Saya iseng menerjemahkan bab satu novela Amulet karya Roberto Bolaño pada Desember 2022 di sela-sela kesibukan kerja. Tapi sebelum saya membaca ulang, mengoreksinya, hingga berhasil merampungkannya, Januari justru datang membawa kegetiran hidup yang membuat epigraf di buku ini sangatlah mewakilkan kegamangan saya. Maka, beginilah jadinya. Saya baru berhasil menyelesaikannya lagi sekarang, tujuh bulan kemudian, tepatnya ketika tanggungan saya tinggal setengah tahun lagi. Beban sedikit demi sedikit mulai berkurang, dan saya berharap semoga bisa kembali berlatih menerjemahkan tulisan orang lain.
--
“Dalam kesengsaraan kami, kami ingin berteriak minta tolong, tetapi tak ada seorang pun di sana yang menolong kami.” –Petronius
*
Ini akan menjadi sebuah cerita horor. Kisah pembunuhan, penemuan, dan horor. Tapi sepertinya enggak begitu, sebab alasannya sederhana bahwa aku adalah sang penutur cerita. Sekalipun ini sebetulnya adalah kisah kejahatan yang mengerikan, tak akan tampak begitu karena diceritakan olehku.
Aku adalah teman bagi semua orang Meksiko. Aku bisa mengatakan bahwa aku merupakan ibu dari puisi Meksiko, tetapi aku lebih baik bukan.
Aku tahu semua penyair dan semua penyair mengenalku. Jadi aku bisa mengatakannya. Aku bisa bilang bahwa salah satu ibu dari angin sepoi-sepoi bertiup selama berabad-abad, tetapi lebih baik bukan aku. Misalnya, aku dapat mengatakan bahwa aku mengenal Arturito Belano ketika dia masih seorang pemalu berusia tujuh belas tahun yang menulis naskah drama dan puisi dan tak bisa menahan minuman kerasnya, tetapi dalam arti tertentu itu akan berlebihan dan aku diajari (mereka mengajariku dengan cambukan dan dengan batang besi) untuk menolak semua hal berlebihan dan menceritakan kisah yang lugas.
Yang bisa kukatakan adalah namaku.
Namaku Auxilio Lacouture dan aku orang Uruguay—aku berasal dari Montevideo—walaupun sewaktu aku bernostalgia, ketika kerinduan membuncah dan menguasaiku, aku mengatakan aku seorang Charrúa, yang kurang lebih sama, meski tak persis sama, dan itu juga membingungkan orang Meksiko dan orang Amerika Latin lainnya.
Bagaimanapun, yang utama adalah suatu hari aku tiba di Meksiko tanpa benar-benar tahu mengapa atau bagaimana atau kapan.
Aku datang ke Mexico City pada tahun 1967, atau mungkin tahun 1965, atau 1962. Aku tak ingat lagi tentang tanggal, atau tepatnya ke mana pengembaraanku membawaku; yang aku tahu adalah bahwa aku datang ke Meksiko dan tak pernah kembali. Tunggu, biarkan aku mencoba untuk mengingat. Biarkan aku meregangkan waktu seperti ahli bedah plastik yang meregangkan kulit pasien yang dibius. Biarlah kulihat. Ketika aku tiba di Meksiko, León Felipe masih hidup—betapa besarnya dia, kekuatan alam—dan León Felipe meninggal pada tahun 1968. Saat tiba di Meksiko, Pedro Garfias masih hidup—pria yang begitu hebat, begitu melankolis—dan Don Pedro meninggal pada tahun 1967, yang berarti aku pasti tiba sebelum tahun 1967. Jadi anggap saja aku tiba di Meksiko pada tahun 1965.
Ya, itu pasti tahun 1965 (walaupun aku bisa salah, itu pasti bukan yang pertama kali) dan hari demi hari, jam demi jam, aku mengorbit di sekitar dua orang Spanyol yang hebat itu, pikiran universal itu, digerakkan oleh hasrat seorang penyair dan pengabdian tanpa batas dari seorang perawat Inggris atau seorang adik perempuan yang menjaga kakak laki-lakinya. Sebagaimana aku, mereka adalah pengembara, meskipun untuk alasan yang sangat berbeda; tak ada yang mengusirku dari Montevideo; suatu hari aku memutuskan untuk minggat dan pergi ke Buenos Aires, dan setelah beberapa bulan atau mungkin setahun di Buenos Aires, aku memutuskan untuk tetap bepergian, sebab saat itu aku sudah tahu bahwa Meksiko adalah takdirku dan aku tahu bahwa León Felipe tinggal di Meksiko, dan meskipun aku tak yakin apakah Don Pedro Garfias juga tinggal di sini, aku pikir bisa merasakannya jauh di lubuk hatiku. Mungkin kegilaan yang mendorongku untuk bepergian. Itu bisa saja kegilaan. Dulu aku sempat bilang itu budaya. Tentu saja terkadang merupakan budaya, atau melibatkan, semacam kegilaan. Mungkin kurangnya kasih sayang yang mendorongku untuk bepergian. Atau cinta yang melimpah. Mungkin itu kegilaan.
