Tanaman hias itu sering bermimpi tentang padang rumput yang luas, tentang taman-taman kota, dan tentang kupu-kupu yang hinggap di sekitarnya.
Namun, realitasnya adalah ia tetap saja terpaku di sana, menjadi hiasan tolol di samping gedung kantoran bersama 19 pot lain, yang tak dipedulikan siapa pun selain belalang yang gemar menyantap daun, atau si tukang kebun yang bertugas menyiraminya saban pagi dan sore.
Tapi sebagaimana yang ia ketahui, setiap Sabtu-Minggu, ketika kantor libur, ia akan menangis tanpa air mata, dan hampir tak bernyawa.
Tanaman hias itu lantas teringat akan sebuah sajak tentang sekuntum bunga yang tak pernah berkembang. Ia memilih untuk tetap menjadi kuncup, takut akan luka yang mungkin terjadi saat mekar, dan mengkhianati kepercayaan sang akar.
Perdu hias dalam sajak ini sungguh tak ingin menjadi puisi semacam itu. Maka, dalam kegelapan tanah yang kekurangan air, dia mencoba bertahan sekuat-kuatnya.
“Apakah aku akan dikeringkan Waktu?” tanyanya kepada diri sendiri. “Apakah aku yang perlahan rontok ini masih dibolehkan tumbuh?” Tak ada jawaban, dan dia hanya ingin berusaha mekar dalam diam, tanpa suara.
Bunga yang tadinya terluka kini bercahaya merah di antara para hijau, seakan menjadi saksi bahwa ia pernah berjuang dalam sekam, dan kini menjadi satu-satunya yang layak direkam.
0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.