Novel The Skating Rink merupakan buku ketiga Roberto Bolaño yang berhasil saya koleksi (yang pertama The Secret of Evil, selanjutnya The Third Reich). Entah kenapa daripada langsung mengulas atau membahas buku The Skating Rink secara suka-suka, saya justru ingin bercerita terlebih dahulu bagaimana proses mendapatkan buku ini.
Pencarian
Setiap seminggu sekali saya gemar mengetik nama “Roberto Bolaño” di berbagai toko daring demi bisa mengoleksi buku fisiknya, khususnya yang prosa. Sejak menggandrungi sosok beliau, sering timbul hasrat di dalam diri untuk membeli karyanya dalam bentuk fisik sekalipun saya sudah memiliki beberapa buku digitalnya. Ya, ibaratnya kalau cuma punya buku digitalnya tuh seperti menjalani hubungan LDR bersama pacar, sementara saya kan juga pengin menyentuhnya. Oke, analogi barusan barangkali tampak sangat mesum, tapi begitulah yang saya rasakan. Lagi pula, bukankah terasa asyik jika bisa menyentuh buku penulis kesukaan dalam wujud yang nyata, dan tak melulu sebatas fail di ponsel? Namun, hasrat yang menggebu-gebu dalam mencari buku Bolaño tentu saja sering mengecewakan.
Saya bilang mengecewakan sebab yang muncul dalam pencarian itu mayoritas bukunya Bolaño yang berupa terjemahan Indonesia—yang mana saya ragu membelinya lantaran buku-buku itu enggak memiliki hak cipta. Bagi yang belum tahu, dunia literasi sempat gempar akibat ada beberapa penerbit nakal yang menerjemahkan sekaligus menerbitkan buku-buku penulis luar tanpa izin. Nah, sekalipun saya bukan orang baik dan tak perlu munafik kalau masih suka mengonsumsi beberapa produk (buku/komik digital maupun film/anime) ilegal, saya tetap tak mau membeli buku yang jelas-jelas ilegal semacam itu. Karena bagi saya ada garis pembatas antara menikmati bacaan ilegal untuk konsumsi pribadi dan menikmati keuntungan dari menerjemahkan sekaligus menjual buku tanpa copyright semacam itu. Saya memang punya prinsip tersendiri akan hal ini, dan kapan-kapan mungkin bakal saya bahas lebih lanjut secara terpisah.
Selain buku Bolaño yang terjemahan ilegal dan tak mungkin saya beli itu, yang saya temukan di toko daring ialah bukunya yang berupa kumpulan puisi, The Unknown University, beserta novel The Third Reich—yang sayangnya juga sudah saya miliki. Mungkin saya memang perlu beli buku Bolaño yang baru, pikir saya saat itu. Tapi sebagaimana yang kita ketahui, memesan buku impor juga membutuhkan uang yang tak sedikit, sedangkan kondisi dompet maupun rekening saya sungguh pas-pasan. Mau tak mau saya harus menabung dulu sebagian upah kerja saya dalam 1-2 bulan ke depan.
Hingga datanglah hari itu, kala saya kembali iseng mengecek toko daring dan mengganti filter untuk mengurutkan pencarian buku Bolaño dari “yang paling sesuai” menjadi “produk terbaru”, lantas mata saya terbelalak sewaktu melihat judul The Skating Rink dengan harga 79 ribu (sekitar setengah harga dari harga barunya). Informasi tentang bukunya: Kondisinya sudah menguning dan terdapat sobekan di kover belakang buku. Membaca hal itu tentu bikin saya ragu sembari membatin, Tailah, nasib kok begini amat, ya? Tapi sebentar kemudian hati kecil saya ikutan bilang: Hei, ini kesempatan mengoleksinya di depan mata, lho. Nanti kalau bukunya keburu laku dan belum tentu ada yang jual lagi, pasti kamu bakal nyesel setengah mampus. Baiklah, saya pun membuat keputusan untuk menunggunya selama tiga hari. Sekiranya buku itu sudah laku, berarti belum rezeki saya.
