Saya kira manusia akan selalu membutuhkan wadah untuk bercerita. Wadah itu bisa berupa manusia seperti keluarga, pasangan (baik yang masih pacaran ataupun sudah menikah), serta teman, bisa pula berbentuk media semacam blog dan media sosial. Saya sendiri bersyukur bahwa saat ini memiliki tempat untuk bercerita, yaitu blog yang saat ini sedang kalian baca, dan seorang pacar yang suportif.
Tanpa adanya suatu wadah untuk bercerita, kita pasti bakalan memendam unek-unek itu terus hingga terdapat perasaan enggak nyaman di dalam diri, kemudian timbul stres, terkena gangguan psikosomatik, dan jika semakin parah kita bahkan bisa tenggelam dalam lautan depresi. Dari mana saya tahu itu semua? Ya, dari mana lagi kalau bukan pengalaman pribadi?
Jauh sebelum saya memiliki pasangan yang suportif ataupun paham bahwa blog bisa menjadi sebuah wadah untuk terapi jiwa, saya teringat masa-masa ketika diri saya mengalami gangguan kecemasan yang amat berlebihan, hingga hampir setiap harinya saya sulit tidur, lalu sewaktu akhirnya bisa tidur pun bakalan mengalami mimpi buruk. Efek buruknya lagi: saat bangun tidur entah mengapa membuat kepala saya terasa berat, badan masih terasa capek atau pegal-pegal, serta kondisi kaos lepek lantaran keringat dingin.
Pada masa suram itu, sekitar tahun 2015-2016, kepala bagian belakang hingga leher saya suka terasa berat dan sakit, lalu terkadang saya juga mendadak mual, padahal kondisi tubuh saya sepertinya baik-baik saja. Karena sudah teramat bingung dengan gejala yang saya alami ini, akhirnya saya memberanikan diri buat bertanya kepada seorang kawan yang berkuliah di Jurusan Kedokteran.
Saat Dara (teman yang kuliah Kedokteran) tahu bahwa saya lagi banyak masalah dan justru memendamnya sendirian, dia berkata bahwa itulah pemicu utamanya. “Kepalamu tuh terlalu tegang karena menumpuk banyak beban pikiran, Yog,” ujarnya. Dia lantas menjelaskan bahwa fisik saya mungkin tampak baik-baik saja atau sekadar sakit ringan, tapi karena psikisnya bermasalah, saya seakan-akan tengah merasakan kalau tubuh sedang sakit parah.
“Tapi kalau mau jawaban lebih pasti, Yog, ya mending coba langsung periksa ke dokter. Soalnya aku masih mahasiswa, belum dokter beneran.”
Saya merespons kalimat Dara dengan emoji tertawa dan berterima kasih, kemudian segera mengunjungi klinik di dekat rumah. Hasilnya ternyata sama dengan yang Dara katakan. Tubuh saya sesungguhnya sehat, tapi sayangnya pikiran dan mental sayalah yang sakit, sehingga menimbulkan gejala psikosomatik. Itulah momen pertama kalinya saya mengetahui tentang gejala psikosomatik yang bisa membuat tubuh sehat jadi tampak sakit, bahkan memperparah penyakit yang mulanya cuma ringan.
Dokter di klinik itu memberikan solusi yang tidak lain dan tidak bukan: saya mesti punya wadah untuk bercerita. Beliau juga menyarankan saya menulis di jurnal atau diari, sekiranya memang tak ada siapa pun yang bisa mendengarkan cerita saya.
Saya beruntung saat ini memiliki pasangan yang bisa diajak bertukar cerita. Tapi, sebagaimana yang kita tahu, menemukan pasangan yang baik tentu prosesnya tak segampang itu. Sebelum bersama dia, ada sekitar 5 tahunan saya cuma bisa berbagi cerita di blog dan media sosial. Di era yang serba digital ini, saya memang tergolong akrab dengan media sosial seperti Twitter (yang kini telah berganti nama menjadi X), dan barangkali cukup sering bercerita alias curhat di sana. Namun, bercerita di sebuah platform media sosial pasti membutuhkan filter diri.
Tanpa bermaksud berkomentar negatif tentang platform X, saya kini sudah merasa kurang sreg untuk bercerita di sana. Ada berbagai alasan yang membuat saya berhenti curhat di sana, tapi mungkin ini salah satu yang bikin saya enggak nyaman:
Pada masa itu, saya hanya ingin bercerita akan keresahan saya tentang topik tulis-menulis tanpa menyenggol pihak mana pun. Saya sudah berusaha bercerita sebaik-baiknya dan telah lolos filter diri. Pokoknya, saya cuma kepengin curhat dan kicauan saya termasuk aman buat dikonsumsi publik. Lalu, siapa sangka bahwa kicauan itu justru direspons oleh orang yang enggak saya kenal, dan tanggapan dia malah bikin saya jengkel. Cuma karena saya memiliki opini yang berbeda dengannya, dia sampai mengajak teman-temannya yang satu pemikiran buat menghujat saya. Apakah mereka enggak bisa menerima perbedaan pendapat, ya?
