak merasa putus asa lagi. Dia hanya bisa pasrah menerima segala problema kehidupan yang menimpanya. Barangkali karena pada 2020 dia sudah keseringan mendapatkan berita buruk ketimbang kabar baik, jadi sepertinya hati yang terlalu sering patah itu sudah mulai terlatih pada 2021. Bahkan dia yakin 2021 merupakan tahun terburuknya sepanjang hayat, persisnya ketika dia terinfeksi virus Corona dan sempat berpikir kalau dirinya berada di ambang kematian.
Dia telah menyadari bahwa dunia ini sudah terlalu sering menolaknya, kegagalan pun kerap menghajarnya, sampai-sampai dia tak mau berharap apa-apa lagi dalam menjalani hidup. Mungkin masih bisa tetap hidup dan bernapas sehabis terpapar virus Corona itu bagaikan sebuah mukjizat baginya.
Lagi pula, masa-masa yang gelap dan kelam itu sudah berakhir. Malam sudah hampir usai, pagi akan segera tiba, dan langit sepertinya telah berganti warna menjadi terang, tenang, dan senang. Sebagaimana momen di film-film horor yang sepanjang cerita kerap dipenuhi oleh kegelapan, kecemasan, dan ketakutan, nanti pada akhir film biasanya matahari pagi akan bersinar. Seolah-olah menandakan kalau hari baru telah tiba, dan dia bisa bersikap lebih santai maupun bernapas lebih lega.
Dia akan tetap melakukan segala hal dengan performa sebaik-baiknya walaupun hidup yang begitu anjing ini tak pernah menawarkan kepastian. Dia juga masih ingin terus bertarung, sekalipun dia tahu apa pun yang dia lakukan, pada akhirnya akan selalu dikalahkan oleh takdir kehidupan. Setidaknya, dia hanya ingin memandang dunia ini dengan terang benderang, meskipun kegelapan masih terus mengintai dan sewaktu-waktu pasti akan kembali menyelimutinya.
--
Sumber gambar: quotefancy.
2 Comments
Sediiih bacanya loh š. Terlepas ini fiksi atau bukan, tapi kayak pengen kasih semangat buat tokohnya š. Semoga masih percaya kalo hidup itu roda. Ga mungkin selamanya di bawah, ada waktu nya, walo mungkin takes time ,itu bakal bergerak naik š
ReplyDeleteBtw, aku kalo disuruh inget2 setahun yg lalu Yog, ga akan mungkin inget sih š¤£š¤£. Kec aku rutin nulis jurnal kali yaa . Sayangnya ga serutin itu sampe nulisin tiap hari š
Niat menulisnya buat mentertawakan nasib yang diolah jadi fiksi. Tapi kalau malah bikin sedih yang baca, berarti memang perlu memperbaiki gaya menulisnya nih. XD
DeleteMemang sulit mengingat kejadian pada tanggal tertentu, kecuali ya ada sesuatu hal yang memang bikin terpicu atau orang itu rajin nulis jurnal. Toh, ini fiksi juga dan ceritanya dimaksudkan mengingat kenangan buruk yang semakin merembet.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.