Pada hari yang telah ditentukan, saya kembali mengecek buku itu dan ternyata sudah beberapa kali dilihat oleh calon pembeli lain, tetapi syukurlah belum ada seorang pun yang sudi membelinya. Barangkali sobeknya kover belakang inilah yang membuat mereka enggan memesannya.
Hasrat buat mengoleksi karya-karya Bolaño masih belum kunjung lenyap dari dalam diri saya, dan saya berpikir bahwa sobekan itu nantinya bisa dilem sekalian diberikan sampul plastik, maka tanpa perlu memusingkan ini dan itu lagi, saya pun segera memasukkannya ke keranjang dan membayarnya.
Setiap seminggu sekali saya gemar mengetik nama “Roberto Bolaño” di berbagai toko daring demi bisa mengoleksi buku fisiknya, khususnya yang prosa. Sejak menggandrungi sosok beliau, sering timbul hasrat di dalam diri untuk membeli karyanya dalam bentuk fisik sekalipun saya sudah memiliki beberapa buku digitalnya. Ya, ibaratnya kalau cuma punya buku digitalnya tuh seperti menjalani hubungan LDR bersama pacar, sementara saya kan juga pengin menyentuhnya. Oke, analogi barusan barangkali tampak sangat mesum, tapi begitulah yang saya rasakan. Lagi pula, bukankah terasa asyik jika bisa menyentuh buku penulis kesukaan dalam wujud yang nyata, dan tak melulu sebatas fail di ponsel? Namun, hasrat yang menggebu-gebu dalam mencari buku Bolaño tentu saja sering mengecewakan.
Saya bilang mengecewakan sebab yang muncul dalam pencarian itu mayoritas bukunya Bolaño yang berupa terjemahan Indonesia—yang mana saya ragu membelinya lantaran buku-buku itu enggak memiliki hak cipta. Bagi yang belum tahu, dunia literasi sempat gempar akibat ada beberapa penerbit nakal yang menerjemahkan sekaligus menerbitkan buku-buku penulis luar tanpa izin. Nah, sekalipun saya bukan orang baik dan tak perlu munafik kalau masih suka mengonsumsi beberapa produk (buku/komik digital maupun film/anime) ilegal, saya tetap tak mau membeli buku yang jelas-jelas ilegal semacam itu. Karena bagi saya ada garis pembatas antara menikmati bacaan ilegal untuk konsumsi pribadi dan menikmati keuntungan dari menerjemahkan sekaligus menjual buku tanpa copyright semacam itu. Saya memang punya prinsip tersendiri akan hal ini, dan kapan-kapan mungkin bakal saya bahas lebih lanjut secara terpisah.
Selain buku Bolaño yang terjemahan ilegal dan tak mungkin saya beli itu, yang saya temukan di toko daring ialah bukunya yang berupa kumpulan puisi, The Unknown University, beserta novel The Third Reich—yang sayangnya juga sudah saya miliki. Mungkin saya memang perlu beli buku Bolaño yang baru, pikir saya saat itu. Tapi sebagaimana yang kita ketahui, memesan buku impor juga membutuhkan uang yang tak sedikit, sedangkan kondisi dompet maupun rekening saya sungguh pas-pasan. Mau tak mau saya harus menabung dulu sebagian upah kerja saya dalam 1-2 bulan ke depan.
