Buanglah Hajat pada Tempatnya merupakan novel kedua Rio Johan yang saya baca. Untuk yang pertama, saya menjajal Ibu Susu karena tergoda dengan penghargaan yang diraihnya pada 2018, yakni Kusala Sastra Khatulistiwa dalam kategori karya pertama dan kedua. Meski saya akui ada hal-hal bagus dan lucu di novel Ibu Susu, saya tetap merasa kurang cocok dengan gaya penceritaan Rio yang porsi narasinya berlebihan dan kurang memikat. Intinya, sih, saya yakin buku itu bukan buat saya. Lalu dengan menamatkan novel yang akan saya bahas kali ini, saya jadi kian yakin kalau apa pun yang ditulis oleh Rio Johan bakal sulit saya jadikan favorit.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, saya akan berikan gambaran singkat terlebih dahulu tentang isinya yang hanya mengisahkan tai, tai, dan tai, sebagaimana teks yang tertulis di sampul belakangnya: “563 kata tahi, 459 kata tinja, ditambah sinonim-sinonim lainnya yang bertaburan.” Novel ini berlatar di suatu dunia pasca-apokaliptik yang sungguh suram dan para manusia yang tersisa terpaksa tinggal di dalam sebuah kubah metalik. Terlebih lagi di dunia itu hanya ada satu toilet yang masih berfungsi, sehingga orang-orang yang ingin membuang hajat alias berak harus mengantre hingga nomor ratusan—seperti tokoh utamanya yang mendapat giliran nomor 325.
Dalam antrean panjang itulah cerita novel Buanglah Hajat pada Tempatnya bermula. Protagonis yang sedang bosan menunggu lantas diajak mengobrol oleh pemuda bernomor antrean 324, lalu tiba-tiba lelaki tua bernomor 326 ikutan nimbrung dan entah bagaimana dia langsung mengambil peran sebagai pendongeng. Lelaki tua itu memiliki kalimat andalan, “Menunggu antrean sambil mendengarkan cerita lebih baik daripada menunggu tanpa melakukan apa pun sama sekali.” setiap kali si nomor 324 dan 325 protes dengan sikapnya yang sok asyik maupun cerita yang dituturkan si lelaki tua. Dan seperti yang bisa ditebak, cerita si lelaki tua itu selalu tentang tai atau tinja.
Buku ini lebih cocok disebut kumpulan cerita ketimbang novel lantaran isinya merupakan sebuah cerita di dalam cerita. Jadi, isi cerita novel ini memang cuma mendengarkan dongeng si lelaki tua tersebut yang diselingi keluhan si protagonis (nomor 325) maupun si nomor 324, serta terkadang mereka membuat tafsir ceritanya masing-masing. Kurang lebih ada sembilan dongeng yang dituturkan oleh si lelaki tua, dan setelah mencapai cerita ketujuh saya sepertinya mulai mabok tinja. Dari yang awalnya saya jijik dengan cerita seputar tai (khususnya di bagian putri raja yang trauma karena kejatuhan tinja, hingga berujung stres dan efeknya dia jadi suka berak di celana, mengacaukan pesta dansa, dicoret dari ahli waris kerajaan, lalu lama-lama dia pun jadi gila dan dikurung, sampai-sampai di penjara itu dia terpaksa makan tainya sendiri), selanjutnya saya bisa bersikap biasa saja (bahkan sempat makan camilan sambil membaca kisahnya tanpa mual), hingga lama-kelamaan muak. Omong-omong, saya bukan muak karena geli membayangkan tai tersebut, melainkan saya betul-betul bosan mampus dengan gaya penceritaan Rio yang sedang mencoba bereksperimen ini.
Sesungguhnya saya salut dengan keunikan cerita ini, yang benar-benar berani mengangkat tema tai menjadi sebuah cerita. Bisa dibilang ini juga pertama kalinya saya membaca kisah yang seluruhnya tentang tai sepanjang 400 halaman. Namun, apakah kebaruan semacam ini pantas saya jadikan pujian? Hanya karena berhasil mendobrak suatu kebaruan, bukan berarti melupakan esensi bercerita untuk memikat pembaca, kan?