Jika tak ada yang lain, ini sudah jelas: Aku tiba di Meksiko pada tahun 1965 dan muncul di apartemen León Felipe dan Pedro Garfias dan berkata, Ini aku, siap melayanimu. Aku kira mereka menyukaiku: Aku bukannya tak disukai; kadang-kadang membosankan, tetapi tak pernah enggak disukai. Hal pertama yang kulakukan adalah mencari sapu dan mulai menyapu lantai apartemen mereka, lantas aku membersihkan jendela, dan, setiap kali ada kesempatan, aku meminta uang kepada mereka dan berbelanja. Dan mereka biasa mengatakan kepadaku, dengan aksen khas Spanyol yang tak pernah mereka hilangkan, musik kecil yang tajam itu, seolah-olah mereka mengitari huruf zs dan huruf ss, yang membuat huruf ss tampak lebih sepi dan sensual, Auxilio, kata mereka, cukup ramai, Auxilio, tinggalkan kertas-kertas itu sendiri, wanita, debu, dan sastra selalu pergi bersamaan. Dan aku akan melihat mereka dan berpikir, Betapa benarnya mereka, debu dan sastra, sejak awal, dan karena pada saat aku sangat menyukai detail, aku membayangkan pemandangan yang indah dan melankolis, aku membayangkan buku-buku duduk dengan tenang di rak dan debu dunia merayap ke perpustakaan, perlahan, terus-menerus, tak terbendung, dan kemudian aku memahami bahwa buku adalah mangsa yang mudah bagi debu (aku mengerti ini tetapi menolak untuk menerimanya), aku melihat angin puyuh, awan debu berkumpul di atas dataran di suatu tempat jauh di dalam ingatanku, dan awan bergerak maju hingga mencapai Mexico City, awan yang datang dari dataran pribadiku, milik semua orang meskipun banyak yang menolak mengakuinya, dan awan itu menutupi segalanya dengan debu, buku-buku yang telah kubaca dan yang kurencanakan untuk dibaca, menutupinya tanpa dapat ditarik kembali, tak ada yang bisa dilakukan: betapa pun heroiknya usahaku dengan sapu dan kain lap, debu tak akan pernah hilang, sebab itu merupakan bagian integral dari buku, cara mereka hidup atau meniru sesuatu seperti kehidupan.
Itulah yang aku lihat. Itulah yang kulihat, diliputi oleh getaran yang hanya bisa kurasakan. Kemudian aku membuka mata dan langit Meksiko muncul. Aku di Meksiko, pikirku, dengan ujung ekor getaran itu masih merayapi tubuhku. Inilah aku, pikirku. Dan ingatan akan debu itu langsung lenyap. Aku melihat langit melalui jendela. Aku melihat cahaya Mexico City bergeser di atas tembok. Aku melihat para penyair Spanyol dan buku-buku mereka yang bersinar. Dan aku berkata kepada mereka: Don Pedro, León (betapa anehnya, aku memanggil yang lebih tua dan lebih terhormat dari keduanya hanya dengan nama depannya, sementara yang lebih muda entah bagaimana lebih mengintimidasi, dan mau tak mau aku memanggilnya Don Pedro!), biarkan aku yang mengurus ini, kau melanjutkan pekerjaanmu, kau terus menulis, jangan pedulikan aku, anggap saja aku wanita yang tak terlihat. Dan mereka akan tertawa, atau lebih tepatnya León Felipe akan tertawa, meskipun sejujurnya sulit untuk mengatakan apakah dia tertawa atau berdeham atau mengumpat, dia alias pria itu seperti gunung berapi, sementara Don Pedro Garfias akan menatapku dan lalu memalingkan muka, dan tatapannya (tatapan sedihnya) akan tertuju pada sesuatu, entahlah pada vas, atau rak penuh buku (tatapan melankolisnya), dan aku akan berpikir: Apa istimewanya tentang vas itu atau punggung buku-buku yang sedang dia lihat, mengapa mereka membuatnya begitu sedih? Dan kadang-kadang, ketika dia meninggalkan ruangan atau berhenti menatapku, aku mulai bertanya-tanya dan bahkan pergi untuk melihat vas yang dimaksud atau buku-buku yang disebutkan di atas dan sampai pada kesimpulan (kesimpulan yang, segera kutambahkan, aku segera ditolak) bahwa Neraka atau salah satu pintu rahasianya tersembunyi di sana di dalam benda-benda yang tampaknya enggak berbahaya