Tulisan berikut saya terjemahkan sesukanya dari bab 2 novel Roberto Bolaño, 2666, bagian tentang Amalfitano.
--
Aku mengerti kau, ujar Marco Antonio Guerra kepadanya. Maksudku, jika aku benar, kurasa aku mengerti kau. Kau seperti aku dan aku seperti kau. Kita enggak bahagia. Suasana di sekitar kita menyesakkan. Kita berpura-pura enggak ada yang salah, tetapi ada. Apa yang salah? Kita benar-benar dikekang. Kau melampiaskan amarahmu dengan caramu sendiri. Aku menghajar orang atau membiarkan mereka menghajarku. Tetapi perkelahian yang kulakukan bukanlah perkelahian biasa, melainkan kekacauan yang sangat dahsyat. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia. Terkadang aku keluar pada malam hari, ke bar yang bahkan tak bisa kaubayangkan. Dan aku berpura-pura menjadi seorang homo. Tetapi bukan homo sembarangan: sok tahu, angkuh, sarkastik, seperti bunga aster di kandang babi paling kotor di Sonora. Tentu saja, aku tidak punya sedikit pun sifat gay dalam diriku, aku berani bersumpah atas nama makam ibuku yang sudah meninggal. Tapi aku berpura-pura seperti itulah diriku. Seorang homo kecil sombong yang punya banyak uang yang memandang rendah semua orang. Dan kemudian hal yang tak terelakkan terjadi. Dua atau tiga burung nasar memintaku untuk keluar. Dan kemudian kekacauan dimulai. Aku tahu itu dan aku tidak peduli. Terkadang merekalah yang paling menderita, terutama saat aku memegang senjataku. Pada lain waktu, itu aku. Aku tak peduli. Aku butuh pelepasan. Terkadang teman-temanku, beberapa teman yang kumiliki, orang-orang seusiaku yang sekarang menjadi pengacara, mengatakan kepadaku bahwa aku harus berhati-hati, aku bom waktu, aku masokis. Salah satu dari mereka, seseorang yang sangat dekat denganku, mengatakan kepadaku bahwa hanya orang sepertiku yang bisa lolos dengan apa yang kulakukan karena aku punya ayah yang akan menyelamatkanku. Itu hanya kebetulan belaka. Aku tak pernah meminta apa pun kepada ayahku. Sebenarnya, aku tak punya teman. Aku tak menginginkannya. Setidaknya, aku lebih suka tak punya teman orang Meksiko. Orang Meksiko itu busuk di dalam, tahukah kau? Setiap orang dari mereka. Tak ada yang bisa lolos. Dari presiden republik hingga badut Subcomandante Marcos. Jika aku Subcomandante Marcos, kau tahu apa yang akan kulakukan? Aku akan melancarkan serangan dengan seluruh pasukanku di kota mana pun di Chiapas, asalkan kota itu memiliki garnisun militer yang kuat. Dan di sana aku akan mengorbankan orang-orang Indian-ku yang malang. Dan kemudian aku mungkin akan tinggal di Miami. Jenis musik apa yang kausuka? tanya Amalfitano. Musik klasik, Profesor, Vivaldi, Cimarosa, Bach. Dan buku apa yang kaubaca? Aku dulu membaca segalanya, Profesor, aku membaca sepanjang waktu. Kini yang kubaca hanyalah puisi. Puisi adalah suatu hal yang tak terkontaminasi, satu hal yang bukan bagian dari permainan. Aku tak tahu apakah kau mengerti aku, Profesor. Hanya puisi—dan biar aku perjelas, hanya sebagian saja—yang baik untukmu, hanya puisi yang bukan omong kosong.
Suara Guerra muda, pecah menjadi kepingan-kepingan yang datar dan tak berbahaya, keluar dari tanaman merambat, dan dia berkata: Georg Trakl adalah salah satu favoritku.
Penyebutan Trakl membuat Amalfitano berpikir, kala dia mengajar di kelas, tentang toko obat di dekat tempat tinggalnya di Barcelona, tempat yang biasa dia kunjungi saat dia membutuhkan obat untuk Rosa. Salah satu karyawannya adalah seorang apoteker muda, yang baru saja menginjak usia remaja, sangat kurus dan berkacamata besar, yang akan duduk di malam hari sambil membaca buku saat apotek buka dua puluh empat jam. Suatu malam, saat anak itu sedang mengamati rak-rak, Amalfitano bertanya kepadanya buku apa yang dia suka dan buku apa yang sedang dia baca, hanya untuk mengobrol. Tanpa menoleh, apoteker itu menjawab bahwa dia menyukai buku-buku seperti The Metamorphosis, Bartleby, A Simple Heart, A Christmas Carol. Dan lantas dia berkata bahwa dia sedang membaca Breakfast at Tiffany's karya Capote. Mengesampingkan fakta bahwa A Simple Heart dan A Christmas Carol adalah kisah-kisah, bukan buku, ada sesuatu yang mengungkap tentang selera apoteker muda kutu buku ini, yang di kehidupan lain mungkin adalah Trakl atau yang di kehidupan ini mungkin masih menulis puisi yang sama putus asanya dengan puisi rekan Austria-nya yang jauh, dan yang dengan jelas dan tak dapat disangkal lebih menyukai karya-karya kecil ketimbang yang besar. Dia memilih The Metamorphosis daripada The Trial, dia memilih Bartleby daripada Moby-Dick, dia memilih A Simple Heart ketimbang Bouvard dan Pecuchet, dan A Christmas Carol daripada A Tale of Two Cities atau The Pickwick Papers. Sungguh paradoks yang menyedihkan, pikir Amalfitano. Sekarang bahkan apoteker kutu buku takut untuk mengambil karya-karya besar, tak sempurna, dan berlimpah, buku-buku yang merintis jalan menuju yang tidak diketahui. Mereka memilih latihan yang sempurna dari para master hebat. Atau apa yang intinya sama saja: mereka ingin menonton para guru besar beradu tinju, tetapi mereka tak tertarik dengan pertarungan sesungguhnya, saat para guru besar berjuang melawan sesuatu, sesuatu yang menakutkan kita semua, sesuatu yang membuat kita takut dan memacu kita, di tengah darah, luka yang mematikan, dan bau busuk.
0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.