Saya tak tahu apakah ada orang lain yang sepakat dengan opini saya, tapi saya ingin bilang bahwa eksperimen Rio tergolong gagal, khususnya gagal dalam mempertahankan pembaca untuk tetap betah menyimak ceritanya. Saya bahkan sempat kaget di cerita novel ini ada momen ketika si lelaki tua bilang kepada nomor 324 dan 325 tentang kisahnya yang membosankan atau berbelit-belit. Hal itu membuat saya menginterpretasikan kalau Rio sedang mengkritik dirinya sendiri, atau dengan kata lain dia mencoba bilang: “Iya, saya tahu di novel ini ada bagian yang bikin jenuh, terus saya coba jadikan lelucon sekalian nih terkait bagian membosankannya biar kalian terhibur.”
Sayangnya, saya sudah tak punya kesabaran buat terus mengikuti kisahnya dengan cermat ketika berada di halaman 300-an. Saya seakan langsung paham bahwa saya tak akan mendapatkan apa-apa jika memaksakan membaca novelnya sampai rampung. Alhasil, saya mulai membaca dengan teknik skimming lebih dari 50 halaman hingga bagian akhirnya. Begitu sampai akhir, benar saja tak ada satu pun kisah yang membuat saya terkesan. Bahkan cerita yang menggunakan majas personifikasi, yang biasanya selalu jadi andalan saya, di novel ini pun sulit buat saya sukai. Ketika tai-tai itu sedang mengobrol dan membicarakan inangnya (ia keluar dari pantat siapa dan bagaimana prosesnya) rasanya sama sekali tak menarik. Oke, mungkin ada beberapa adegan berak di tempat umum yang jika dibayangkan terasa lucu, tapi sialnya saya keburu lelah dan jenuh, sehingga tak bisa tertawa. Bibir saya saat itu palingan cuma nyengir sedikit.
Saya telah rela meminjamnya sebanyak tiga kali di iPusnas demi menuntaskannya. Jika direnungkan, sekali peminjaman buku berdurasi 5 hari, dan itu berarti sekitar dua minggu saya sudah meluangkan waktu untuk cerita tai yang benar-benar kayak tai. Kalau meminjamnya secara gratis saja bisa bikin jengkel begini, saya sungguh tak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang membeli bukunya dan sepemikiran dengan saya, apalagi sampai merasa teramat kecewa.
Pelajaran penting buat saya: Kalau sedari awal sudah merasa tak cocok, lebih baik tak perlu dipaksa, sebab masih banyak buku asyik yang perlu saya baca.
Namun, biar bagaimanapun saya berharap orang lain bisa cocok dengan kisah yang dituturkan oleh Rio. Karena ketika saya membayangkan hal baiknya, orang-orang itu pasti lebih banyak tertawa menikmati keganjilan-keganjilan seputar tai, yang sialnya belum mampu menghibur seseorang di dalam diri saya yang banyak mau dan menuntut lebih.
8 Comments
Wkwk aku baca ulasan Kak Yoga kali ini bikin ketawa-tiwi sendiri 🤣. Beberapa waktu lalu, aku sempat ingin baca buku ini, tapi nggak jadi baca karena melihat jumlah halamannya yang tidak sedikit 😂. Kak Yoga, aku salut karena berhasil menuntaskan buku ini meskipun udah muak di tengah jalan wk. Rasa-rasanya pilihanku untuk nggak baca buku ini adalah pilihan yang tepat karena sepertinya aku nggak akan sanggup baca dan akan mual karena terlalu banyak per-tai-an di buku ini 😂.
ReplyDeleteAku sendiri pernah baca buku Rio Johan yang judulnya Ibu Susu dan karena lumayan suka dengan kepenulisannya, makanya ingin coba buku Rio Johan lainnya saat itu hahaha. Mungkin kalau Kak Yoga suka dengan kepenulisan Rio Johan, bisa coba baca Ibu Susu yang menurutku ceritanya lebih bisa ditolerir karena nggak membahas tai 🤣 dan jumlah halamannya lebih sedikit.
