Setengah jam sebelum Dimas tertidur, dia baru saja menonton video rekaman CCTV yang beredar di media sosial tentang seorang perempuan yang sedang dibuntuti oleh orang asing ketika berjalan sendirian pada malam hari, lalu si perempuan langsung merasa sok akrab dengan segerombolan muda-mudi yang berada di kawasan itu demi menyelamatkan diri dan meminta pertolongan mereka. Meski perkataan si perempuan tidak terdengar di video tersebut, Dimas berusaha menafsirkan bahwa cewek itu sengaja berpura-pura kenal dengan mereka yang lagi pada nongkrong agar si penguntit tidak lagi meneruskan niat jahatnya.
Mata Dimas pun otomatis berkaca-kaca. Antara terharu masih ada orang baik di sekitar atau sedih kenapa banyak orang jahat di luaran sana atau malah paduan keduanya. Terlepas dari hal itu, Dimas betulan bingung, apa, sih, motivasi seseorang ingin berbuat jahat seperti yang terekam di video CCTV itu? Dia sama sekali tak bisa memahami hal semacam itu. Apakah itu tandanya dia termasuk orang baik?
Tanpa bermaksud mengeklaim diri sendiri baik, Dimas mengakui dirinya pasti juga pernah berbuat hal jahat dalam 5 tahun terakhir. Misalnya, dia sempat mengejek sebuah buku yang laris, padahal menurutnya buku itu tak layak terbit, apalagi sampai dibaca oleh banyak orang karena isinya cuma kumpulan kutipan cinta tak berguna; dia pernah pura-pura masih sayang kepada pacarnya lantaran takut sendirian lagi—sekalipun ujungnya putus juga, intinya dia sebelumnya telah membohongi perasaannya sendiri maupun kekasihnya dalam beberapa bulan; dan tentunya Dimas pernah membantah kalimat orang tuanya.
Namun, jahat yang Dimas maksud ini lebih ke tindakan kita terhadap orang asing yang mengarah pada tindak kriminal sebagaimana dugaannya terkait video rekaman CCTV yang barusan dia tonton. Dimas lagi-lagi memikirkan apa tujuan orang asing itu membuntuti seorang perempuan yang lagi berjalan sendirian pada malam hari? Sebatas ingin menggoda, ada yang menyuruhnya untuk mengintai si cewek, ingin melecehkan, memperkosa, atau menjambret?
Bicara tentang jambret, Dimas entah mengapa jadi ingin menengok ke dalam dirinya sendiri. Semiskin-miskinnya kondisi finansialnya (baguslah Dimas tak pernah merasa miskin, dan alhamdulillah sejauh ini juga masih selalu berkecukupan buat makan), di dalam hati dan kepalanya itu belum pernah terlintas niat maupun pikiran yang bersungguh-sungguh untuk mengambil hak orang lain lewat menipu, mencuri, menjambret, ataupun merampok—walau persoalan merampok ini pernah terbesit di kepalanya buat lucu-lucuan lantaran efek menonton La Casa de Papel (Money Heist). Di pikirannya saat itu: Seru kali, ya, merampok para cukong ataupun pejabat koruptor yang motifnya bentuk perlawanan atas kapitalisme? Tapi ya, itu murni sebatas pemikiran liar yang tak akan direnungkan lebih lanjut, terlebih lagi kalau tindakannya bakal benar-benar dieksekusi. Itu jelas mustahil bagi Dimas.
Jika ingin melihatnya dari sisi lain, sebagian orang suka mengatakan bahwa keadaanlah yang memaksa kenapa seseorang berbuat nekat dan jahat. Namun, apakah benar demikian? Dimas tak tahu apakah dirinya itu belum sampai ke titik yang mengharuskan dia berbuat jahat, atau dia betul-betul masih mampu mengendalikan diri agar hati nuraninya tidak tercemar, sehingga sampai hari ini tak pernah kalah melawan godaan-godaan untuk berbuat jahat.
Anehnya, kalau kejahatan seperti mencuri, menjambret, atau merampok yang dia pikirkan itu mengacu pada motif ekonomi, dan untuk urusan perut kadang memang bisa membuat manusia jadi beringas, atau seakan-akan itu bentuk protes orang kere yang ditujukan buat orang tajir sebab bisa jadi sebagian dari mereka sudah lelah menyaksikan ketimpangan ekonomi, lebih-lebih teramat muak melihat sebagian orang kaya sombong yang enggan berbagi kepada fakir miskin, lantas hal apakah yang membuat beberapa manusia sampai harus melecehkan ataupun memperkosa orang lain?
Apakah itu karena hawa nafsu yang tidak terbendung lagi? Ingin merasa superior dan berkuasa seandainya berhasil melakukan perbuatan nista tersebut? Yah, Dimas jelas tak mampu menjawab pertanyaannya sendiri. Dimas pun jelas sadar dirinya bukanlah manusia yang tanpa cela, karena belasan tahun lalu sewaktu dia remaja juga pernah mengejek segelintir teman sekelas di SMP-nya gembrot maupun tepos—merujuk perempuan yang payudaranya hampir rata.
Itu adalah masa-masa jahiliyah yang ingin sekali dia lupakan, sebab dulu sama sekali tak paham celaan semacam itu sangat keterluan dan dapat melukai perasaan seseorang. Tapi setelah usia Dimas hampir berkepala tiga dan mengerti mana yang hak dan yang batil, dia tentu sudah meninggalkan perbuatan nista tersebut. Terlebih lagi kini dia sangat sulit memahami pikiran jahat seseorang yang bisa-bisanya tega memperkosa, sampai-sampai tanda sadar pelupuk matanya kembali panas, lalu keringat pun keluar setetes demi setetes dari matanya. Dimas tampaknya terlalu sensitif buat perkara sejenis itu. Dimas kemudian memejamkan mata dan berusaha berjanji kepada dirinya sendiri agar tidak menjadi golongan manusia yang paling dia benci.
--
Sumber gambar: Pixabay.
2 Comments
Aku juga sering penasaran dengan para psikopat yg membunuh korban secara acak, tapi tanpa perasaan menyesal. Aku pernah beli buku ttg penjahat2 tersadis di dunia , sayang bukunya ntah kemana.. bacanya ngilu Yog. Ada Duo penjahat yg hobinya bunuh orang pake Kampak. Anak2 ataupun dewasa. Di cerita itu ditulis detil pula, gimana senengnya dia kalo denger korbannya jerit kesakitan ðŸ˜. Aku jadi heran, apa yg salah yaaa. Apa otak manusia itu memang bener kayak kabel , yg kalo korslet langsung eror orangnya? Kok bisa ga ada perasaan kasihan sedikitpun gitu loh... 😔
ReplyDeleteWih, Mbak Fanny kuat banget bacanya. Saya mah enggak akan berani.
DeleteTerkait itu, setahu saya memang ada kelainan bagian otak bernama amigdala yang ukurannya berbeda dengan manusia normal. Punya mereka lebih kecil. Bagian ini fungsinya buat merespons emosi, makanya mereka si psikopat atau mayoritas penjahat seakan-akan enggak punya perasaan sedih, takut, kasihan, menyesal, empati, dan rasa bersalah. Begitu, sih, yang ditulis di artikel tentang penelitian orang jahat, Mbak.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.