“Aku telah melihat gaya anjing lebih banyak ketimbang manusia, meskipun tak banyak anjing yang punya gaya.”
Saya pertama kali menemukan kalimat itu dalam bahasa Inggris pada 2016 di buku kumcer Dea Anugrah, Bakat Menggonggong. Dea menjadikan potongan puisi Charles Bukowski itu sebagai epigraf. Saya lantas iseng mencari tahu siapakah Bukowski ini. Beliau ternyata seorang penulis yang doyan mabok hingga hari tuanya. Bukowski pertama kali menerbitkan karya prosa ketika berumur 24, sementara menulis puisi pada usia 35, dan hingga akhir hayatnya berhasil menerbitkan lebih dari 50 buku.
Waktu itu saya penasaran sekalian menjajal beberapa puisinya yang bertebaran di internet dan merasa kurang cocok. Secara tak langsung, ada pertanyaan besar di kepala saya: Memangnya, puisi boleh kayak begitu? Kala itu saya jelas belum melahap berbagai jenis puisi dan pemahamannya masih kelewat cetek, sehingga malas ambil pusing. Namun, setelah saya mengerti kalau aturan-aturan dalam menulis boleh didobrak (catatan yang sekiranya penting: sebelum mendobraknya, pastikan dirimu sudah tahu beberapa aturan, bukan dari awal memang tak paham kaidah-kaidah dan sok memberontak, itu mah sama aja ketololan), dalam berpuisi tak perlu lagi terikat dengan rima-irama, serta cobalah rileks sekaligus bermain-main, saya kembali mencoba membaca Bukowski lagi semalam, dan langsung suka dengan salah satu puisinya. Saking kagumnya, saya akhirnya nekat menerjemahkan puisinya sekalian pengin belajar lagi dalam memandang suatu puisi.
Cara Menjadi Penulis Gacor
Kau harus ngentot dengan banyak cewek aduhai
dan menulis beberapa puisi cinta yang layak.
dan jangan khawatir tentang usia
atau bakat yang baru muncul.
cuma minum lebih banyak bir
semakin banyak bir
dan hadirilah arena pacuan kuda
seenggaknya seminggu sekali
dan menang
jika memungkinkan.
belajar untuk menang itu sulit—
setiap pemalas bisa menjadi pecundang
yang baik.
dan jangan lupakan Brahma-mu,
dan Bach-mu, dan birmu.
jangan latihan berlebihan.
tidur sampai siang.
hindari kartu kredit
atau membayar apa pun
tepat waktu.
ingatlah bahwa tak ada sebongkah pantat
(pelacur) di dunia ini bernilai lebih dari $50
(pada tahun 1977).
dan jika kau memiliki kemampuan
untuk mencintai
cintailah diri sendiri terlebih dahulu
tapi selalu waspada terhadap kemungkinan
kekalahan total
apakah alasan kekalahan itu
tampak benar atau salah—
rasa awal kematian belum tentu
sesuatu yang buruk.
jauhi gereja dan bar dan museum,
dan seperti laba-laba, bersabarlah
waktu adalah salib semua orang,
plus
pengasingan
kekalahan
pengkhianatan
semua sampah itu.
tetaplah bersama bir.
bir adalah darah berkelanjutan
kekasih yang terus-menerus setia.
dapatkan mesin tik besar
dan saat terdengar langkah kaki
naik dan turun
di luar jendelamu
hantam benda itu
hantam dengan keras
jadikan pertarungan kelas berat
jadilah banteng saat dia pertama kali masuk
dan ingatlah anjing-anjing tua
yang bertarung dengan sangat baik:
Hemingway, Celine, Dostoyevsky, Hamsun.
jika kau pikir mereka enggak gila
di ruangan sempit
sebagaimana yang kaulakukan sekarang
tanpa perempuan
tanpa makanan
tanpa harapan
berarti kau belum siap.
minum lebih banyak bir.
masih ada waktu.
dan jika tak ada
bukan masalah
juga.