itu. Kadang-kadang Don Pedro memergokiku melihat vasnya atau buku-bukunya dan dia bertanya, Apa yang kaulihat, Auxilio, dan aku berkata, Hah? Apa? dan aku berpura-pura tolol atau bermil-mil jauhnya, tetapi kadang-kadang aku kembali dengan pertanyaan yang mungkin tampak tidak pada tempatnya, tetapi sebenarnya relevan, jika kau memikirkannya. Aku akan mengatakan kepadanya, Don Pedro, Sudah berapa lama kau memiliki vas ini? Apakah seseorang memberikannya kepadamu? Apakah itu berarti sesuatu yang istimewa bagimu? Dan dia hanya menatapku, kehilangan kata-kata. Atau dia akan berkata: Ini hanya vas bunga. Atau: Enggak, itu enggak memiliki arti khusus. Saat itulah aku seharusnya bertanya kepadanya, Jadi mengapa kau melihatnya seolah-olah itu menyembunyikan salah satu pintu Neraka? Tapi aku tak melakukannya. Aku hanya akan mengatakan: Aha, aha, yang merupakan semacam kedutan yang aku ambil dari seseorang, kadang-kadang selama bulan-bulan pertama itu, bulan-bulan pertamaku di Meksiko. Tapi tak peduli berapa banyak aha yang keluar dari mulutku, otakku terus bekerja. Dan sekali, aku bisa mentertawakannya sekarang, ketika aku sendirian di ruang kerja Pedrito Garfias, aku mulai melihat vas yang menangkap tatapan sedihnya, dan aku berpikir: Mungkin karena dia tak punya bunga, hampir enggak ada bunga di sini, dan aku mendekati vas dan memeriksanya dari berbagai sudut, dan kemudian (aku semakin dekat dan kian dekat, meskipun secara tak langsung, menelusuri jalur spiral yang kurang lebih menuju objek pengamatanku) aku berpikir: Aku akan memasukkan tanganku ke dalam mulut gelap vas itu. Itulah yang kupikir. Dan aku melihat tanganku bergerak maju, menjauh dari tubuhku, dan bangkit dan melayang di atas mulut vas yang gelap, mendekati bibirnya yang berenamel, pada saat itu sebuah suara kecil di dalam diriku berkata: Hei, Auxilio, apa yang kaulakukan, kau wanita gila, dan itulah yang menyelamatkanku, aku pikir, berhubung lenganku langsung membeku dan tanganku tergantung lemas, seperti balerina mati, beberapa inci dari Mulut Neraka itu, dan setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi padaku, meskipun aku tahu apa yang bisa terjadi dan tidak.
Kau menjalankan risiko. Itulah kebenaran yang jelas. Kau menghadapi risiko dan, bahkan di tempat yang paling tak terduga, kau tunduk pada keinginan takdir.
Saat itu dengan vas tersebut, aku mulai menangis. Atau lebih tepatnya, air mata menggenang dan mengejutkanku dan aku harus duduk di kursi berlengan, satu-satunya kursi berlengan yang dimiliki Don Pedro di ruangan itu, kalau tidak kupikir aku akan pingsan. Aku tahu penglihatanku kabur pada suatu titik, dan kakiku mulai menyerah. Dan begitu duduk, aku dicengkeram oleh goncangan hebat, seolah-olah aku akan mendapat semacam serangan. Hal terburuk yang bisa kupikirkan hanyalah Pedrito Garfias datang dan melihatku dalam keadaan yang mengerikan itu. Hanya saja aku tidak berhenti memikirkan vas itu; Aku mengalihkan pandanganku, tetapi aku tahu (aku tak sepenuhnya bodoh) bahwa itu ada di sana, di dalam ruangan, berdiri di rak di samping katak perak, seekor katak yang kulitnya tampaknya telah menyerap semua kegilaan bulan Meksiko. Lantas, masih gemetar, aku bangkit dan berjalan ke vas itu lagi sembari aku berpikir, niat yang masuk akal untuk mengambilnya dan menghancurkannya di lantai, di atas ubin hijau di lantai itu, dan kali ini jalan yang aku telusuri menuju objek terorku bukanlah spiral melainkan garis lurus, diakui agak ragu-ragu, tetapi tetap lurus. Dan ketika aku berada beberapa kaki dari vas, aku berhenti lagi dan berkata kepada diriku sendiri: Jika bukan Neraka yang berada di sana, itu adalah mimpi buruk, dan semua yang hilang, semua yang menyebabkan rasa sakit dan lebih baik dilupakan.
