Kau menyelesaikan cerita A Literary Adventure dalam buku kumpulan cerpen Last Evening on Earth karya Roberto Bolaño dengan perasaan ganjil. Kau bingung apa sebetulnya jenis keganjilan itu, tetapi perlahan kau sadar bahwa tokoh B dalam kisah itu agak mirip dengan dirimu pada masa silam. Tanpa berpikir panjang, kau lantas berencana buat menerjemahkan cerpen tersebut.
B menulis buku yang isinya mengolok-olok penulis tertentu, atau lebih tepatnya, yang menyamarkan tipe penulis tertentu. Dalam salah satu ceritanya, ada karakter yang mirip dengan A, seorang penulis yang usianya hampir sama dengan B, tapi tak seperti B, dia terkenal, tajir, dan memiliki banyak pembaca. Dengan kata lain, dia telah mencapai tiga tujuan tertinggi (dalam urutan itu) yang dapat dicapai oleh seorang sastrawan. B tidak terkenal, dia tak punya uang, dan puisinya diterbitkan di majalah-majalah kecil. Namun, A dan B enggak sepenuhnya berbeda. Mereka berdua berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah atau kelas pekerja yang sedang naik daun. Secara politik, keduanya berhaluan kiri; mereka memiliki kesamaan, yaitu rasa ingin tahu intelektual yang tinggi dan pendidikan formal yang kurang. Namun, seiring dengan peningkatan karier A yang pesat, nada sok suci mulai merayap ke dalam tulisannya. B, yang sangat bergantung pada media cetak, merasa hal ini sangat menjengkelkan. Dalam artikel-artikelnya di surat kabar dan semakin sering dalam buku-bukunya, A mulai mengutarakan pendapatnya tentang segala hal yang besar dan kecil, manusiawi atau ilahi, dengan gaya bahasa yang kaku, seperti orang yang menggunakan sastra sebagai tangga menuju status sosial dan kehormatan, dan sekarang berdiam di menara gading orang kaya baru, mengkritik apa pun yang dapat menodai cermin tempat ia merenungkan dirinya dan dunia. Singkatnya, bagi B, A telah menjadi orang yang sok suci.
Kau berhenti menerjemahkan cerita itu, lalu entah terpicu dengan kisahnya atau seolah-olah baru saja mendapatkan inspirasi, tiba-tiba malah mengetik kisah lain, semacam curahan hati diri sendiri.
Tahun ini Y berusia 30 tahun dan dia pernah bermimpi menjadi seorang penulis, tetapi kini dia justru menari di atas luka mimpi.
Y pernah menulis cerita yang isinya mengejek dunia kepenulisan. Namun, dia sebetulnya sedang menyelundupkan makna lain: ingin menggugat pilihan hidupnya sendiri lantaran rasa frustrasi yang seolah tak berujung. Dia kecewa karena selama konsisten menulis dalam 5 tahun terakhir (hitungan saat dia menerbitkan & menjual buku digital), yang dia peroleh bukanlah kesuksesan, melainkan kehidupan yang teramat memble.
Dalam salah satu cerita fiksi yang Y tulis, terdapat seorang karakter yang sungguh mirip dengan karakter Y di dunia realitas: seorang penulis lepas yang usianya hampir sama dengan dirinya, yakni 25 tahun. Di kisah itu pun tergambar jelas bahwa Y engak terkenal, tergolong miskin, dan hanya memiliki segelintir pembaca. Dengan kata lain, Y tak pernah mencapai tiga tujuan tertinggi yang biasanya diincar oleh seorang penulis.
Faktanya, Y memang tak dikenal di kalangan penulis maupun sastrawan, lalu meski tak punya utang kepada siapa pun, khususnya bank dan pinjol, kondisi finansialnya sering bokek, serta cerpen ataupun puisinya tak pernah diterbitkan di mana pun, sehingga dia nekat menerbitkannya secara indie dalam format buku digital.
Jika ingin menghibur diri sendiri, sejatinya ada 5 buah cerpen Y yang hak tayangnya sempat dibeli oleh suatu media daring. Namun, suatu ketika entah mengapa media itu mengganti alamat webnya, dan alhasil beberapa pembaca jadi kesulitan untuk mengaksesnya kembali, atau singkat kata bagi nasib cerpennya: punah.