Hingga datanglah hari itu, kala saya kembali iseng mengecek toko daring dan mengganti filter untuk mengurutkan pencarian buku Bolaño dari “yang paling sesuai” menjadi “produk terbaru”, lantas mata saya terbelalak sewaktu melihat judul The Skating Rink dengan harga 79 ribu (sekitar setengah harga dari harga barunya). Informasi tentang bukunya: Kondisinya sudah menguning dan terdapat sobekan di kover belakang buku. Membaca hal itu tentu bikin saya ragu sembari membatin, Tailah, nasib kok begini amat, ya? Tapi sebentar kemudian hati kecil saya ikutan bilang: Hei, ini kesempatan mengoleksinya di depan mata, lho. Nanti kalau bukunya keburu laku dan belum tentu ada yang jual lagi, pasti kamu bakal nyesel setengah mampus. Baiklah, saya pun membuat keputusan untuk menunggunya selama tiga hari. Sekiranya buku itu sudah laku, berarti belum rezeki saya.
Pada hari yang telah ditentukan, saya kembali mengecek buku itu dan ternyata sudah beberapa kali dilihat oleh calon pembeli lain, tetapi syukurlah belum ada seorang pun yang sudi membelinya. Barangkali sobeknya kover belakang inilah yang membuat mereka enggan memesannya.
Hasrat buat mengoleksi karya-karya Bolaño masih belum kunjung lenyap dari dalam diri saya, dan saya berpikir bahwa sobekan itu nantinya bisa dilem sekalian diberikan sampul plastik, maka tanpa perlu memusingkan ini dan itu lagi, saya pun segera memasukkannya ke keranjang dan membayarnya.
Empat hari berikutnya, novel The Skating Rink itu akhirnya sampai di
tangan saya. Ah, betapa asyiknya membeli buku bekas yang pengirimannya
tak sampai seminggu. Jika saya memesan buku baru, kemungkinannya baru
tiba sekitar 20-40 hari, dan itu jelas menjengkelkan. Sewaktu saya
mengecek kondisi bukunya secara keseluruhan, kover belakangnya betulan
sobek seperti yang telah diberi tahu oleh si penjual, dan rupanya ada
dua halaman lain yang juga robek—saya menduga sobekan ini akibat terkena
cutter. Meski demikian, seenggaknya buku itu benar-benar orisinal (bukan bajakan) serta
masih bisa dibaca dengan baik. Lagi pula, halaman yang sobek itu
benar-benar di belakang, enggak sampai terkena bagian dari isi
tulisannya. Syukurlah.
Pembacaan dan ulasan
Saya suka dengan epigraf di halaman awal buku yang berbunyi: “If I must live then let it be rudderless, in delirium.” –Mario Santiago. Kalimat itu kalau saya terjemahkan menjadi: Jika aku harus hidup, biarlah tanpa arah, dalam delirium (kondisi penurunan kesadaran yang bersifat akut dan fluktuatif. Gangguan mental ini membuat pengidapnya mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar).
Novel The Skating Rink terdapat tiga narator: 1) Remo Moran, penyair yang berganti haluan menjadi penulis prosa dan menjalankan bisnis toko perhiasan; 2) Gaspar Heredia, imigran gelap dari Meksiko yang bekerja sebagai penjaga perkemahan pada malam hari; 3) Enric Rosquelles, pejabat Departemen Pelayanan Sosial yang rela korupsi demi cintanya terhadap seorang peseluncur ski. Dari ketiga narator itu, saya cuma bisa berasumsi bahwa tokoh Gaspar ialah Roberto Bolaño itu sendiri. Saya sempat menebak Remo adalah Mario Santiago (Ulises Lima dalam novel The Savage Detectives), tapi tak terlalu yakin.
Saya sesungguhnya suka dengan format buku yang disampaikan dari berbagai sudut pandang semacam ini, terlebih lagi narasinya tergolong singkat (cuma sekitar 1-4 halaman) dan lekas berpindah ke narator lain. Namun, saya merasa suara dari tiga tokoh itu perbedaannya tidak terlalu kentara. Entah ini akibat kemampuan bahasa Inggris saya yang payah, atau memang penulisannya saja yang kurang solid. Yang jelas, ini teramat berbeda dengan pengalaman saya sewaktu membaca novel The Savage Detectives. Di bagian pertama dan ketiga, saya suka banget dengan segala yang dituturkan oleh Juan Garcia Madero, lalu di bagian kedua walaupun terdapat banyak sekali suara tokoh (sekitar 50 orang) yang bersinggungan dengan karakter Arturo Belano, tapi suara-suara mereka tetap terasa khas. Intinya, novel The Savage Detectives bagi saya matangnya sempurna, sementara The Skating Rink masih terasa kurang mantap, atau anggaplah saya hanya berani memberikan tiga atau empat bintang di Goodreads.