Lalu aku berpikir: Apakah Pedrito Garfias tahu apa yang tersembunyi di vasnya? Apakah penyair tahu apa yang mengintai di mulut vas mereka yang tak berdasar? Dan jika mereka tahu, mengapa mereka enggak mengambil tanggung jawab sendiri untuk menghancurkannya?
Hari itu aku tak bisa memikirkan hal lain. Aku berangkat lebih awal ketimbang biasanya dan berjalan-jalan di Taman Chapultepec. Tempat yang menenangkan dan cantik. Tetapi betapa pun aku berjalan dan mengagumi lingkunganku, aku tak bisa berhenti memikirkan vas di ruang kerja Pedro Garfias dan buku-bukunya dan tatapan sedihnya yang kadang-kadang tertuju pada hal-hal yang tidak menyinggung dan kadang-kadang pada hal-hal yang sangat berbahaya. Jadi, sementara pandanganku meluncur ke dinding istana Maximiliano dan Carlota, atau pohon-pohon berlipat ganda di permukaan Danau Chapultepec, di benakku yang bisa kulihat hanyalah seorang penyair Spanyol yang melihat vas dengan apa yang tampak seperti merangkul segala kesedihannya. Dan itu membuatku marah. Atau lebih tepatnya, membuatku marah sejak awal. Aku bertanya-tanya mengapa dia tidak melakukan apa-apa. Mengapa penyair itu duduk di sana melihat vas itu alih-alih mengambil dua langkah (dia akan terlihat sangat anggun mengambil dua atau tiga langkah itu dengan celana linennya yang tidak dikelantang), mengambil vas itu dengan kedua tangan, dan membantingnya ke lantai. Tapi kemudian kemarahanku mereda dan, memikirkannya sebagai angin sepoi-sepoi Taman Chapultepec (“Chapultepec yang indah”, mengutip Manuel Gutiérrez Nájera) membelai ujung hidungku, aku menyadari bahwa selama bertahun-tahun Pedrito Garfias telah menghancurkan bagiannya yang adil dari vas dan benda misterius lainnya, vas yang tak terhitung jumlahnya di dua benua! Jadi, siapalah aku untuk menemukan kesalahan padanya, meskipun hanya dalam pikiranku, sebab begitu pasrah pada orang yang ada di ruang kerjanya.
Begitu aku berada dalam kerangka berpikir itu, aku bahkan mulai mencari alasan untuk membenarkan keberadaan vas yang terus berlanjut, dan tentu saja berbagai alasan muncul di benakku, tetapi apa gunanya mencantumkannya, apa gunanya itu? Yang aku tahu pasti adalah bahwa vas itu ada di sana, meskipun bisa juga diletakkan di langkan jendela yang terbuka di Montevideo atau di meja ayahku, di rumah tua Dokter Lacouture, ayahku seorang dokter, yang sudah lama meninggal. Aku hampir melupakannya, dan bahkan sekarang pilar-pilar pelupaan runtuh menimpa rumah dan meja itu.