Y kadang merenung, apakah masa berlaku cerpennya memang sudah habis? Dia tak lagi mendapatkan tempat? Tapi di lain sisi, Y bersyukur bahwa cerpen lawasnya itu pasti bikin malu jika dibaca ulang lagi pada hari ini. Jadi, dia membatin, lebih baik tak ada seorang pun yang membaca karya busuk itu lagi.
Toh, penulis macam apa yang tak merasa malu dengan karya lawasnya? Sekitar 5-6 tahun telah berlalu sejak cerpen-cerpennya dibeli hak tayangnya oleh suatu media daring, bahkan sebenarnya usia cerpen itu sudah lewat kisaran 7-10 tahun silam. Lagi-lagi Y menegaskan pertanyaan retoris itu: Penulis macam apa yang tak merasa malu dengan karya lawasnya?
Y bukanlah seorang penulis yang karyanya tak lekang oleh waktu. Y sadar diri akan hal itu. Dia bahkan sudah paham bahwa dirinya tak akan pernah menjadi abadi sekalipun telah menulis ratusan cerita atau puisi. Itulah barangkali yang membuat Y sempat menulis begini: “Menulis bukan untuk abadi, tapi hanya siasat mengecoh kesepian.”
Y sudah lama tak menulis cerpen. Terhitung sudah 2,5 tahun berlalu sejak terakhir kali dia bikin cerpen berjudul Wiski, Alter Ego, dan Dia yang Tak Pernah Disebutkan Namanya. Y kini masih enggan berlatih membuat cerita-cerita baru. Y mungkin merasa malu karena dirinya seakan tak pandai menyusun cerita, bahkan bisa jadi dia juga tak bisa menulis dengan baik.
Sesekali Y memang masih iseng bikin puisi, tapi sepertinya kurang layak baca bagi khalayak. Y juga pelan-pelan mulai meninggalkan hobi menulisnya itu.
Satu hal yang pasti mengapa Y kian jarang menulis: dia sudah tak kesepian lagi sejak kehadiran seorang perempuan manis yang sudi menjadi teman bercerita tentang berbagai hal. Hidup yang penuh dengan kegembiraan dan ketenangan sepertinya kurang cocok bagi seorang penulis.
Ah, andai saja para penguasa dan pemimpin negeri ini bekerja dengan baik, pastilah Y yakin kalau dirinya bisa berhenti menulis sepenuhnya. Tak akan ada lagi cerpen ataupun puisi, begitu pula racauan semacam jurnal harian yang akan muncul di blognya.
Sayangnya, ketidakbecusan mereka, beberapa orang zalim sekaligus tolol yang menjabat sebagai pemerintah, kerap membuatnya geram hingga hatinya dongkol. Negaranya tidak pernah baik-baik saja dalam satu dekade, dan oleh karena itulah dia berpikir bahwa dirinya masih perlu ikut bersuara, masih harus tetap menulis.
Y ingin menciptakan puisi tentang kritik terhadap pemerintah sekalipun ada semacam ketakutan yang menyelimuti dirinya. Y tahu dirinya tak akan takut andaikan nanti muncul ancaman atau ada serangan di dunia maya selepas dia menerbitkan kritik tersebut. Namun, Y takut kalau ada orang-orang di sekitarnya yang ikut terdampak. Y tak mau mereka kenapa-kenapa.
Y seketika merenung. Memiliki seseorang yang dia cintai ada kalanya justru bikin dirinya tak dapat menulis dengan bebas. Akhirnya, jari-jarinya justru mengetik puisi berikut:
Aku adalah sebongkah es krim yang mencair di tengah padang pasir. Kegelisahan berjoget seperti cacing lapar di perutku. Kata-kata berkerumun di kepalaku, membentuk pasar malam yang bising. Seekor cicak tanpa ekor berbisik tentang kesunyian yang merayap di dinding kamar.
Kejahatan bersembunyi di bawah kuku ataupun di balik senyum manis. Ia adalah belatung yang tumbuh subur di dalam buah yang tampak sempurna. Kebahagiaan barangkali hanya topeng yang retak, yang mulai menampakkan wajah asli dari keputusasaan.