Kenapa saya takjub dengan puisi itu? pikir saya. Barangkali karena pada 2020, ketika krisis pandemi membuat saya kehilangan banyak klien di bidang tulis-menulis, padahal sebelumnya minimal selalu ada tawaran kerja dalam setiap bulannya, saya merasa tertolong oleh tulisan Bukowski sembari bikin catatan refleksi terkait jalan hidup sebagai penulis. Bisa dibilang lantaran puisi di atas nadanya serupa dengan tulisan berikut.
Kau Ingin Menjadi Penulis?
Terlepas
dari segalanya, jangan melakukannya jika tak ada ledakan yang datang
darimu. Jangan mengerjakannya, kecuali kalau hal itu muncul tanpa
diminta dari hati dan pikiranmu dan mulut dan ususmu.
Jangan
melakukannya jika kau harus duduk berjam-jam menatap layar komputermu
atau membungkuk di atas mesin tikmu mencari kata-kata.
Jangan
melakukannya jika kau menulis demi uang atau ketenaran. Jangan
melakukannya jika kau menulis karena ingin meniduri perempuan.
Jangan
melakukannya jika kau mesti duduk di sana dan menulis ulang lagi dan
lagi. Jangan dilakukan jika kau hanya berpikir dan bekerja keras untuk
menulis. Jika kau mencoba menulis seperti orang lain, lupakan saja.
Jika
kau harus menunggu sampai raungan itu keluar darimu, maka tunggulah
dengan sabar. Jika raungan itu tak pernah keluar darimu, kerjakan
sesuatu yang lain.
Kau
belum siap jika kau mesti membacakannya pertama kali buat istrimu atau
cewekmu atau cowokmu atau orang tuamu atau kepada siapa pun.
Jangan
seperti kebanyakan penulis, jangan seperti ribuan orang lainnya yang
menyebut diri mereka penulis. Jangan bodoh dan membosankan dan berlagak,
jangan termakan cinta diri sendiri.
Perpustakaan
di seluruh dunia telah menguap dengan sendirinya untuk terlelap
melebihi jenismu. Jangan membuatnya semakin mengantuk. Jangan
melakukannya.
Jangan
melakukannya kecuali kalau itu keluar dari jiwamu bagaikan roket,
kecuali kalau diam akan membuatmu gila atau bunuh diri atau membunuh.
Jangan melakukannya kecuali matahari di dalam dirimu membakar ususmu.
Ketika
itu benar-benar waktunya, dan jika kau telah dipilih, kau akan
melakukannya dengan sendirinya dan akan terus menulis sampai kau mati,
atau ia mati di dalam dirimu.
Tak ada jalan lain, dan tak pernah ada.
—
Kamis, 3 Desember 2020
Kurang
lebih tiga tahun silam saya membaca tulisan Charles Bukowski (yang saya
terjemahkan seenak jidat barusan) saat sedang muak-muaknya sama dunia
kepenulisan. Bagaimana saya enggak muak dan bosan mampus, kala itu saya
memang kecewa berat lantaran memasuki dunia ini dengan pikiran teramat
naif. Nekat berhenti bekerja sekalipun saldo tabungan hanya sanggup
bertahan hidup buat 6 bulan, mengira bahwa itulah passion saya, rela
mengasingkan diri ke kafe-kafe sepi untuk menulis novel yang kelak diikutkan sayembara
tapi pada akhirnya justru masuk ke tong sampah, dan mulai sadar kalau
ternyata dunia ini tak semenyenangkan bayangan awal saya.
Saya
jelas pernah berada di beberapa fase menulis yang dilarang dalam
tulisan itu; pengin terkenal, ingin memperoleh banyak duit, dan agar
bisa memikat perempuan (tentu tak sampai ke arah ranjang sebagaimana
yang Bukowski maksud). Lalu, lama-kelamaan saya mulai membuang
keinginan menjadi seorang penulis ataupun ingin sekali berhenti menulis.
Meskipun begitu, rupanya saya masih menulis sampai hari ini.