Terlepas dari hal itu, setidaknya saya tetap gembira lantaran Bolaño tidak melulu membahas dunia kepenulisan seperti kebanyakan novelnya. Dalam novel The Skating Rink ini, beliau lebih fokus menuturkan kisah romansa. Enric jatuh cinta dengan peseluncur ski cantik bernama Nuria Marti, sampai-sampai membuatkannya arena seluncur ski pakai dana korupsi. Sementara itu, Remo diam-diam juga jatuh cinta kepada Nuria, dan semacam menjalin hubungan gelap dengannya. Sedangkan tokoh Gaspar, seingat saya tak ada hubungannya dengan Nuria, dan saya lupa dengan siapa dia menjalin asmara.
Yang paling saya ingat dari cerita Gaspar hanyalah bagian ketika dia mengeluh dengan rutinitasnya sebagai penjaga perkemahan. Dia mesti begadang semalaman, baru bisa tidur sekitar pukul 12 siang dan bangun lagi pukul 6 sore. Perkemahan yang sedang padat lantaran maraknya turis bikin dia merasa lelah sekaligus murung, bahkan hampa. Gaspar sampai-sampai berujar seperti ini dalam kekalutannya: Saat lagi hancur begini, membaca buku puisi sama sekali tak memberikan pertolongan. Menangis pun sama saja. Jadi pilihannya cuma tetap berjalan di sekitar kota Z, kemudian mengubah rutinitas.
Hal itu seakan-akan mengingatkan saya tentang betapa pentingnya pola tidur yang sehat. Saya jadi ingat beberapa bulan lalu kala merasa hidup sangat berantakan, efek buruk dari keseringan tidur larut. Jam tidur yang kacau benar-benar merembet ke berbagai persoalan kehidupan. Saat itu, saya pun sampai merenung: Apa gunanya produktif menulis kalau harus memaksakan diri buat begadang? Bukannya dapat uang justru mendatangkan penyakit, kan? Tak perlu dimungkiri bahwa waktu itu saya kerap merasa betapa gawatnya kondisi kesehatan mental saya. Dalam satu minggu saja, sepertinya ada sekitar belasan gagasan yang hinggap di pikiran saya buat menyudahi hidup. Pokoknya, saya merasa lelah banget akan hidup, dan hanya ingin segera mampus. Semenjak mengubah pola tidur dan berhenti produktif, baguslah pikiran-pikiran jahat itu kian jarang mendatangi saya. Konklusinya: Saya paham bahwa menulis itu menyehatkan jiwa, tapi tidur teratur ternyata jauh lebih menyehatkan. Terkadang saya jadi tak perlu lagi melakukan terapi jiwa lewat menulis. Cukup dengan tidur sebelum pukul 10 malam dan bangun pukul 5 pagi, hidup saya tiba-tiba menjadi sangat menakjubkan.
Oke, cukup dengan lanturan tolol barusan. Mari kembali membahas novelnya.
Cinta sering membuat seseorang menjadi tolol sekaligus nekat, dan itulah yang dialami oleh Enric. Namun, saya tetap tak habis pikir kalau cinta bisa membuat seseorang rela melakukan perbuatan hina semacam itu. Kenapa Enric bisa-bisanya menggelapkan dana pemerintah buat membangun arena seluncur ski? Apakah tak ada cara lain buat memikat hati seorang perempuan? Seingat saya, ada satu fragmen ketika Enric merenung dan bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya perempuan inginkan dari seorang lelaki? Enric menjawab bahwa ukuran penis alias seks bukanlah segalanya, melainkan perempuan hanya butuh afeksi dan kelembutan hati. Lantas, kenapa dia pada akhirnya malah korupsi? Saya paham bahwa kita tetap butuh uang buat menggembirakan hati seorang perempuan dengan memberikannya hadiah atau apalah itu. Tapi kalau si cewek tahu uang itu didapatkannya dengan cara haram, apakah mereka masih tetap merasa bahagia?
