Novela Dongeng Pulau Tak Dikenal karya Jose
Saramago merupakan buku pemberian seorang kawan baik. Saya tak tahu apa
alasan dia memberikan buku tersebut. Saya hanya bisa menduga begini:
Mungkin dia bermaksud memberikan referensi, sebab saya pernah curhat
ingin menulis sebuah novela—yang sialnya masih mandek hingga sekarang.
Kala itu, kalau tak salah ingat pada akhir 2020, saya telah menerbitkan
satu kumpulan cerpen dan satu himpunan puisi, lalu sedang proses
penggarapan satu memoar dan satu kumcer. Dia pun menawarkan diri buat
menjadi pembaca awal kumcer itu. Di tengah-tengah obrolan itulah saya
dengan percaya dirinya berkata, Kalau proyek ini selesai, saya kayaknya
pengin coba menulis novel—yang beberapa detik kemudian langsung saya
ralat: Tapi dari yang udah-udah, saya biasanya bakal mandek di halaman
30-50, jadi mendingan bikin novela/novelet aja yang lebih pendek sebagai
permulaan.
Novela
memang posisinya berada di antara cerpen dan novel, baik dari segi
jumlah halaman maupun tingkat kedalaman cerita. Masalahnya, saya cukup
bingung dalam menilai Dongeng Pulau Tak Dikenal ini sebagai novela.
Halamannya kurang lebih hanya 50 lembar, dan sepertinya lebih cocok
disebut cerpen. Buat saya, sih, karya yang cocok disebut novela itu
seperti Metamorfosis (Kafka) dan Kappa (Akutagawa). Namun, saya tentu
bisa abai terkait penyebutan karya itu—sebebasnya mau dianggap sebagai
cerpen maupun novela.
Sejak
halaman pembuka, Saramago langsung mengkritik kebiasaan seorang raja
yang gemar menghabiskan seluruh waktunya di depan pintu hadiah (yang
ditujukan kepadanya), sementara jika ada yang mengetuk di pintu petisi,
sang raja bakal pura-pura tuli. Kisah novela ini bercerita tentang
seorang lelaki yang mengetuk pintu petisi untuk meminta sebuah kapal
kepada raja, yang nantinya dia gunakan buat mencari Pulau Tak Dikenal.
Cara
penulisan Saramago sangatlah simpel. Dalam suatu dialog, dia tak
pernah memakai tanda kutip sebagai penanda. Dia juga tidak memisahkannya
dengan menekan enter. Dia cukup memberikan koma dan huruf kapital untuk
pemisahnya. Misalnya begini:
Mereka
semua ada di peta, Cuma pulau-pulau yang dikenal yang ada di peta, Dan
pulau tak dikenal apa ini yang ingin kau cari, Andai saya bisa
mengatakannya pada Anda, berarti pulau itu sudah dikenal, Apa kau pernah
dengar ada seseorang membicarakannya, tanya raja, lebih serius
sekarang, Tidak, tak ada, Kalau begitu, mengapa kau bersikeras pulau itu
ada, dst....
Bagi
orang yang baru berkenalan dengan karya Saramago seperti saya, mungkin
kamu bakalan bingung buat membedakan mana narasi, mana dialog, serta
terkadang juga lupa akan siapa yang sedang berbicara. Meski begitu,
selama kita membacanya dalam kondisi fokus, cara penulisan seperti itu
rupanya masih bisa disimak dengan baik.
Pada
pembacaan pertama, saya termasuk orang yang gagal paham dengan kalimat
penutup di novelanya: Hampir tengah hari, bersama arus, Pulau Tak
Dikenal akhirnya melarung ke samudra, mencari dirinya sendiri. Setelah
saya baca ulang lagi kalimat tersebut dan berusaha mencernanya
baik-baik, barulah saya sadar bahwa kapal yang digunakan oleh si tokoh
itu justru menjadi sebuah Pulau Tak Dikenal. Hal ini pun membuat saya
menyimpulkan begini: Kita berusaha mencari sesuatu hingga jauh, padahal
apa yang kita cari itu sebetulnya sudah ada di dalam diri kita. Menarik juga si Saramago ini.
Dari
keseluruhan teks, inilah satu-satunya kalimat yang bisa dijadikan kutipan:
Suka bisa jadi adalah bentuk terbaik dari kepemilikan, dan kepemilikan
adalah bentuk terburuk dari rasa suka.
Walaupun
novela ini halamannya sedikit dan lebih cocok disebut cerpen serta
sayang kalau harus membeli buku tipis (beruntunglah saya mendapatkan hadiah buku dan tak perlu membelinya), setidaknya isi ceritanya betulan asyik
dan memberikan suatu kesan, sehingga saya jadi penasaran dengan karya
Saramago lainnya—akhirnya saya membaca novel Kain di iPusnas, yang
kebetulan kovernya juga biru (mungkin kapan-kapan bakal saya bahas
tersendiri).
--
PS: Omong-omong membaca buku berkover biru, sesekali saya mau promosi kalau buku digital pertama saya yang bertajuk Fragmen Penghancur Diri Sendiri
juga berwarna biru. Yah, barangkali saja ada yang berkenan untuk
membeli dan membacanya. Di KaryaKarsa, saya memasang tarif satuan
seharga 30.000, sementara pemesanan lewat surel seharga 25.000. Tapi
jika kamu merasa itu kemahalan, saya kebetulan telah membuat promo
paket dukungan senilai 50.000 (pilih Paket Beliin Buku
di KaryaKarsa). Dengan memberi dukungan sebesar gocap, kamu langsung
bisa mengakses seluruh tulisan maupun empat buku digital saya yang
terkunci selama 30 hari (berhubung buku digitalnya dapat diunduh, itu
sama saja terhitung akses selamanya). Hm, itu tawaran yang cukup oke,
bukan?
2 Comments
Aku juga jarang mau beli buku kalo tipis 😂. Kayak ngerasa sayang aja. Apalagi aku LBH suka baca buku2 tebal, Krn biasanya Alur pasti detil.
ReplyDeleteTapi kalo buku2 saramago ini ada di ipusnas, bakal aku baca sih. Penasaran aja Ama isi bukunya, dan apalagi cara dia membedakan narasi dan percakapan. Jujur pas baca cth di atas, aku juga masih bingung sih. Mungkin memang hrs baca utuh drpd sepenggal2 gitu
Iya, Mbak, memang sayang belinya. Apalagi kalau buku puisi yang mayoritas enggak lebih dari 100 halaman. Haha. Tapi biasanya tetap saya koleksi karena suka.
DeleteSetahu saya cuma satu yang berjudul Kain itu, dan cukup tebel, kok. Sampai seratusan lebih. Monggo dijajal kalau gitu, Mbak.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.