Tujuh tahun silam, sepulangnya aku dari rumah pacarku (yang kini jelas-jelas sudah menjadi mantan, tapi akan tetap kusebut pacar demi memudahkan penceritaan) di kawasan Perumahan Swadaya Asri Bintaro, aku malah bisa-bisanya terjebak banjir ketika melintasi jalan keluar/masuk kompleks yang berada di seberang Universitas Budi Luhur. Aku sudah lupa persisnya pada hari itu apakah hujan turun begitu lebatnya sejak siang hingga sore, atau hujan deras hanya terjadi sebentar terus reda, yang jelas kali di sebelah kiri jalanan itu meluap dan membanjiri jalan yang biasa kulewati.
Aku kebetulan memang tak tahu jalan lain selain lewat situ, sehingga mencoba memaksakan diri lantaran menyangka banjirnya dangkal. Apalagi sewaktu aku melihat seorang bocah yang naik sepeda dengan santainya, tentu tak ada pikiran buruk tentang motorku yang akan mogok. Dugaanku tentang banjirnya dangkal rupanya keliru. Mesin motorku yang semula aman justru mulai terendam dan akhirnya mendadak mati. Hal itu pun memaksaku untuk mendorong motor hingga ke jalan raya.
Apesnya, begitu aku berhasil sampai ke pinggiran jalan raya dan mencoba menghidupkan kembali mesinnya, motorku tak kunjung menyala. Kala tersadar bahwa aku sangat memerlukan pertolongan serta membutuhkan teman bicara, maka aku segera menghubungi pacarku dan memberi tahu apa yang tengah terjadi.
“Kamu kenapa nekat, sih? Kamu kan bisa cari jalan lain,” katanya.
“Kamu kan tahu, aku masih belum paham jalanan di sekitar sini.”
“Dih, kamu kan bisa tanya sama aku.”
Ya Allah, ujarku, aku tadi enggak kepikiran bakal mogok, dan aku kira banjirnya cetek.
Pacarku merongseng beberapa detik, lalu berkata, Terus sekarang gimana? Masih belum bisa nyala motornya?
“Iya, belum nyala nih, padahal aku udah coba berkali-kali, businya juga udah aku lap dan tiup, tapi hasilnya sama aja. Nanti kayaknya aku mau cari bengkel di sekitar sini kalau tetap enggak bisa.”
“Oh, ya udah. Semoga motornya bisa nyala lagi. Kamu hati-hati, ya. Nanti kabarin aku kalau udah sampai rumah.”
Sambungan telepon kemudian kututup. Aku mencoba sekali lagi mengutak-atik businya dan menyalakan motor tersebut. Syukurlah kali ini mesinnya langsung menyala, dan aku jadi tak perlu ke bengkel sekaligus merogoh kocek. Apakah motorku dapat kembali menyala ini merupakan keajaiban sehabis mengeluh kepada pacarku, atau karena dia telah mendoakan hal baik untukku? Apa pun itu, aku seketika mendadak bahagia.
Namun, kebahagiaan biasanya berumur pendek. Tujuh bulan berikutnya kebahagiaan itu telah sirna, sebab frasa “jalan lain” yang pernah pacarku lontarkan itu justru dia pakai sendiri untuk memilih pergi dari hidupku.
Sebagaimana aku yang waktu itu terjebak banjir dan mestinya mencari jalan lain, mungkin baginya rute yang kami jalani bersama dalam setahun itu sudah tidak bisa dilalui lagi, sampai-sampai dia harus memilih jalan lain yang baginya lebih nyaman dan membahagiakan. Walaupun awalnya aku sempat tak rela dan kerap mengasihani diri sendiri, baguslah pada semester berikutnya aku mulai menyadari bahwa keputusan itu memang jalan yang terbaik bagi kami berdua.
--
Mulanya tulisan barusan adalah draf cerpen yang ditulis pada 2017, tapi penulisnya mulai benci untuk mengingat-ingat memori kelam dan akhirnya dia malas melanjutkan kisah romansa yang terinspirasi dari pengalamannya sendiri. Cerpen ini sengaja ditaruh di blog karena siapa tahu suatu hari kelak dia berubah pikiran dan iseng mengembangkan jalan ceritanya.
Berhubung si penulis juga tak sengaja mendengar kabar tentang mantan di dalam cerita ini habis menikah, dia jadi ingin mengucapkan selamat dan semoga kamu bahagia. Terima kasih telah melukiskan warna merah jambu pada masa perkuliahanku.
2 Comments
Sebuah potongan cerita yang menarik. Saya nunggu versi modifikasinya deh.
ReplyDeleteKisah romansa yang mengarah ke sedih begini apa patut ditunggu? Kalau manis kayak tulisan lu mah wajar buat dinikmati orang kan. Entah kapan juga bakal ada minat modifikasi ceritanya. Haha.
Delete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.