Di Bawah Ketek Tirani

Agus, kawan saya, berkata bahwa siapa pun yang bilang kalau Indonesia baik-baik saja pastilah seorang buzzer pemerintah, orang tajir golongan atas yang sama sekali tak terkena dampak krisis ekonomi, atau bajingan keparat yang tak punya empati maupun hati nurani. Apa pun itu, Indonesia memang sedang dalam kondisi gawat darurat. Saya tak akan menjelaskan, dan saya sungguh berharap siapa pun yang membaca tulisan ini telah mengikuti segala keramaian di media sosial beberapa hari terakhir terkait pesan darurat.

Kala itu, saya termasuk orang yang tak bisa turun ke jalan, dan tentunya hanya mampu berisik di media sosial. Di realitas, saya mesti bekerja demi hidup, dan saya terpaksa memilih buat menyalurkan unek-unek saya via platform media sosial. Mungkin bacot di medsos bagaikan seorang pengecut, tapi intinya, sih, jangan sampai saya memilih diam. Tetaplah bersuara sampai teman-teman yang tadinya merasa masa bodoh dengan politik, kini penasaran dan ikut ambil bagian sebagai oposisi atau advokat iblis.

Hm, meskipun bisa dibilang kalau isi pos saya di medsos kebanyakan juga cuma retwit kata-kata orang lain, Story Instagram yang hanya berisi mim atau celotehan yang disisipkan lagu perlawanan, setidaknya ada satu teks panjang berwujud puisi yang pembuatannya dibantu oleh AI (saya bikin di web: writer.hix.ai/id/poem-generator), yang rasanya layak buat dipajang kembali di blog.




Di Bawah Ketek Tirani

Di bawah bayang dinasti yang kelam, Mulyono berdiri, senyumnya samar, dan di setiap gorong-gorong menampung keputusasaan yang tersembunyi. Bau ketek menyengat, menghimpit napas rakyat yang menderita.

Satu suara, dua suara, tiga, empat, lima, dan seterusnya, hingga kian riuh di jalanan. Tapi gema itu teredam oleh kuasa yang angkuh, memekakkan telinga, serta menyalakan bara dendam.

Rakyat berjuang dalam lingkaran ketidakadilan, dari lorong gelap ke tempat-tempat yang tak terjamah. Di istana itu, Mulyono duduk santai bersama segala kepentingan pribadinya yang berkelindan, sementara kami terbenam dalam lumpur cacian atau hinaan.

Kebohongan bersayap terbang tinggi di atas harapan yang terhempas, bagai perang dunia yang tak terlihat, dan kita adalah saksi bisu dalam perjalanan menuju kegelapan.

Namun, harapan akan tetap menyala meski berada dalam derita. Di tengah gorong-gorong yang kesakitan itu, akan ada suara yang bangkit untuk melawan bau ketek tirani, menuntut keadilan, hingga dinasti ini runtuh.

1 Comments

  1. Mas Yoga ternyata kritis juga ya. Unik nih, generasi mas Yoga yang lain pada berdengung dengan medsos, mas Yoga gak ikut2an

    ReplyDelete

—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.