Labirin Lebaran

Apa yang tercantum dalam tulisan berikut, sengaja aku ambil dari beberapa fragmen tulisan akhir Desember 2024 sebagai refleksi diri dalam menyambut tahun baru.





--


28 Desember 2024


Meskipun ada tawa, mungkin ini adalah malam yang menyedihkan. Sebentar lagi tahun berganti dan rasanya lebih dari sekedar sedih. Suram dan sulit tidur. Ketika waktu menunjukkan detik-detik saat mayoritas manusia tertidur lelap, aku malah duduk di teras rumah dengan mengenakan sweter berwarna langit. Hawanya tak terlalu dingin, tapi entah mengapa aku tetap seperti hampir mati kedinginan setelah membaca buku BolaƱo yang mengisahkan tentang pemuda-pemuda pemberani. Semangatku awalnya sempat ikut terbakar, tapi seketika itu segala sesuatunya malah tampak tidak ada harapan lagi, sebab aku bingung mengapa tulisan-tulisanku ikut berubah menjadi sampah.






29 Desember 2024


Aku petualang buta dalam labirin waktu. Aku meraba dinding dan mencari pintu. Masuk dari satu pintu ke pintu lain. Masalah silih berganti, dan teka-teki tetap tak terpecahkan.

Aku adalah debu waktu atau pecahan kaca dalam cermin semesta? Retakan-retakan eksistensi mencari harapan dalam hitungan detik, tapi sialnya takkan bisa terulang kembali.

Angin lantas membawa debu itu menuju kehampaan, menuju titik di mana waktu tak berkuasa, dan batinku menjerit: “Mengapa hidup tak bisa secerah puisi?”

Aku kini terhanyut dalam arus tanpa tujuan yang lurus. Mungkinkah nanti ada pencerahan yang kumimpikan? Atau sekadar tumpukan pengalaman yang sia-sia?

Aku mungkin berjalan di tempat, terjebak dalam lingkaran iblis. Sebenarnya sangat bosan, tapi semakin terbiasa. Bagai mesin yang terus berputar sebelum binasa.

Aku mencoba merangkai makna dari segala kekacauan puisi. Namun, apakah sajak ini lebih dari sekadar bunyi ketika sunyi? Apakah ada arti di balik insomnia ini?

Aku barangkali menghancurkan diri sendiri dengan kata-kata, dan hanya mencari jawaban dalam kehampaan.

Namun, aku tetaplah menulis. Kata demi kata, larik demi larik, serta bait demi bait, hingga kelak menjadi nyanyian pengantar tidur yang dapat mengusir mimpi buruk.

Apakah menulis adalah suatu ritual memanggil hantu yang berbisik di telinga malam? Atau menulis adalah kegiatan menyelam ke dasar jiwa dan mencari segenggam mutiara kata di antara kegelapan dan marabahaya?

Ini semua ironis, bukan? Aku yang sedang mencari terang dengan menulis, justru terjebak dalam kegelapan diri.



31 Desember 2024


Cerita ini tak ingin menggambarkan suatu keadaan, tetapi menjadi suatu kondisi—sinonim dari musim hujan dan kesepian.

Di indekos sebelah terdengar suara tangisan. Tangisnya pelan dan hampir tak terdengar, tapi aku jelas mendengarnya, bahkan jelas sekali. Aku tak tahu itu suara manusia atau hantu. Yang jelas, di kota busuk ini, di antara gedung-gedung tinggi dan hiruk pikuk lalu lintas, tangisnya terdengar begitu menyentuh hati.


Aku ingat saat pertama kali pindah ke sini tiga bulan silam. Aku benar-benar sendirian. Lingkungan ini terasa asing, seperti sebuah teka-teki yang sulit kujabarkan. Dan sekarang, pada malam sehabis hujan yang teramat sunyi ini, aku mendengar tangisan itu. Kami seakan-akan sama-sama sedang tersesat di sini.

Aku pernah membaca di suatu buku, bahwa setiap tangisan adalah sebuah cerita. Cerita tentang luka, tentang kehilangan, tentang harapan yang tak tercapai. Mungkin juga tangisan itu adalah cerita tentang cinta yang tak berbalas, atau tentang mimpi yang kandas. Atau mungkin, hanya sekedar kelelahan hidup yang terlalu berat.

Aku tidak tahu siapa dia, dan aku tidak akan pernah tahu. Tapi di dalam hati, aku merasa terhubung dengannya. Seakan-akan dia adalah bagian dari masa laluku.

Kami berdua mungkin hanyalah dua orang asing yang hidup di kota yang sama, tepatnya di lingkungan indekos yang sama, dan sialnya juga merasakan kesedihan sekaligus penderitaan yang sama.



*

Mengingat bagaimana aku sejak tahun lalu masih kerap gagal buat aktif kembali menulis di blog akbaryoga.com, dan hanya mampu membuat draf-draf tulisan di aplikasi Notes yang ujungnya tak pernah ditengok lagi, pada hari Lebaran yang fitri ini, aku hanya ingin benar-benar meminta maaf kepada diri sendiri atas kemalasanku dalam menekuni kegiatan yang dulu pernah menjadi hobi favoritku ini. Tak apa-apa sekiranya aku lebih fokus buat memperbaiki hidup di realitas, atau ada hal lain yang lebih prioritas, sebab pada kenyataannya memang mencari uang untuk bertahan hidup jauh lebih penting ketimbang menulis. Apalagi kita semua juga masih mencoba tegar untuk tetap hidup di bawah tirani, serta berusaha terus berjuang melawan rezim yang zalim ini, tentu rasanya sudah lebih dari cukup. Akhir kata, mohon maaf lahir dan batin juga untuk kawan-kawan di dunia maya.

0 Comments