Prosa Tanpa Pemanis Buatan

Di antara tumpukan koleksi buku di sudut kamarku dan kisah-kisah di dalamnya, aku melihat diriku yang hidup sebagai seorang lelaki lajang kesepian yang tak lagi percaya dengan kata “cinta”. Kata sakral itu atau sinonim lainnya, rasanya lebih mirip seperti omong kosong belaka. Hal semacam ini seakan mengingatkanku dengan tokoh ikonik di film Kera Sakti, yaitu Cut Pat Kai, yang memiliki kalimat andalan: “Begitulah cinta, deritanya tiada akhir.”

Kala itu, berbagai hal yang aku lakukan dengan jujur dan tulus untuk seorang kekasih atau calon pasangan, entah mengapa malah berakhir dengan kebohongan, pengkhianatan, perselingkuhan, kasih tak sampai, dimanfaatkan lantas dibuang setelah tak berguna, bahkan kegagalan berkomitmen.




Aku bagai tak punya tempat bernaung dan tak tahu mesti pergi ke mana lagi, selain bersembunyi dari hujan deras yang kuciptakan sendiri, lalu menjadikan puisi maupun prosaku sebagai tempat berteduh.

Sekitar empat sampai lima tahun aku terus berkelana sendiri. Menolak segala macam sinyal-sinyal dari lawan jenis yang sepertinya tertarik kepadaku. Krisis kepercayaan atau trauma telah membekas di dalam jiwa. Barangkali saja aku sudah terikat oleh bayang-bayang gelap yang membuatku jauh dari sinar merah jambu itu. Hanya ingin sendiri dan tersudut dalam kelam. Mungkin kata “penyendiri” lama-kelamaan juga cocok menjadi nama belakangku: Yoga Akbar Penyendiri.

Aku tak menyangka bahwa ada kalanya aku mulai muak dan ingin menolak situasi stagnan, sehingga aku pun berusaha memanjat jurang keputusasaan, hingga aku berhasil berada di tebing harapan, lantas pulang. Setelahnya, aku cuma perlu membasuh diri dari segala macam duka dan luka yang telah terlewati.

Ketika merasa diri ini sudah siap dan rapi, aku memberanikan diri untuk mampir ke sebuah toko buku yang pemiliknya merupakan seorang gadis manis berjilbab. Harus kuakui, dulu aku memang sempat memperhatikan gadis manis itu dari kejauhan. Namun, aku tak punya secuil keberanian, bahkan hanya sekadar buat singgah ke dalam toko buku dan melihat koleksi buku-bukunya. Interaksi kami cuma sebatas bertatapan muka dari jarak aman, lalu bertukar senyuman.

Singkat cerita, pada hari libur Lebaran, ketika aku sudah berhasil menabung keberanian selama setahun lebih, serta juga mengantongi sejumlah uang, aku pun nekat masuk ke dalam toko buku tersebut. Selain memiliki senyum yang memikat, rupanya pemilik toko buku itu sangatlah ramah. Meski demikian, aku entah mengapa bagaikan bisa tetap melihat kesedihan yang dia coba sembunyikan. Akhirnya, saat kubaca buku karangan dia, ternyata dia juga memiliki luka mendalam di hati, dan kisahnya bahkan sangatlah mirip denganku. 

Dia memilih menyendiri selama 4-5 tahun karena lelah dengan patah hati dan kegagalan cinta. Dia malas dengan segala hubungan yang main-main, dan dia hanya ingin memulai hubungan baru bersama seseorang yang benar-benar tepat untuknya.

Aku sangat memahami perasaan itu, sehingga aku bilang kalau diriku dan dirinya sangatlah cocok. Selama bertukar kisah, kami memang satu frekuensi, dan hatiku kepadanya benar-benar beresonansi. Aku pun berkata: “Bagaimana kalau kita menulis buku bersama?”

Pertanyaan itu lantas disambut dengan jawaban berupa pena yang telah menuliskan berbagai lembar kisah manis dalam setahun ini. Tentu di lembaran-lembaran itu ada kisah sedihnya juga, tapi yang terpenting aku dan dia lebih sering bergembira dan menorehkan tawa. Aku harap buku itu bisa kami tulis lagi dengan berbagai cerita manis sebanyak-banyaknya. Kami akan menuliskannya secara alami. Tanpa pemanis buatan.

0 Comments