Tolong katakanlah kepadaku, ujarmu, katakan kepadaku hal-hal berbahaya yang telah kaulakukan sepanjang hidupmu.
Yang paling berbahaya: aku pernah menentukan untuk hidup dan berkarier sebagai seorang penulis. Lalu menulis puisi tentangmu, pikirku, juga sama berbahayanya, tapi entah mengapa aku selalu malu buat mengatakannya. Aku justru memilih untuk terus menulis dan memberanikan diri, membuang segala ketakutanku, sebab jika keberanian untuk mengungkapkan afeksi dalam wujud puisi saja aku tak punya, apalah artinya hidup ini?
Yang menjadikan proses menulis puisi itu berbahaya adalah karena semakin lama aku kian sadar bahwa diriku bukanlah seorang penyair. Aku cuma sesosok manusia biasa yang gemar memungut kata-kata dari mana pun dan menempatkannya di segala wadah yang berlatar putih; di Microsoft Word, di aplikasi Notes, di buku jurnal harianku, di awan, ataupun di relung hatimu.
Dua kali piknik bersamamu, dari sebuah museum yang memalsukan sejarah ke sebuah hutan raya, rupanya telah mengantarkan kita pada kegembiraan-kegembiraan yang sulit dilukiskan oleh Leonardo da Vinci. Dia seakan kehabisan warna-warna cerah seperti merah jambu, kuning, dan jingga.
Apa pun bekal makanan yang kita bawa, kataku, mungkin itu bukanlah hal genting, sebab bersama siapa kita menghabiskan waktu justru lebih penting. Tapi matamu sepertinya ingin mengatakan bahwa oseng-oseng wortel plus brokoli, sosis Kimbo, telur dadar, mi goreng, keripik kentang, nasi uduk, serta donat dengan taburan gula bubuk tetaplah menjadi kenangan tersendiri di hati kita.
Aku sempat kehabisan kata-kata setiap kali memandangi parasmu dan dibuat takjub olehnya. Sampai-sampai aku ingin dimandikan oleh berbagai bahasa asing agar bisa mengenal gramatika sejarah lebih jauh. Supaya aku tidak cuma mengucapkan “aku sayang kamu”, “I love you”, “aishiteru”, “wo ai ni”, “saranghaeyo”, “te amo”, “aku tresno karo kowe”, “urang nyaah pisan ka maneh”, atau “mahal kita”.
Apalagi wajahmu memang penuh afeksi pada Sabtu sore itu, dan seakan menambahkan gula ke dalam dua gelas es teh yang kita pesan. Sabtu itu, dari pagi hingga sore, kadar glukosa di tubuhku terus meningkat dengan cepat.
Aku lantas teringat dengan seekor semut yang menempel di bajumu sewaktu kita sedang makan siang. Kala kuberi tahu, kau bermaksud mengusirnya dengan kibasan tangan, tetapi ia enggan untuk pergi, sebagaimana aku yang betah berlama-lama bersamamu.
Merah atau hitam, tanyamu. Dan ketika kujawab warna hitam, kau mulai membiarkannya seakan-akan semut gelap itu akan berubah terang dan menjadi warna cinta.
Aku iseng bertanya-tanya: apakah kau juga merasa kalau kolam di dekat kursi putih yang kita duduki berdua itu memantulkan cahaya manis yang berlebihan?
Tapi sebelum pertanyaan itu keluar dari mulutku, ataupun sebelum kawanan semut lain datang mendekat dan mengerubungi kita, jarum jam telah menunjuk ke pukul empat sore dan itu tandanya kita telah kehabisan waktu, Sayangku.
Petugas keamanan itu bahkan mengusir para pengunjung dan membuat kita tak sempat berfoto untuk terakhir kalinya di pintu gerbang berornamen dewa Ganesha.
Namun, aku tetaplah bahagia karena kondektur bus yang sedang menunggu para penumpang di depan gerbang itu tiba-tiba mendoakan hal-hal baik untuk kita, dan tanpa sadar mulut maupun hati kita mengucapkan “Aamiin” semantap-mantapnya.