Lantaran kejadian tersebut, saya jadi berpikir kalau ruang untuk mengekspresikan diri di media sosial seakan mulai lenyap, dan akhirnya perlahan-lahan saya mulai memproteksi beberapa akun media sosial. Saya juga mulai selektif dalam memilih following ataupun menerima followers.
Where did we go?
We're all alone, all alone
No place like home
Take us back to yesterday
SOS
Save us from ourselves
We're just a room full of strangers
Looking for something to save us
Lirik lagu Bring Me the Horizon yang berjudul Strangers maknanya lumayan mirip dengan kegelisahan saya. Ketika suatu platform yang tadinya asyik untuk bercerita mulai berubah menjadi tempat yang asing, apalagi banyak mengandung unsur kebencian, lantas saya harus mengekspresikan diri di mana lagi? Saya masih mencari ruang atau wadah itu.
Baru-baru ini, seorang kawan bloger rupanya mencoba menjawab pertanyaan itu. Dia memberi tahu saya bahwa ada media sosial bikinan Indonesia bernama Janlupa. Jadi, Janlupa ini merupakan sebuah platform yang amatlah peka dengan isu kesehatan mental, dan mungkin karena itulah platform media ini mirip semacam jurnal daring supaya kita bisa mengeluarkan unek-unek dengan lebih leluasa. Di dalamnya terdapat fitur Retrospective buat menunjukkan mood kamu, kejadian yang dialami, atau semacam refleksi diri. Contohnya seperti gambar berikut:
Saya pun mulai tertarik untuk menjajal platform tersebut. Apakah kamu juga tertarik buat mencobanya? Sekadar info, bagi teman-teman yang mungkin berminat, platform Janlupa ini bisa kita akses lewat janlupa.com atau via aplikasi di Google Play Store ataupun AppStore.
4 Comments
IHHHH aplikasi apa tuhhh? Baruuu yaaa? Download ahh nantiii~
ReplyDeleteBtw saya juga udah jarang curhat di apps X yang dulunya kicauan twitter itu, semenjak ganti logo atau ganti nama entah kenapa jadi beda, agak sepi, yah mungkin karena ada kompetitor akun thread itu juga sih yaaa hahaha.
Tapi anyway, mengeluarkan uneg-uneg pikiran itu penting yog. Jangan dipendem sama pikiran sendiri. Biarpun semua jalan keluar ada dipikiran sendiri, tapi tetep aja perlu didengar atau ditanggapi sama orang lain (pada dasarnya manusia juga butuh validasi hahaha). Untunglah sekarang udah ada cememew yaa, jadi bisa berbagi cerita. Semoga langgeng ya!
Thread masih kalah ramai kok tetep dari X. Tapi ya emang udah kurang nyaman aja buat aktif di sana. Kalau lebih banyak hawa negatifnya mah mending pindah platform.
DeleteIya nih, alhamdulillah udah ada partner. untuk berbagi cerita. Hoho. Thanks, Na. Aaamiin. Nuhun.
itulah kenapa aku dah kluar dari X hahahahaha. memang ga nyaman di sana yog ;p.
ReplyDeletetapi sebenernya yaaa, medsos lain kayak IG dan FB pun aku juga seriiing ngerasa hilang sparks joy nya.. sering bosen, tapi terkadang tetap aku pakai utk dokumentasiin tulisan perjalanan ku. cuma blog sih wadah yg bener2 sreg dan ga pernah ngerasa bosen.
mungkin krn manusia pada dasarnya makhluk sosial kali yaaa. jadi butuh wadah untuk bercerita.. sayangnya memang ga semua orang diberkati teman atau pasangan yg bisa betul2 'MENDENGAR'
aku sendiri ga bisa bebas cerita ama suami.. karena dia bukan tipe itu..dia bisa ksh solusi utk masalah, tapi ga akan enak jd teman bercerita.
krn itu wadahku ya cuma blog.. tapi bukan blog yg skr, ada 1 blog yg memang aku private.
kalo blog ga bisa memuaskan hati dan pikiran, ujung2nya cuma saat tahajud bisa ngadu sepuasnya yog.
aku sendiri tipe GOOD LISTENER. aku berani klaim krn memang aku lbh suka mendengar drpd bercerita. kecuali cerita dalam tulisan ;p . yg beruntung ya sahabat2ku dan suami, kalo mereka butuh bahu, udah ada aku hahahahaha
Saya jarang banget buka sekarang ini kalau Twitter alias X. Mending ngungsi ke platform lain.
DeleteIya, Mbak Fanny. Blog terbaik sih. Merasa lebih luwes dan bebas juga untuk bercerita. Tapi ya, biarpun udah cerita di blog, saya merasa kalau manusia ini memang makhluk sosial. Jadi tetap butuh teman bercerita seorang manusia.
Untuk tahajud ini memang momen mengadu paling tenang ya. Udah beda level juga sih.
Beruntung pisan itu mereka ya. haha. Bagusnya, sih, saya yang sekarang juga tergolong beruntung karena dapat partner bercerita yang suportif.
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.