Jadi, yang aku tahu pasti adalah bahwa aku mengunjungi apartemen León Felipe dan Pedro Garfias dan membantu mereka dengan cara apa pun yang aku bisa, misalnya membersihkan buku-buku mereka dan menyapu lantai, dan ketika mereka memprotes, aku akan mengatakan kepada mereka, Jangan pedulikan aku, kau lanjutkan tulisanmu dan biarkan aku mengurus dukungan logistik, dan León Felipe akan tertawa, tetapi bukan Don Pedro, Pedro Garfias, pria yang melankolis, dia tak tertawa, dia memandangku dengan mata itu seperti danau saat matahari terbenam, seperti salah satu danau yang tinggi di pegunungan yang tak dikunjungi oleh siapa pun, danau yang sangat sedih dan tenang itu, begitu tenang sehingga sepertinya bukan milik dunia ini, dan dia akan berkata, Jangan, jangan repot-repot, Auxilio, atau Terima kasih, Auxilio, dan itu saja. Pria yang luar biasa. Sungguh pria yang terhormat. Dia akan berdiri di sana, tak bergerak, dan berterima kasih kepadaku. Itu saja dan itu sudah cukup bagiku. Sebab aku tidak terlalu menuntut. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. León Felipe biasa memanggilku Bonita, dia akan berkata, kau tak ternilai harganya, Auxilio, dan mencoba membantuku dengan beberapa peso, tetapi biasanya ketika dia menawariku uang, aku akan membuat keributan besar. Aku melakukan ini karena aku menginginkannya, León Felipe, menurutku, karena kekaguman yang tak tertahankan. Dan León Felipe akan berhenti sejenak, merenungkan pilihan kata-kataku, sementara aku meletakkan uang yang dia berikan kepadaku di mejanya dan melanjutkan pekerjaanku. Aku biasa bernyanyi. Sewaktu aku bekerja, aku biasa menyanyi dan tak masalah bagiku apakah aku dibayar untuk pekerjaanku atau tidak (walaupun akan munafik untuk mengatakan bahwa aku tak senang dibayar). Tetapi dengan mereka itu berbeda; Aku lebih suka bekerja secara gratis. Aku akan membayar dari kocekku sendiri hanya untuk berada di sana, di antara buku dan kertas mereka, datang dan pergi sesukaku. Meskipun sebagai imbalannya aku menerima hadiah yang mereka tawarkan kepadaku. León Felipe biasa memberiku patung-patung kecil dari tanah liat Meksiko; dari mana asalnya aku tak tahu, karena dia tak punya banyak di apartemennya. Aku pikir dia membelinya khusus untukku. Patung-patung kecil yang menyedihkan. Mereka sangat cantik. Mungil dan cantik. Mereka tidak menyembunyikan gerbang ke Surga atau Neraka, itu hanya patung yang dibuat oleh orang India di Oaxaca, yang menjualnya ke pedagang, yang menjualnya kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi di pasar dan kios jalanan di Mexico City. Don Pedro Garfias biasa memberiku buku-buku filsafat. Aku masih ingat satu karya José Gaos, yang kucoba baca tetapi enggak kusukai. José Gaos adalah orang Spanyol lainnya dan dia juga meninggal di Meksiko. José Gaos yang malang, aku seharusnya berusaha lebih keras. Kapan dia meninggal? Aku pikir itu pada tahun 1968, seperti León Felipe, tidak, pada tahun 1969, jadi dia mungkin meninggal lantaran kesedihan. Pedrito Garfias meninggal pada tahun 1967, di Monterrey. León Felipe meninggal pada tahun 1968. Satu demi satu aku kehilangan semua patung yang diberikan León Felipe kepadaku. Sekarang mereka mungkin duduk di rak di ruang atap atau apartemen yang layak di Colonia Ñapóles atau Colonia Roma atau Colonia Hipódromo-Condesa. Itulah yang enggak rusak. Yang rusak pasti menyuburkan debu Mexico City. Aku juga kehilangan buku yang diberikan Pedro Garfias kepadaku. Pertama buku filsafat dan setelahnya, mau tak mau, puisi juga.
Dari waktu ke waktu aku merasa seolah-olah buku dan patungku masih ada bersamaku. Tapi bagaimana bisa? Apakah mereka entah bagaimana melayang di sekitarku atau di atas kepalaku? Apakah patung-patung dan buku-buku yang hilang selama bertahun-tahun menghilang ke udara Mexico City? Apakah mereka telah menjadi bagian dari abu yang bertiup melalui kota dari utara ke selatan dan dari timur ke barat? Mungkin. Malam gelap dari jiwa itu bergerak melalui jalan-jalan di Mexico City menyapu semua yang ada di depannya. Dan sekarang jarang terdengar nyanyian, yang dulu semuanya adalah lagu. Awan debu mereduksi segalanya menjadi debu. Pertama para pujangga, lalu cinta, kemudian, ketika tampaknya terpuaskan dan hendak bubar, awan kembali menggantung tinggi di atas kota atau pikiranmu, dengan udara misterius yang berarti tak ada niat untuk bergerak.
0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.