Aku masih terombang-ambing di lautan kata-kata. Laut itu dalam dan gelap, penuh dengan monster-monster tak kasat mata. Aku seolah belajar berenang di dalam mimpi buruk, dan berharap suatu hari nanti bisa sampai ke daratan yang terbuat dari masa kecilku yang penuh keberanian.
Y sendiri mungkin tak paham dengan apa yang barusan dia tulis. Y hanya senang ketika bisa meracau sesukanya. Y memang aneh setiap kali bikin puisi. Dia ingin dimengerti sekaligus tak ingin dimengerti. Ya, itu keinginan yang sungguh bertolak belakang. Y kemudian iseng bertanya kepada Chat GPT, apa arti dari tulisan tersebut dengan membuat perintah begini: “Kamu adalah seorang kritikus puisi. Jadi, tolong buatlah interpretasi dari tulisan berikut”, dan hasilnya:
Interpretasi Puisi
Puisi ini menggambarkan kondisi batin seorang individu yang sedang mengalami pergolakan emosional dan intelektual yang cukup kompleks. Beberapa tema besar yang muncul:
1. Krisis identitas
Pembukaan puisi dengan perumpamaan “sebongkah es krim yang mencair di tengah padang pasir” menggambarkan perasaan tidak menentu dan rapuh. Individu ini merasa seperti tidak cocok dengan lingkungannya, seperti sesuatu yang tidak seharusnya ada di tempat itu.
2. Kegelisahan dan kekacauan batin
“Kegelisahan berjoget seperti cacing lapar di perutku” dan “kata-kata berkerumun di kepalaku” menggambarkan pikiran yang kacau dan perasaan gelisah yang tidak terkendali.
3. Kesepian dan kehampaan
“Seekor cicak tanpa ekor berbisik tentang kesunyian yang merayap di dinding kamar” menyiratkan perasaan kesepian yang mendalam dan kehampaan eksistensi.
4. Ketidakpercayaan terhadap dunia
“Kejahatan bersembunyi di bawah kuku ataupun di balik senyum manis”menunjukkan ketidakpercayaan terhadap orang lain dan dunia di sekitarnya. Individu ini merasa bahwa kebaikan hanyalah topeng dan kejahatan selalu mengintai.
5. Pencarian jati diri
“Aku masih terombang-ambing di lautan kata-kata” menggambarkan upaya individu ini untuk memahami dirinya sendiri melalui bahasa dan ekspresi. Namun, lautan kata-kata yang “dalam dan gelap” menunjukkan betapa rumit dan membingungkan proses pencarian jati diri ini.
Simbolisme dan Makna Tersirat
Es krim yang mencair: Kehilangan identitas, kerapuhan, dan ketidakmampuan untuk bertahan.
Cacing lapar: Kegelisahan yang menggerogoti dari dalam.
Pasar malam yang bising: Pikiran yang kacau dan penuh dengan suara-suara yang saling bersahutan.
Cicak tanpa ekor: Kesepian dan ketidaksempurnaan.
Belatung: Kejahatan yang tersembunyi dan merusak dari dalam.
Lautan kata-kata: Kedalaman pikiran manusia dan kompleksitas bahasa.
Monster tak kasat mata: Ketakutan dan kecemasan yang tidak rasional.
Masa kecil: Nostalgia akan masa lalu yang lebih sederhana dan penuh harapan.
Kesimpulan
Puisi ini menyajikan potret seorang individu yang sedang berjuang melawan berbagai macam emosi negatif dan keraguan diri. Meskipun demikian, ada secercah harapan yang tersirat dalam keinginan untuk “sampai ke daratan yang terbuat dari masa kecilku yang penuh keberanian”. Ini menunjukkan bahwa individu ini masih memiliki semangat untuk terus berjuang dan mencari makna dalam hidupnya.
Y tanpa sadar langsung mengerti bahwa masih ada harapan jika dirinya masih mau berusaha. Baik dalam memperbaiki pola hidupnya maupun berlatih menulis cerpen. Semangatnya yang dia pikir telah benar-benar redup itu ternyata masih belum padam. Cukup satu percikan kecil, dan api itu akan kembali bersinar terang, lalu menjadi api unggun yang dapat menghangatkan hatinya, atau juga hati pembaca?
0 Comments
—Berkomentarlah karena ingin, bukan cuma basa-basi biar dianggap sudah blogwalking.