Saya
sendiri tak tahu mengapa saya masih terus menulis. Apakah tak ada
pilihan lain dalam hidup? Apakah sudah telanjur tenggelam dan lebih baik
menyelam lagi sampai ke dasar lautnya? Atau seperti gagasan yang sering saya gaungkan: menulis untuk terapi jiwa? Jadi, mungkinkah saya menulis supaya bisa
sembuh dari gangguan kecemasan dan depresi yang pernah menyerang?
Barangkali kalau saya tak menulis, saya sudah lama memutuskan bunuh
diri.
Terlepas
dari semua itu, mungkin juga seperti yang tertera pada kalimat penutup
di tulisan tersebut, bahwa saya termasuk orang yang terpilih untuk
menulis (walaupun kualitas tulisan saya, ya begitulah, masih jauh dari
kata bagus banget). Saya tetap menulis karena dorongan ataupun keinginan
itu masih sering—bahkan selalu—muncul di dalam diri. Jika
diingat-ingat, semakin ke sini saya sudah tak pernah mempertanyakan apa
tujuan saya menulis. Saya sudah sangat kalem. Tak memusingkan apakah ada
yang membacanya atau tidak. Apakah saya kelak benar-benar bisa hidup
dari jalan sunyi ini atau tidak. Kayaknya saya sudah tak mengharapkan
apa-apa lagi dari kegiatan ini, atau dengan kata lain: bodo amat.
Mungkin saja saya memang akan terus menulis sampai akhir hayat, atau
sampai hasrat itu padam dengan sendirinya.
—
Kini hari Minggu, 3 April 2022, bertepatan dengan hari pertama puasa, yang mestinya saya menggunakan waktu luang buat fokus beribadah atau bersantai, tapi saya justru lagi menulis. Saya tentu belum mati dan terbukti bahwa hasrat menulis di dalam diri ini juga masih membara. Kalau ditanya buat apa masih rajin menulis (padahal telah sadar kalau pembacanya enggak seberapa, tulisan tergolong medioker, penjualan karyanya terlalu buruk, dan mungkin dapat capeknya doang), saya juga enggak paham. Setidaknya, saya bisa menutup tulisan ini sekalian menjawab pertanyaan itu dengan mengutip puisi Bukowski: Jika dibanding-bandingkan, aku belum seberapa. Tapi enggak ada yang tahu juga, sih, kalau tangan, telinga, dan mataku ini bakal mengalami hal apa lagi. Siapa tahu masih ada keberuntungan yang tersisa untukku, atau jangan-jangan besok aku mati.
4 Comments
hari pertama puasa aku juga nulis
ReplyDeletepadahal sudah niat nonton final pageant hehehe
memang kalau sudah jadi candu, rasanya engggak menulis itu aneh
meski belum menjadi penulis besar kayak puas aja kalau sudah nulis
aku sepakat kutipan yang terakhir
kita engga bakal tahu apa yang akan terjadi nanti
ya usdah akhirnya menulis saja
wah puisinya deep meaning banget ya :D suka!
ReplyDeleteSudah lama ngga baca puisi, maka tanggapan saya begitu membaca puisi ini, memang beda. Beda dari saya yang ngga bisa menulis puisi. Buntu baru menulis beberapa bait, apalagi jika harus menulis puisi sepanjang itu.
ReplyDeleteSecara umum saya bisa bilang puisinya bagus. Namun bukan berarti saya setuju dengan isi puisi tersebut. Tapi lebih kepada saya mengapresiasi cara penyampaian puisi itu. Sesuatu yang belum bisa saya lakukan.
Terkait menulis, saya termasuk orang yang setuju bahwa menulis bisa menjadi salah satu terapi. Setidaknya saya merasa sebagai salah seorang yang bisa keluar dari jurang depresi dengan cara menulis
Saya suka defini mendobraknya. Harus tau pakem dulu baru terobos, bukan sok2an karna tak paham ya. Nice mas
ReplyDelete—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.