Btw, setuju dengan pernyataan terakhir, kalau sedari awal sudah merasa nggak cocok, lebih baik jangan dilanjutkan. Dulupun aku termasuk orang yang merasa sayang karena udah baca sedikit atau setengah dari sebuah buku yang aku ngerasa nggak cocok, mikirnya nanggung gitu masa nggak sampai akhir bacanya. Alhasil, lama-kelamaan aku menyerah sih karena biasanya kalau dari awal udah nggak cocok dan dipaksa baca malah jadi reading slump. Mulai saat itu, kalau aku ketemu buku yang nggak cocok, biasa langsung baca endingnya aja wk
Saya penasaran, sih. Ternyata ya kumpulan dongeng tentang tai dijadikan satu gitu.
DeleteLoh, Lia kurang fokus, ya? Saya kan sempat menyebut novel Ibu Susu di paragraf awal. Saya akui memang lebih asyik itu. Tapi tetap ada hal yang buat saya kurang cocok dengan gaya penceritaannya.
Iya, langsung tinggalkan dan baca ending memang pilihan tepat daripada memaksakan diri, terus merasa waktunya terbuang.
Oiya! mohon maaf aku kurang konsen tadi waktu baca 😂, terlalu fokus dengan isi ulasannya wk. Kalau Ibu Susu, aku suka ide ceritanya, belum pernah baca tema yang seperti itu soalnya 😂. Jadi, apakah kapok baca karya Rio Johan? Wk
ReplyDeletePermintaan Perempuan Iksa yang keterlaluan banyak juga lucu itu, walau terkesan memperpanjang halaman.
DeleteKapok sih enggak, hanya malas aja buat mengikuti cerita dia yang lain, yang saat ini beredar kayak Rekayasa Buah. Kalau dia rilis karya baru lagi, siapa tahu bisa tergoda jika premisnya menarik.
Hahahahahaha kok lucu reviewnya. xD Baca nomor antreannya jadi inget Squid Game. Jujur di tengah-tengah membaca aku pingin lho pinjem ini di iPusnas karena kok kayaknya kocak ya bukunya, tapi juga menjijikkan. xD Kemudian teringat pernah hampir nggak nafsu makan gara-gara baca bab Ajo Kawir eek di novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, jadi batal deh pinjam novel ini, daripada xD
ReplyDeleteMemang bisa dianggap kocak sih, karena kan preferensi komedi orang bermacam-macam. Hal jorok seperti di novel ini jelas bisa diketawain. Sayangnya, seperti yang saya tulis, saya udah keburu muak. Haha.
DeleteYog, jauuh lebih lucu baca ulasanmu sepertinya, drpd baca bukunya langsung 🤣🤣🤣🤣. Aku ga kebayang baca 400 halaman ttg tai semua 😄😄. Eh tapi, jujur penasaran. Cuma Krn aku udh di warning setelah baca ini, jadi rasanya aku mau baca sedikit bagiannya aja ,🤣 mau liat segeli apa ceritanya 😄.
ReplyDeleteUntung ipusnas yaaa, bukan buku fisik 😁.
Akupun skr ini sedang baca buku yg isinya bikin geli, Krn pake kata2 baku bangettt. Hadeuuuuh mana 496 halaman 😂. Kayaknya kalo sampe bab2 selanjutnya masih begini, akupun bakal baca secara cepet ajalah. Ga sanggub mata liatnya
Tergantung ketahanan sih, Mbak. Kalau merasa baik-baik aja dengan kisah serta lelucon tentang tai semua, sepertinya bisa kuat sampai akhir. Saya keburu lelah di halaman 300-an. XD
DeleteGokil, lebih tebal buku yang lagi Mbak Fanny baca ya. Saya kayaknya nanti mau cari yang tipis-tipis aja. Kalau belum memfavoritkan penulisnya, cukup ragu buat menjajal novel tebal lagi.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.