Malam ini, aku sibuk mencari senyummu di seluruh momen itu, dari kuota-kuota yang terbuang, dari sebuah puisi yang mengirimkan puluhan foto ke dalam satu folder Google Drive.
Sebelum tidur, aku membuat kesimpulan: Cinta kita sudah tidak lagi merasa gugup ketika dilihat orang lain, tetapi filter diri merupakan hal yang harus selalu dijaga, dan hanya puisi yang boleh memamerkan apa yang sebenarnya tak boleh ditulis ataupun dibaca.
8 Comments
Kak Yoga, blogpost yang satu ini nuansanya beda sekali, aku merasakan kehangatan dari tiap kata-kata yang terlontar 🥺 nggak sadar ternyata aku lagi nyengir-nyengir sendiri bacanya 🤣 hangat dan manisss. Entah ini fiksi atau nyata, tapi kalau true story, semoga hubungan kalian selalu hangat dan manis seperti ini!
ReplyDeleteBagaimana kalau sebuah kenyataan yang ditulis dalam model fiksi? Wahaha.
DeleteMakasih ya, Li. Aamiin.
Tentu saya doakan yang terbaik jika benar! Hahahaha
DeleteWohoo. Tess 123.
ReplyDeleteSebelum comeback, blogwalking dlu aahh~ dah lama jg ga ninggalin jejak di sini😛
Waaaak, gemashh sekaliii yaa. Itu semut klo rikues jadi warna ijo bisa ga? Wkwk.
Apapun yg trtulis di sini, smua pas ssuai porsinya ya, manis semanis donat gula~ yahkan jd pgn donat gula lg. Wkakaka lataaahh🤣
Yg pasti mbaknya jg berterima kasih krna sudah berani mengekspresikan smuanya melalui tulisan seindah inii. Uuwuwu.
Sdangkan mbaknya cuma mnjadi netijen yg mnikmati hasil krya ini tanpa sepatah kata, yg ada malah sibuk fangirling idola yg sudah jelas tidak di depan mata😂😂ㅋㅋㅋㅋㅋsmga dimaapkan yaak. Salam manis dari POV si semut kecil wrna warni😁👐
Aw, malu banget dikomentarin sama mbaknya~ 🫣
DeleteWarna apa pun boleh, kok. XD
Gampang, kalau mau lagi nanti bisa dibawain.
Hahaha. Enggak apa, aku ngerti soal fangirling. Dari dulu kan kamu emang udah hobi, jadi lanjutkan saja selama enggak mencapai tingkat halu berlebih. 😝
Aku sendiri terkadang juga jadi fanboy gitu kan ke aktris yang kawaii. Wqwq.
Aku seneeeeeng banget kamu dengan pasangan yg skr. Krn ntah kenapa, vibe yoga jadi berubah 😁👍. Tulisannya berkesan ceria dan kliatan banget penuh cinta. Semoga langgeng dan si dia jadi pelabuhan trakhir ya Yog.
ReplyDeleteBtw nih, museum mana yg memalsukan sejarah 🤣? Bahaya juga tuh. 😅
Saya sempet ngomongin ini juga sih sama mbaknya. Awalnya aneh menuliskan cerita-cerita yang ceria, karena nanti ada terkesan pamer. Tapi ya selagi kami masih punya standar dan filter tersendiri, akhirnya cuek ajalah. Syukur-syukur ya menularkan emergi positifnya. Hehe.
DeleteAamiin. Makasih banyak ya buat pujian dan doanya, Mbak Fanny.
Klu: ada di Jakarta Timur, berhubungan dengan sumur-sumur. XD
Jiaaaah museum yg itu Yog😂? Iya sih, belum jelas memang kebenarannya. Terlalu banyak isu simpang siur ya. Apalagi berkaitan Ama orba. Tau sendiri si Mbah banyak banget malsuin fakta 😅
ReplyDeleteGa laaah Yog, itu ga pamer sih kalo menurutku. Hanya sekedar sharing kebahagiaan ga ada salahnya. Bagi yg anggab pamer, kayaknya memang sirik aja 😄.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.