Efek dari perbuatan tolol Enric jelas akan menyeretnya ke dalam penjara, yang anehnya justru bermula dari dugaan pembunuhan, bukan soal kasus korupsi. Terkait hal ini, saya sempat menerjemahkannya seenak jidat di tulisan: Aku Bersumpah Aku Tidak Membunuhnya. Barangkali ada yang mau membacanya.
Walau di sampulnya sudah tertera ulasan singkat tentang adanya kisah kematian, saya masih tak menyangka kalau novel yang mulanya bercerita mengenai cinta-cintaan malah berujung maut lewat pembunuhan begini. Nah, di sinilah Bolaño memasukkan unsur cerita detektifnya. Jika memang bukan Enric pelakunya, lalu siapakah yang telah tega membunuh seorang penyanyi tua gelandangan itu dengan cara menusuknya menggunakan pisau hingga puluhan kali? Saya pun seolah-olah disuruh menebak-nebak si pelaku hingga halaman terakhir.
Kutipan favorit
1. Belum terlambat bagiku untuk mempelajari pelajaranku: Berhati-hatilah dengan persetujuan (tanpa membantah), sebab pada akhirnya mereka akan mengkhianatimu.
2. Untuk seorang narapidana maupun orang cacat di rumah sakit, tak ada hadiah yang lebih baik daripada sebuah buku.
3. Aku menghindari melihat ke kaca spion sampai jarak yang aman. Apa yang sudah hilang biarlah hilang, itulah apa yang kukatakan, kau harus terus melihat ke depan.
2 Comments
Belum pernah baca buka Bolano satu pun, selain lewat tulisan2 reviewmu ini ☺️. Jadi buku ini blm ada terjemahan legalnya ya Yog. Aku juga ga akan beli sih kalo ilegal. Mending beli buku asli yang bukan terjemahan tapi ga ilegal.
ReplyDeletePerumpamaan mu terhadap buku fisik dan e-book sbnrnya tepat, Krn aku juga ngerasa kepuasan yg sama kalo punya buku fisik drpd ebook. Ditambah aku benci LDR, jadi makinlah ga suka ebook 🤣. Ga nyaman dibaca 😁
Buku Bolano ini agak menarik buatku, Krn ada cerita pembunuhannya 😅. Krn dari dulu cerita misteri begini yg aku suka. Tapi selama belum baca sendiri bukunya, aku blm bisa bilang bakal suka atau ga, Krn terkadang kalo penjelasannya terlalu ribet bin complicated , yg ada aku juga puyeng ngikutin alurnya 🤣. Apalagi ga ada terjemahannya. Memang harus baca sendiri dulu. 😁
Setahu saya yang legal baru yang berjudul Antwerp, Mbak. Tapi itu masalahnya berjenis puisi prosa dan saya pun bingung tentang isi bukunya. Sempat saya ulas sekilas di tulisan lain. Haha.
DeleteTapi baca buku yang terlalu tebal, lebih dari 500 halaman, ternyata pegal juga megangnya. Lebih mudah buku digital tinggal geser-geser layar. XD
Bolano menarik karena dia memasukkan unsur cerita detektif di beberapa novelnya. Itu yang bikin saya sebagai pembaca bertanya-tanya dan rela mengikutinya sampai habis. Cara dia merangkai kalimat juga keren, sih. Yang penting tahan aja dengan kalimat beranak-pinak gitu. Beberapa penulis Amerika Latin saya perhatikan suka begini.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.